فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ. رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ. لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“(Cahaya itu) di rumah-rumah yang disana telah diperintahkan Allah untuk memuliakan dan menyebut nama-Nya, di sana bertasbih (menyucikan) nama-Nya pada waktu pagi dan petang. Orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual-beli dari mengingat Allah, melaksanakan salat, dan menunaikan zakat. Mereka takut akan hari ketika hati dan penglihatan menjadi guncang (hari kiamat), (mereka melakukan itu) agar Allah memberi balasan kepada mereka dengan yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan, dan agar Dia menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa saja yang Dia kehendaki tanpa batas.” (QS. An-Nur: 36-38)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَا تَوَطَّنَ رَجُلٌ مُسْلِمٌ الْمَسَاجِدَ لِلصَّلَاةِ وَالذِّكْر، ِ إِلَّا تَبَشْبَشَ اللَّهُ إليه كَمَا يَتَبَشْبَشُ أَهْلُ الْغَائِبِ بِغَائِبِهِمْ، إِذَا قَدِمَ عَلَيْهِمْ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah seorang muslim berdiam diri di dalam masjid untuk mendirikan ibadah salat dan berzikir, melainkan Allah bahagia kepadanya sebagaimana kebahagiaan sebuah keluarga kepada seorang keluarganya yang hilang jika dia telah kembali.”[1]
Sebelumnya perlu dijelaskan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berbahagia dan kebahagiaan-Nya tentu saja adalah yang sebagaimana keagungan dan kemuliaan-Nya. Allah berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ.
“Tidak ada satupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.”[2]
Al-Munawi rahimahullah berkata, “Kebahagiaan Allah kepada hamba-Nya akan mendatangkan kebaikan, kemuliaan, dan karunia-Nya.”[3]
Hadis Abu Hurairah di atas menerangkan bahwa di antara kebahagiaan Allah subhanahu wa ta’ala adalah terhadap amalan berdiam diri di rumah-Nya untuk melaksanakan ketaatan seperti salat, zikir, dan sebagainya. Allah bahagia kepada seseorang yang menghidupkan rumah-Nya dengan ketaatan. Maka Dia akan meridainya, memudahkan jalan taqarrub-nya, dan mengaruniakan keikhlasan dalam setiap ibadah yang dia lakukan, sebagaimana sebuah keluarga akan berbahagia dengan kepulangan salah seorang anggota keluarga mereka, maka urusannya akan dimudahkan, seluruh keluarga akan membantu dan memberikan ucapan selamat kepadanya.
Lihatlah ganjaran kebaikan yang Allah subhanahu wa ta’ala akan berikan kepada mereka yang memakmurkan rumah-Nya. Allah berfirman:
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ. رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ. لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“(Cahaya itu) di rumah-rumah yang disana telah diperintahkan Allah untuk memuliakan dan menyebut nama-Nya, di sana bertasbih (menyucikan) nama-Nya pada waktu pagi dan petang. Orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual-beli dari mengingat Allah, melaksanakan salat, dan menunaikan zakat. Mereka takut akan hari ketika hati dan penglihatan menjadi guncang (hari kiamat), (mereka melakukan itu) agar Allah memberi balasan kepada mereka dengan yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan, dan agar Dia menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa saja yang Dia kehendaki tanpa batas.” (QS. An-Nur: 36-38)[4]
Bahkan menghidupkan rumah Allah azza wajalla merupakan kebiasaan orang yang hatinya telah terpaut dan cinta akan ketaatan di dalamnya, salah satu golongan yang akan Allah berikan naungan-Nya pada hari kiamat kelak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ، يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: الإِمَامُ العَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي المَسَاجِدِ، وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ، وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ، فَقَالَ: إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ، أَخْفَى حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
“Tujuh golongan yang dinaungi Allah dalam naungan-Nya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: (yaitu) pemimpin yang adil, seorang pemuda yang tumbuh dalam ketaatan kepada Allah, seorang yang hatinya bergantung ke masjid, dua orang yang saling mencintai di jalan Allah, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya, seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu dia berkata, ‘Aku benar-benar takut kepada Allah,’ seorang yang bersedekah dengan sedekah lalu dia menyembunyikannya hingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfakkan tangan kanannya, serta seorang yang berdzikir kepada Allah dalam kesunyian lalu dia meneteskan air matanya.”[5]
Keutamaan lainnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ، وَأَتَى المَسْجِدَ، لاَ يُرِيدُ إِلَّا الصَّلاَةَ، لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً، وَحَطَّ عَنْهُ خَطِيئَةً، حَتَّى يَدْخُلَ المَسْجِدَ، وَإِذَا دَخَلَ المَسْجِدَ، كَانَ فِي صَلاَةٍ مَا كَانَتْ تَحْبِسُهُ، وَتُصَلِّي – يَعْنِي عَلَيْهِ المَلاَئِكَةُ – مَا دَامَ فِي مَجْلِسِهِ الَّذِي يُصَلِّي فِيهِ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ، مَا لَمْ يُحْدِثْ فِيهِ
“Sesungguhnya apabila salah seorang dari kalian berwudu dan memperbaiki wudunya, kemudian dia mendatangi masjid untuk melaksanakan salat, maka tidaklah dia berjalan selangkah melainkan Allah mengangkat satu derajatnya dan menghapus satu kesalahannya, sampai dia memasuki masjid. Dan apabila dia berada di masjid, maka dia dicatat melaksanakan ibadah salat selama dia menunggu salat dan para malaikat akan berdoa untuknya selama dia berada di tempat salatnya, “Ya Allah ampunilah dia, ya Allah rahmatilah dia” selama dia tidak berhadas.”[6]
Demikian besar keutamaan menghidupkan masjid dengan ketaatan, tapi apakah Allah tidak bahagia kepada ibadah yang lainnya? Jawabannya tentu saja Allah bahagia dan rida dengan setiap ketaatan yang dilakukan oleh seorang hamba. Akan tetapi ibadah ini disebutkan secara khusus karena berat dan sulitnya ia.
Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata, “Hanya saja menghidupkan rumah Allah menjadi penghapus dosa dan kesalahan karena disana ada perjuangan yang berat melawan hawa nafsu, dan menahan keinginan jiwa yang selalu condong untuk keluar dari masjid, baik itu untuk mencari rezeki, bersosialisasi, rekreasi mengunjungi tempat-tempat yang indah, dan sebagainya. Oleh karena itu, siapa yang sanggup menahan jiwanya untuk tetap berada di rumah Allah menegakkan ketaatan dan ibadah kepada-Nya maka dia adalah seorang yang ribath (berjaga) di jalan Allah, yang menyelisihi hawa nafsunya, dan hal itu adalah sebaik-baik kesabaran dan jihad.”[7]
Allah berfirman:
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ
“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan salat, menunaikan zakat, dan tidak takut kepada siapapun selain Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapatkan petunjuk.”[8]
Footnote:
[1] HR. Ibnu Majah nomor 800, Ahmad nomor 8350, dan Ibnu Khuzaimah nomor 359, dihasankan oleh Syekh al-Albani dalam Shahih Jami’ Shagir nomor 5604.
[2] QS. Asy-Syura ayat 11.
[3] Faidhul Qadir 5/438.
[4] QS. An-Nur ayat 36-38.
[5] HR. Bukhari nomor 660 dan Muslim nomor 1031.
[6] HR. Bukhari nomor 477 dan Muslim nomor 649.
[7] Ikhtiar Al-Ula hal. 70-71.
[8] QS. At-Taubah ayat 18.