وَعَنْ جَرِيْرِ بنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ بَالَ ثُمَّ تَوَضَّأَ، وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ، قَالَ إِبْرَاهِيم: كَانَ يَعْجِبُهُمْ هَذَا الحَدِيثُ، لِأَنَّ إِسْلَامَ جَرِيِرٍ كَانَ بَعْدَ نَزُولِ الـمَائِدَةِ، وَاللَّفْظُ لِمـُسْلِمٍ
Dari Jarīr bin Abdullāh, ia berkata, “Saya melihat Rasulullah ﷺ ketika selesai buang air kecil, beliau berwudu dan mengusap kedua khuf-nya (tidak mencuci kedua kakinya).” Ibrāhīm berkata, “Beliau begitu takjub dengan hadis ini, karena Jarir raḍiyallāhu ‘anhu masuk Islam setelah turunnya surah al-Maidah.” Lafal hadis ini adalah riwayat Muslim.[1]
Daftar Isi:
Kosa kata hadis:
- Jarīr bin Abdullāh bin Jābir bin Mālik al-Bajalī, kun-yah beliau adalah Abū Amru. Beliau berziarah ke Madinah pada bulan Ramadhan tahun kesepuluh hijriah bersama kaumnya yang berjumlah 150 orang, kemudian mereka semua masuk Islam. Beliau meriwayatkan sekitar 100 hadis dari Rasulullah ﷺ, delapan hadis diantaranya diriwayatkan oleh Imam al-Bukhārī (dua hadis) dan Muslim (enam hadis). Rasulullah ﷺ pernah memuji ketampanan Jarīr raḍiyallāhu ‘anhudan mendoakan beliau agar dikaruniai keindahan akhlak oleh Allah, sebagaimana ia telah dikaruniai keindahan fisik. Umar raḍiyallāhu ‘anhu pernah menjuluki Jarīr sebagai Yusuf umat ini karena ketampanannya. Beliau wafat pada tahun 51 hijriah.[2]
- Ibrāhīm yang dimaksud adalah Ibrāhīm al-Nakha’idan beliau meriwayatkan hadis tersebut dari Hammām bin al-Ḥāriṡ dari Jarīr bin Abdullāh raḍiyallāhu ‘anhu.
Makna hadis:
Jarīr bin Abdullāh al-Bajalī pernah melihat Rasulullah ﷺ berhadas karena buang air kecil, kemudian beliau berwudu dan ketika sampai ke kaki, beliau hanya mengusap kedua khuf dan tidak mencuci kedua kakinya dengan melepas khuf-nya.
Faedah dan istinbat dari hadis:
- Dibolehkannya hanya mengusap kedua khuf ketika berwudu (yaitu wudu yang batal disebabkan hadas buang air kecil). Demikian juga boleh mengusap serban karena hadas kecil seperti tersebut di atas. Jika hadas besar yang mengharuskan seseorang mandi janabah, tidak cukup hanya mengusap khuf dan serban saja, akan tetapi harus mandi dan mencuci semua anggota wudu. Sedangkan perban atau pembalut luka, boleh hanya mengusapnya saja, sama saja apakah karena hadas besar atau hadas kecil.[3]
- Hukum mengusap khuf tidaklah mansukh atau ditiadakan (terhapus) atau tidak berlaku lagi karena takwil sebagian orang yang berdalilkan dengan surah al-Maidah ayat keenam. Hal ini karena sahabat yang mulia, Jarīr bin Abdullāh al-Bajalī raḍiyallāhu ‘anhu, masuk Islam pada tahun di akhir kehidupan Rasulullah ﷺ dan surah al-Maidah ayat keenam yang dimaksud telah turun jauh sebelum momen itu. Oleh karena itu, maksud dari ayat bukan terkait orang yang memakai khuf dan sunah berfungsi merinci dan mengkhususkan ayat Al-Qur’an.[4]
- Hadis-hadis Nabawi yang valid telah menerangkan dan mencontohkan bolehnya mengusap khuf yang terbuat dari bahan kulit. Lalu bagaimana hukumnya mengusap kaus kaki yang terbuat dari bahan wol, katun (benang kapas), linen? Ulama berbeda pendapat tentang mengusap kaus kaki yang terbuat dari bahan selain kulit. Pendapat pertama, menyatakan tidak boleh mengusap pada alas kaki selain khuf, ini adalah pendapat Mālik bin Anas, al-Auzā’ī, al-Syafi’ī. Pendapat kedua, menyatakan boleh mengusap al-jawrab (الجَوْرَب); pada masa sekarang didefinisikan sebagai kaus kaki yang terbuat dari wol, katun dan yang semisalnya. Pendapat ini dinukilkan dari Sufyān al-Ṡaurī, Aḥmad bin Hambal dan Isḥāq bin Rahawaih.[5] Fatwa Lajnah Dā’imah (Komisi Tetap)[6] Kerajaan Arabi Saudi juga membolehkan mengusap kaus kaki, dengan syarat kaus kaki tersebut menutupi hingga kedua mata kaki sebagaimana khuf, berdalilkan hadis al-Mugīrah bin Su’bah yang disahihkan oleh Imam Tirmiżī.[7]
Footnote:
[1] H.R. al-Bukhārī (387) dan Muslim (272).
[2] Al-Żahabī. Siyār A’lām al-Nubalā’. Jilid 2, hlm. 532.
[3] Abdullāh bin Ṣālih al-Bassam. Op. Cit. Jilid 1, hlm. 52.
[4] Al-Nawawī. Al-Minhāj. Jilid 3, hlm. 165.
[5] Al-Khaṭṭābī. Ma’ālim al-Sunan. Jilid 1, hlm. 63.
[6] Al-Lajnah al-Dā’imah Lil Buhūṡil ‘Ilmiyah wal Iftā’. Al-Fatāwā. Ri’āsah Idārah al-Buhūṡil ‘Ilmiyah wal Iftā’, Riyaḍ. Jilid 5, hlm. 263.
[7] H.R. Aḥmad (18206), Ibnu Majah (559), Abu Dāūd (159), dan Tirmiżī (99).