Beberapa sumbangsih dari para ulama terdahulu dalam proses pengumpulan, kodifikasi dan pembukuan hadis telah disebutkan sebelumnya. Setelah itu, datanglah setelah mereka imam para penghafal dan penghulu kaum mukminin dalam bidang hadis yaitu Abū Abdillāh Muḥammad bin Ismā’īl bin Ibrāhīm bin Mugīrah bin Bardizbah al-Bukhārī. Beliau mengumpulkan hadis-hadis sahih yang ia riwayatkan dan memilah dari seratus ribu hadis sahih yang ia hafal.
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Imam Bukhārī berkata,
أﺣﻔﻆ مائة ﺃﻟﻒ ﺣﺪﻳﺚ ﺻﺤﻴﺢ، ﻭﻣﺎﺋﺘﻲ ﺃﻟﻒ ﺣﺪﻳﺚ ﻏﻴﺮ ﺻﺤﻴﺢ
”Aku menghafal seratus ribu hadis sahih dan dua ratus ribu hadis yang tidak sahih.”[1]
Adapun perkara yang memotivasi Imam Bukhārī menuliskan karyanya ini (al-Jāmi’ al-Ṣaḥīḥ) sebagaimana yang disebutkan oleh Ibrāhīm bin Ma’qil yang ia riwayatkan darinya (Imam Bukhārī) adalah bahwasanya ia mendengar Imam Bukhārī berkata,
كنت عند إسحاق بن راهويه، فقال بعض أصحبنا: لو جمعتم كتابا مختصرا لسنن رسول الله صلى الله عليه وسلم، فوقع ذلك في قلبي فأخذت في جمع هذا الكتاب
“Aku pernah duduk di dekat Isḥāk bin Rāhawaih, lalu beberapa dari sahabat kami berkata, ‘Seandainya saja kalian menghimpun sebuah kitab yang ringkas yang memuat hadis-hadis yang sahih dari sunah-sunah Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam’. Ucapan itu bersemayam di hatiku, lalu aku mulai menghimpun kitab ini (al-Jāmi’ al-Ṣaḥīḥ).”[2]
Selanjutnya, dalam penghimpunan hadis sahih ini, Imam Bukhārī diikuti oleh muridnya yang telah lulus belajar di bawah bimbingannya, yaitu al-Imām al-Hāfiẓ al-Mujawwid Abū Ḥusain Muslim bin Hajjāj bin Muslim bin Ward bin Kusyaż al-Qusyairī al-Naisaburī raḥimahullāhu ta’ālā, dimana beliau kemudian menghimpun kitab sahih miliknya dalam kurun waktu lima belas tahun.[3]
Para ulama telah mengakui keautentikan kitab mereka berdua dan menyepakati bahwa kedua kitab tersebut merupakan kitab yang paling sahih setelah Al-Qur’an.
Imam Nawawi berkata,[4]
اتفق العلماء رحمهم الله على أن أصح الكتب بعد القرآن العزيز: الصحيحان البخاري ومسلم، وتلقتهما الأمة بالقبول
“Para ulama raḥimahumullāh telah bersepakat menyatakan bahwa kitab yang paling sahih setelah Al-Qur’an adalah al-Ṣaḥiḥain; Ṣaḥīḥ Bukhārī dan Ṣaḥīḥ Muslim dan umat telah menerima keduanya dengan baik.”
Namun terdapat beberapa ulama yang memberikan kritikan ringkas kepada kedua karya tersebut, seperti yang dilakukan oleh al-Dāruquṭnī, Abū ‘Ālī-Gassāni al-Jayyanī, Abū Mas’ūd al-Dimasyqī dan Ibnu ‘Ammār al-Syahid.
Menanggapi hal tersebut, sekelompok ulama kemudian memberikan jawaban terhadap kritikan-kritikan itu. Di antara mereka adalah Imam al-Nawawi di dalam kitabnya, Syarh Ṣaḥīḥ Muslim, dan al-Hāfiẓ Ibnu Ḥajar al-Asqalānī di dalam kitabnya, Hadyu al-Sārī, dan kitabnya, Fatḥu al-Barī. Sedangkan dari ulama kontemporer di antaranya Syekh Rabī’ bin Hādī al-Madkhalī, yang memiliki kitab bagus dalam memberikan pembelaan terhadap kitab Ṣaḥīḥ Muslim yang diberi nama yaitu Baina al-Imāmain, Muslim wa al-Dāruquṭnī.
Footnote:
[1] ‘Ulūmul Hadīṡ, karya Ibnu Ṣalāḥ, hal 20. Al-Khatīb menyebutkan di dalam kitab Tārikh Bagdād (2/8) dengan sanad yang bersambung kepadanya. Bukhārī berkata, “Aku menghimpun kitab ini yakni al-Ṣaḥīḥ dari sekitar enam ratus ribu hadis.”
[2] Tārikh al-Bagdād (2/8), serta Siyar A‘lām al-Nubalā’ karya Imam al-Żahabī (12/401).
[3] Lihat: Siyar A‘lām al-Nubalā’ (12/566).
[4] Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim, karya Imam Nawawi (1/14).