Daftar Isi:
REDAKSI HADIS:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم:((إِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ، فَإِنَّ اَلْحَسَدَ يَأْكُلُ اَلْحَسَنَاتِ، كَمَا تَأْكُلُ اَلنَّارُ اَلْحَطَبَ))
“Dari Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu bahwa Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Jauhilah sikap hasad, sesungguhnya hasad dapat memakan kebaikan sebagaimana api yang melahap kayu bakar.’”
TAKHRIJ HADIS:
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud (4903) dari jalur Sulaimān bin bilāl, dari Ibrahim bin Abi Asīd, dari kakeknya, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam.
Sanad hadis ini lemah, karena kelemahan kakek dari Ibrahim bin Abi Asīd, beliau adalah seorah yang majhūl[1] alias tidak dikenal. Imam Bukhari menilai hadis ini sebagai hadis yang lemah.[2]
Hadis ini memiliki penguat dari sahabat Anas bin Mālik, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Mājah (4210) dari jalur ‘Īsā bin Abi Īsā al-Hannād, dari Abu al-Zinād, dari Anas bin Mālik, bahwa Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda,
الحَسَدُ يَأْكُلً الحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ
“Sikap Hasad dapat melenyapkan kebaikan, sebagaimana api membakar kayu.”
Namun jalur penguat ini sangat lemah secara sanad, karena kelamahan ‘Īsā bin Abi Īsā al-Hannād, karena para ulama pakar hadis sepakat untuk melemahkannya, bahkan Ibnu Hajar al-‘Asqalāni mengatakan matrūk alias ditinggalkan.[3]
Kendati hadis ini lemah secara sanad, namun dapat diamalkan, sebab hadis diatas berkaitan dengan al-targīb wa al-tarhīb (anjuran untuk melakukan amalan kebaikan dan peringatan untuk meninggalkan amalan keburukan), dan kelemahan pada sanad hadis Abu Hurairah tidak parah, serta keburukan hasad dan keharamannya telah jelas di dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis Rasulullah yang sahih.
PROFIL SAHABAT:
Nama beliau adalah Abdurrahman bin Shakhr al-Dausi. Keistimewaannya yang paling menonjol adalah kepiawaiannya dalam meriwayatkan hadis. Beliau adalah sahabat nabi yang terbanyak meriwayatkan hadis. Profilnya sering terulang dalam artikel terkait serial penjelasan hadis.
PENJELASAN HADIS:
- Sabda Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam,
إِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ
“Jauhilah sikap hasad…”
Redaksi di atas berfungsi untuk memberikan peringatan, dan hukum yang dapat dipetik dari gaya redaksi seperti ini adalah pengharaman, bahkan sebagian para ulama mengklasifikasi sifat ini sebagai bagian dari dosa besar.[4]
Hasad adalah berharap lenyapnya kenikmatan yang dimiliki orang lain, baik kenikmatan itu bisa didapatkan oleh orang yang hasad maupun tidak, baik kenikmatan dalam masalah duniawi maupun dalam masalah ukhrawi.[5]
Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah mendeskripsikan hasad dengan ucapannya,
والتحقيق أن الحسد هو البغض والكراهة لما يراه من حسن حال المحسود
“Yang benar bahwa hasad adalah sikap benci dan tidak suka terhadap keadaan baik yang dinikmati oleh orang yang dihasadi.”[6]
Masih menurut Ibnu Taimiyah bahwa hasad terbagi menjadi dua:[7]
Yang pertama: membenci kenikmatan yang dianugerahkan kepada orang lain secara mutlak, baik orang yang hasad menginginkannya ataupun tidak. Ini adalah hasad yang tercela, yang mana orang yang hasad merasa sakit hatinya jika ada kenikmatan yang dikecap oleh orang yang dihasadi, maka timbullah keinginan agar keinginan tersebut lenyap dari orang tersebut, bahkan orang hasad bergelimang perasaan nikmat dan senang jika kenikmatan tersebut lenyap.
Yang kedua: membenci keutamaan dan kemuliaan orang lain yang berada di atasnya, maka dia termotivasi untuk setara dengannya atau bahkan melebihinya, sikap ini lebih populer dengan istilah gibṭah, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Rasulullah dalam sabdanya,
لاَ حَسَدَ إِلاَّ في اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ القُرْآنَ، فَهُوَ يَقُومُ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ، وَرَجُلٌ آتَاهُ مَالاً، فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ
“Hasad tidak boleh kecuali kepada dua orang: orang yang Allah anugerahkan kepadanya hafalan Al-Qur’an, kemudian dia membacanya saat salat di waktu malam maupun salat di waktu siang, dan orang yang Allah anugerahkan kepadanya hartanya, kemudiannya dia menginfakkannya di waktu siang dan malam.”[8]
Hasad (gibṭah) jenis kedua ini hukumnya boleh.
- Sabda Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam,
فَإِنَّ اَلْحَسَدَ يَأْكُلُ اَلْحَسَنَاتِ، كَمَا تَأْكُلُ اَلنَّارُ اَلْحَطَبَ
“Sesungguhnya hasad dapat memakan kebaikan sebagaimana api yang melahap kayu bakar.”
Redaksi hadis di atas mengandung motif pengharaman sifat hasad. Ada keunikan pada redaksi hadis di atas, yaitu mengumpamakan sifat hasad dengan makhluk hidup yang bisa makan, biasanya populer dengan istilah personifikasi. Namun di dalam hadis ini yang dimakan bukan makanan yang lezat, tapi kebaikan orang yang memiliki sifat yang buruk ini. Keunikan yang lain dari redaksi hadis di atas adalah ilustrasi kemampuan makhluk tersebut dalam melahap makanan, yaitu seperti api yang membakar kayu. Hal ini menunjukkan keganasan sifat hasad dalam mengikis kebaikan pelakunya, yaitu sebagaimana api yang memberangus kayu bakar, biasanya kayu tidak ada yang tersisa kecuali abunya.
