SYARAT-SYARAT SAH PELAKSANAAN SALAT JUMAT – BAGIAN KEDUA

396
SYARAT SYARAT SAH PELAKSANAAN SALAT JUMAT BAGIAN KEDUA
SYARAT SYARAT SAH PELAKSANAAN SALAT JUMAT BAGIAN KEDUA
Perkiraan waktu baca: 4 menit

Daftar Isi:

SYARAT KEDUA: DIDAHULUI OLEH KHOTBAH(1)

Salah satu syarat sahnya pelaksanaan salat Jumat adalah didahului dengan khotbah. Hal ini disebutkan oleh para ulama kita karena tidak didapatkan contoh dan dalil yang menyebutkan tentang salat Jumat yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersama sahabatnya kecuali didahului dengan khotbah.

Pendapat ini hampir dikatakan telah menjadi ijmak (konsensus) para ulama kaum muslimin dan tidak ada yang menyelisihinya kecuali tabiin, Hasan al-Bashri. Imam al-Mawardi (w. 450 H) berkata, “Khotbah Jumat hukumnya wajib dan merupakan syarat sah pelaksanaan Jumat, salat Jumat tidak sah kecuali ada khotbah. Ini adalah pendapat seluruh fukaha kecuali Hasan al-Basri, beliau telah menyelisihi ijmak dalam hal ini dan mengatakan bahwa Khotbah Jumat tidak wajib.”(2) Imam Ibnu Abdilbarr (w. 463 H) berkata, “Ijmak telah terjadi bahwa seorang imam ketika tidak melaksanakan Khotbah Jumat di hadapan manusia maka dia hanya boleh melaksanakan salat Zuhur empat rakaat.”(3) Imam Ibnu Qudamah (w. 620 H) juga menegaskan, “Khotbah Jumat adalah syarat pelaksanaan salat Jumat, tidak sah salat Jumat tanpa adanya khotbah, hal ini telah dikatakan oleh Atha’, al-Nakhai, Qatadah, al-Tsauri, al-Syafii, Ishak, Abu Tsaur dan ashabu al-ra’yi. Kami tidak mengetahui ada perbedaan pendapat dalam hal ini kecuali dari Hasan al-Bashri yang menyatakan bahwa salat Jumat dianggap cukup dan sah baik imamnya berkhotbah atau tidak.”(4)

Para ulama dan fukaha empat mazhab fikih muktabar yang ada; Hanafi(5), Maliki(6), Syafii(7) dan Hambali(8) juga telah bersepakat tentang masalah ini.

Allah azza wajalla berfirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada dzikrullah (mengingat Allah) dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Q.S. al-Jumu’ah ayat 9)

Sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan “dzikrullah” (mengingat Allah) pada ayat di atas adalah Khotbah Jumat(9) atau khotbah dan salat Jumat sekaligus(10). Pendapat ulama yang menafsirkan kata “dzikrullah” dalam ayat tersebut sebagai khotbah juga ditunjukkan dalam hadis yang menyebutkan bahwa para malaikat juga hadir mendengarkan khotbah.(11) Dari ayat di atas dipahami bahwa Khotbah Jumat hukumnya wajib karena kita diperintahkan untuk bersegera mendatanginya lalu juga ada larangan berjual beli pada saat pelaksanaannya. Seandainya hukumnya sekadar mustahab dan tidak wajib maka tidak mungkin pelaksanaannya mengharamkan sesuatu yang hukum asalnya boleh yaitu jual beli.

Baca juga:  HUKUM KENCING (DALAM POSISI) BERDIRI

Allah subhanahu wa taala juga berfirman,

وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوْكَ قَائِمًا، قُلْ مَا عِنْدَ اللهِ خَيْرٌ مِنَ اللَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ، وَاللهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ

Dan apabila mereka melihat perdagangan atau permainan, mereka segera menuju kepadanya dan mereka tinggalkan engkau (Muhammad) sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah, ‘Apa yang ada di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perdagangan, dan Allah pemberi rezeki yang terbaik’.” (Q.S. al-Jumu’ah ayat 11)

Ibnu Abdilbarr al-Maliki (w. 463 H) berkata, “Sebagian ulama pengikut mazhab Maliki telah berdalilkan dengan ayat di atas tentang kewajiban Khotbah Jumat, karena Allah azza wajalla telah mencela dan mengecam mereka yang meninggalkan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam yang sedang berdiri berkhotbah Jumat lalu pergi menuju ke kafilah dagang yang datang. Celaan dan kecaman Allah kepada mereka menunjukkan wajibnya Khotbah Jumat karena seandainya tidak wajib maka tidak mungkin mereka dicela seperti itu.”(12)

Adapun dalil dari hadis yang disebutkan oleh para ulama tentang wajibnya Khotbah Jumat dan merupakan syarat sah pelaksanaan salat Jumat cukup banyak, di antaranya:

Hadis Pertama:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ قَائِمًا ثُمَّ يَقْعُدُ ثُمَّ يَقُومُ كَمَا تَفْعَلُونَ الْآنَ

Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkhothbah sambil berdiri, kemudian duduk lalu berdiri kembali seperti yang kalian lakukan di zaman sekarang ini.” (H.R. Bukhari no. 920 dan Muslim no. 861)

Fikih dan Faedah Hadis:

