وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Ali-‘Imran: 133)
عَنِ الْمُسْتَوْرِدِ بْنِ شَدَّادٍ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَاللهِ مَا الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ – وَأَشَارَ يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ – فِي الْيَمِّ، فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ ؟
Dari al-Mustawrid bin Syaddād raḍiyallāhu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Demi Allah, tidaklah dunia dibandingkan dengan akhirat melainkan ibarat seseorang yang mencelupkan jari teluntuknya ke dalam lautan, lihatlah apa yang tersisa di jarinya bila dikeluarkan dari laut’?”[1]
⁕⁕⁕
Allah Subḥānahu wa Ta’ālā tidak pernah rida menjadikan kehidupan dunia sebagai tolak ukur kebahagiaan seseorang dan tidak pula menjadi tempat pembalasan bagi mereka yang saleh atau yang buruk. Allah berfirman,
فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ. وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ، كَلَّا
“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata, ‘Tuhanku telah memuliakanku’. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata, ‘Tuhanku menghinakanku’. Sekali-kali tidak (demikian).”[2]
Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ
“Andai kehidupan dunia senilai dengan sayap nyamuk di sisi Allah, niscaya Dia takkan memberikan seteguk air pun bagi orang yang kafir.”[3]
Oleh karenanya, Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dalam banyak hadis tentang hakikat dan kedudukan kehidupan dunia dibandingkan dengan akhirat. Ia datang dengan berbagai macam permisalan untuk menyadarkan umatnya tentang rendahnya kehidupan dunia di sisi Allah Subḥānahu wa Ta’ālā. Allah berfirman,
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”[4]
Di antara sabda-sabda Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam yang menggambarkan kedudukan dunia adalah hadis di atas. Beliau ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam memisalkannya ibarat seseorang yang mencelupkan jari telunjuknya ke dalam lautan lalu mengeluarkannya kembali. Lihatlah apa yang menetes dari jarinya, itulah kehidupan dunia. Sedangkan air lautan yang begitu banyak membentang di hadapan manusia adalah ibarat kehidupan akhirat.
Makna hadis ini sebagaimana dijelaskan oleh al-Qāḍī ‘Iyāḍ raḥimahullāh bahwa kadar kehidupan dunia dari sisi ruang, ukuran, dan kekurangannya adalah hal yang sangat sedikit apabila dibandingkan dengan kehidupan akhirat,[5] bahkan tak ada sesuatupun yang sama antara dunia dan akhirat melainkan sebatas persamaan namanya saja. Adapun hakikatnya, Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam menjawab bahwa Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dalam hadis qudsi-Nya,
أَعْدَدْتُ لِعِبَادِي الصَّالِحِينَ مَا لاَ عَيْنٌ رَأَتْ، وَلاَ أُذُنٌ سَمِعَتْ، وَلاَ خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَر، مِصْدَاقُ ذَلِكَ فِي كِتَابِ اللهِ: فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Aku telah mempersiapkan bagi hamba-hamba-Ku yang saleh apa yang tak pernah dipandang oleh mata, tak pernah didengarkan oleh telinga, dan tak terbetik sedikitpun dalam hati seorang manusia. Bukti kebenaran hal tersebut adalah firman Allah, ‘Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan’.”[6]
Al-Qāḍī ‘Iyāḍ raḥimahullāh menambahkan bahwa seorang penghuni surga bisa diberikan kenikmatan sepuluh kali lipat dari kehidupan dunia, padahal dia adalah orang yang memiliki kedudukan yang paling rendah di dalam surga kelak.[7] Allah Subḥānahu wa Ta’ālā berfirman,
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.”[8]
Imam al-Nawawi raḥimahullāh juga menjelaskan bahwa di antara makna hadis di atas adalah perbandingan antara dunia dan akhirat dalam hal kefanaan dunia dan masa singkat yang dilalui oleh setiap manusia dalam kehidupannya. Hingga Allah mengibaratkan bahwa dunia hanyalah senda gurau semata apabila dibandingkan dengan kekalnya kehidupan akhirat kelak. Allah berfirman,
وَيَسْتَعْجِلُونَكَ بِالْعَذَابِ وَلَنْ يُخْلِفَ اللَّهُ وَعْدَهُ وَإِنَّ يَوْمًا عِنْدَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ
“Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan, padahal Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.”[9]
Cukuplah kematian menjadi pembeda yang paling nyata antara dunia dan akhirat, bahwa di akhir kehidupan setiap orang, dia akan kembali pulang ke salah satu dari dua kampung halamannya, surga atau neraka, dan ia akan kekal di dalamnya.
Footnote:
[1] H.R. Muslim nomor 2858.
[2] Q.S. al-Fajr ayat 15-17.
[3] H.R. al-Tirmiżī nomor 2320, disahihkan oleh Syekh al-Albānī dalam “Silsilah Ṣaḥīḥah” nomor 686.
[4] Q.S. al-Hadīd ayat 20.
[5] Ikmāl al-Mu’lim 8/390.
[6] H.R. Bukhari nomor 3244 dan Muslim nomor 2824.
[7] Ikmāl al-Mu’lim 8/390.
[8] Q.S. Āli-‘Imrān ayat 133.
[9] Q.S. al-Hajj ayat 47.