FIKIH HADIS:
- Hadis ini berisi celaan terhadap sifat hasad yang berkonsekuensi pada pengharamannya, sekaligus menegaskan bahwa sifat ini merupakan sifat buruk yang wajib dijauhi.
- Sifat hasad dan dengki menunjukkan kehinaan jiwa dan hati pelakunya sebab dia berhasrat agar kenikmatan yang Allah anugerahkan kepada orang yang dibenci dan dihasadi lenyap dan hilang, bahkan kalau bisa berpindah kepadanya, seakan dia menentang takdir Allah yang telah digariskan untuk orang lain.[9]
- Hadis ini memaparkan motif dari pengharaman sikap hasad dan dengki, yaitu dapat mengikis kebaikan dan pahala yang dimiliki pelakunya sebagaimana api melahap kayu bakar.
- Hasad dan dengki merupakan dosa pertama yang dilakukan di langit, yaitu sikap hasad Iblis kepada Nabi Adam yang lebih mulia darinya sehingga Allah memerintahkan penduduk langit untuk sujud menghormati Nabi Adam, dan semua tuduk kepada perintah tersebut kecuali Iblis. Sebagaimana ia adalah dosa pertama yang lakukan di bumi, yaitu kisah putra Nabi Adam yang membunuh saudaranya disebabkan karena sifat dengki kepada saudaranya yang diterima kurbannya.[10]
- Orang yang terjajah oleh sifat hasad sangat berpotensi untuk terjatuh ke dalam dosa yang lainnya, baik dosa lisan maupun dosa yang ditimbulkan oleh perbuatan. Orang yang hasad sangat berpotensi untuk menggibahi orang yang dihasadi dan juga berpotensi untuk menzaliminya dengan perbuatanya sebagai upaya untuk melenyapkan anugerah dan kenikmatan yang Allah berikan kepada orang yang dihasadi.[11]
- Di antara dampak negatif dari sifat hasad adalah dapat merusak ukhuwah islamiah, dapat merusak hati pelakunya, dan dapat menimbulkan ketidaktenangan baginya, di samping juga dapat mengikis kebaikan dan pahala pelakunya.
- Ada jenis hasad yang diperbolehkan, biasanya lebih populer dengan istilah gibṭah, yaitu hasad yang tidak iringi harapan dan keinginan lenyapnya kenikmatan yang dimiliki oleh orang lain, namun justru memotivasi orang tersebut untuk berusaha setara dengan orang dihasadi bahkan kalau bisa berusaha lebih baik, tentunya dengan berusaha yang keras dan berdoa kepada Allah, dan ini merupakan jenis hasad yang terpuji.
Footnote:
[1] Taqrību al-Tahzīb hal. 756.
[2] Al-Tārikh al-Kabīr karya Imam Bukhari (1/272-273).
[3] Taqrību al-Tahzīb hal. 487.
[4] Al-Zawājir ‘an Iqtirāfi al-Kabāir hal. 128, dan Al-Kabāir karya Muhammad bin Abdulwahhab hal. 118.
[5] Minhatu al-‘Allām (10/195).
[6] Majmū’u al-Fatāwā (10/111).
[7] Idem (10/111-112).
[8] Muttafaqun ‘Alaihi.
[9] Minhatu al-‘Allām (10/196), dan https://saadalkhathlan.com/1393.
[10] https://saadalkhathlan.com/1393.
[11] Idem.
بسم الله الرحمن الرحيم
Syubhat dalam hadis tertolak tersebut menyelisihi ayat Al-Qur’an & hadis tentang hasanaat (kebaikan) menghapus sayyiaat (keburukan); dan bukan sebaliknya. Adapun kesyirikan maka ini menghapus pahala (akhirat) seluruh amalan; kecuali sedekah maka ada balasan di dunia. Kita dilarang saling hasad sebagaimana yang dijelaskan dalam ArbainNawawi hadis ke 35. Maka kesimpulannya kita hasad kepada 2 jenis orang yang telah disebutkan dalam hadis, akan tetapi yang sudah meninggal dunia. Ini sejalan dengan fikih Abdullah bin Mas’ud -semoga Allah Meridhoi saya, kalian, dan beliau- bahwa orang yang masih hidup belum selamat dari fitnah.
بسمالله الرحمن الرحيم
٥٦. (خ م) (٥٧) عَنْ أبِي هُرَيْرَةَ ﵁؛ إنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قالَ: «لا يَزنِي الزّانِي حِينَ يَزنِي وهُوَ مُؤمِنٌ، ولا يَسرِقُ السّارِقُ حِينَ يَسرِقُ وهُوَ مُؤمِنٌ، ولا يَشرَبُ الخَمرَ حِينَ يَشرَبُها وهُوَ مُؤمِنٌ». وكانَ أبُو هُرَيْرَةَ يُلحِقُ مَعَهُنَّ: «ولا يَنتَهِبُ نُهبَةً ذاتَ شَرَفٍ يَرفَعُ النّاسُ إلَيهِ فِيها أبصارَهُم حِينَ يَنتَهِبُها وهُوَ مُؤمِنٌ». وفي رواية زاد: «والتَّوبةُ مَعرُوضَةٌ بَعدُ».
وفي رواية (م): «ولا يَغُلُّ أحدكم حين يَغُلُّ وهو مؤمن، فإياكم إياكم».
Fikih Abdullah bin Mas’ud
-semoga Allah Meridhoi beliau- doa:
اللهم إني أسألك إيمانا لا يرتد ونعيما لا ينفد ومرافقة محمد صلى الله عليه وسلم في أعلى جنة الخلد