  1. Disyariatkannya Khotbah Jumat.
  2. Perhatian dan ketelitian sahabat yang mulia, Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma, dalam menukil tata cara khotbah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
  3. Di antara sunah yang penting dalam berkhotbah adalah berdiri.
  4. Khotbah Jumat dilakukan dua kali dengan berdiri dan diantarai dengan duduk.
  5. Tata cara Khotbah Jumat seperti ini adalah di antara sunah yang masih dihidupkan oleh kaum muslimin dan tidak ada yang menyelisihinya kecuali sangat sedikit.
Baca juga:  WAKTU MUSTAHAB MELAKSANAKAN SALAT FARDU

Hadis Kedua:

عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْطُبُ قَائِمًا ثُمَّ يَجْلِسُ ثُمَّ يَقُومُ فَيَخْطُبُ قَائِمًا، فَمَنْ نَبَّأَكَ أَنَّهُ كَانَ يَخْطُبُ جَالِسًا، فَقَدْ كَذَبَ، فَقَدْ وَاللهِ صَلَّيْتُ مَعَهُ أَكْثَرَ مِنْ أَلْفَيْ صَلَاةٍ

Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkhotbah sambil berdiri. Kemudian beliau duduk, setelah itu beliau berdiri kembali dan menyampaikan khotbah kedua. Maka barangsiapa yang memberitakan kepadamu bahwa beliau berkhotbah sambil duduk, sesungguhnya ia telah berkata dusta. Demi Allah, saya telah salat bersama beliau lebih dari dua ribu kali. (H.R. Muslim no. 862)

Fikih dan Faedah Hadis:

  1. Disyariatkannya Khotbah Jumat.
  2. Khotbah Jumat dilakukan dengan berdiri.
  3. Khotbah Jumat dilakukan dua kali dan diantarai dengan duduk.
  4. Pelaksanaan Khotbah Jumat dan teknis pelaksanaannya merupakan rutinitas yang selalu dilakukan oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
  5. Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam tidak pernah khotbah dengan cara duduk.
  6. Peringatan akan bahayanya berdusta atas nama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, baik terkait sabda beliau ataupun perbuatannya.
  7. Keutamaan sahabat mulia, Jabir bin Samurah radhiyallahu anhu, yang telah membersamai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan salat di belakang beliau lebih dari 2000 salat.

 

Hadis Ketiga:

عَنْ أَبِيْ سُلَيْمَانَ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ رضي الله عنهُ قَالَ: قال النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي

Dari Abu Sulaiman Malik bin al-Huwairits radhiyallahu anhu berkata bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Salatlah kalian sebagaimana kalian melihatku salat.” (H.R. Bukhari no. 631)

Fikih dan Faedah Hadis:

  1. Pentingnya mempelajari tata cara ibadah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam secara umum dan tata cara salat secara khusus.
  2. Perintah melaksanakan salat sebagaimana sifat salat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
  3. Sebagian ulama di antaranya Ibnu Qudamah telah berdalilkan dengan hadis ini tentang kewajiban Khotbah Jumat karena dalam praktek yang beliau contohkan pada saat salat Jumat beliau selalu mendahuluinya dengan khotbah.(13)
Baca juga:  SYAK SETELAH BERWUDU

Wallahu A’laa wa A’lam.


Footnote:

(1) Dalam tulisan kali ini di samping merujuk ke referensi utama pembahasan ini yaitu kitab  Ahadits alJumu’ah Dirasah Naqdiyyah wa Fiqhiyyah karya Syekh Abdul Quddus Muhammad Nadzir, juga kami sadur dari salah satu makalah di situs ilmiah: www.dorar.net.

(2) Al-Hawi al-Kabir (2/ 432).

(3) Al-Istidzkar (2/ 31).

(4) Al-Mughni (2/ 224).

(5) Lihat: Tabyin al-Haqaiq oleh al-Zaila’i (1/ 219) dan al-Hidayah fi Syarh Bidayah al-Mubtadi oleh al-Marghinani (1/ 83).

(6) Lihat: al-Taj wa al-Iklil li Mukhtashar al-Khalil oleh al-Mawwaq (2/ 157), al-Qawanin al-Fiqhiyyah oleh Ibnu al-Juzai (h. 56) dan Bidayah al-Mujtahid oleh Ibnu al-Rusyd (1/ 170).

(7) Lihat: al-Majmu’ oleh al-Nawawi (4/ 514) dan Mughni al-Muhtaj oleh al-Syarbini (1/ 285).

(8) Lihat: al-Furu’ oleh Ibnu Muflih (3/ 164) dan Kasysyaf al-Qina’ oleh al-Bahuti (2/ 31).

(9) Sebagaimana yang dikatakan oleh tabiin mulia, Said bin Musayyib, lihat: Tafsir al-Baghawi (8/ 117) dan Zaad al-Masir (4/ 283) dan juga perkataan Said bin Jubair, lihat: Ahkam al-Qur’an oleh Ibnu al-Arabi al-Maliki (4/ 249). Hal ini juga ditegaskan oleh Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (2/ 224).

(10) Lihat: Ahkam al-Qur’an oleh Ibnu al-Arabi al-Maliki (4/ 249).

(11) Telah kami sebutkan dan jelaskan dalam poin kedelapan pada pembahasan kekhususan hari Jumat, lihat: https://markazsunnah.com/hadis-hadis-tentang-kekhususan-hari-jumat/.

(12) Al-Tamhid limaa fi al-Muwaththa’ min al-Ma’ani wa al-Masanid (2/ 155-156).

(13) Lihat: al-Mughni (2/ 224).

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments