إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ. الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ. أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan salat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.” (Q.S. al-Anfal: 2-4)
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا النَّاسُ كَإِبِلٍ مِائَةٍ لَا يَجِدُ الرَّجُلُ فِيهَا رَاحِلَةً
Dari Ibnu ‘Umar raḍiyallāhu ‘anhumā, ia berkata, “Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya manusia itu ibarat seratus ekor unta, seseorang tidak akan menemukan unta yang istimewa di antaranya’.”[1]
⁕⁕⁕
“Al-rāḥilah”, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Atsir raḥimahullāh, adalah unta yang kuat berjalan dengan mengangkut perbendaharaan seorang musafir, jinak dan elok tak bercacat.[2]
Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam memberikan permisalan tentang manusia bahwa mereka ibarat seratus ekor unta dimana seseorang tidak akan menemukan unta yang sempurna. Maknanya adalah bahwa dengan jumlah yang begitu banyak, manusia yang istimewa di antara mereka hampir tidak ada. Bertolak dari makna ini, para ulama hadis kemudian berbeda perspektif dalam menafsirkan maksud Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam dari hadis di atas.
Ibnu Baṭṭāl raḥimahullāh menafsirkan bahwa manusia yang dimaksudkan dari hadis ini adalah mereka yang hidup di masa-masa fitnah di akhir zaman nanti. Olehnya, Imam Bukhārī raḥimahullāh memasukkan hadis ini ke dalam “Bab Hilangnya Amanah” karena Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam telah mempersaksikan kebaikan para sahabat dan para tabiin[3] dengan sabdanya,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah mereka yang hidup di zamanku (para sahabat,-pen), lalu orang-orang yang datang setelah mereka, dan orang-orang yang datang setelah mereka.”[4]
Al-Mazirī menukil perkataan Ibnu Qutaibah raḥimahumallāh bahwa permisalan ini menjelaskan bahwa seluruh manusia sama. Tidak ada perbedaan dan keistimewaan di antara mereka dari jalur nasab (sebab semuanya kembali kepada Adam dan Hawwa,-pen) sebagaimana seratus ekor unta yang tak ada seekorpun yang istimewa di antaranya. Al-Qutbi raḥimahullāh kemudian mengomentari pendapat Ibnu Qutaibah bahwa makna yang lebih dekat adalah manusia yang zuhud di dunia ini dan cinta akan kehidupan akhirat sangatlah sedikit.[5]
Al-Azharī raḥimahullāh juga menambahkan bahwa Allah subḥānahu wa ta’ālā telah mencela kehidupan dunia dan memperingatkan umat manusia tentang keburukannya. Bukankah Allah berfirman,
إِنَّمَا مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ وَالْأَنْعَامُ حَتَّى إِذَا أَخَذَتِ الْأَرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَا أَتَاهَا أَمْرُنَا لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَاهَا حَصِيدًا كَأَنْ لَمْ تَغْنَ بِالْأَمْسِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemliknya mengira bahwa mereka pasti menguasasinya, tiba-tiba datanglah kepadanya adzab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berfikir.”[6]
Oleh karenanya, Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam kemudian memperingatkan para sahabatnya dari kehidupan dunia dan mengajak mereka untuk hidup dengan kezuhudan dan qanā’ah. Lalu akan datang orang-orang yang melupakan manhaj dan sunah para salaf hingga mereka berlomba-lomba mengejar dunia dan kenikmatannya yang fana, sampai tak tersisa dari mereka yang zuhud terhadap dunia ini kecuali sangat sedikit.[7] Di dalam riwayat lain dari hadis di atas, Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda,
تَجِدُونَ النَّاسَ كَإِبِلٍ مِائَةٍ، لَا يَجِدُ الرَّجُلُ فِيهَا رَاحِلَةً
“Kalian akan menjumpai manusia ibarat seratus ekor unta, seseorang tidak akan menemukan unta yang istimewa di antaranya.”[8]
Imam al-Nawawī raḥimahullāh juga mengomentari pendapat ulama sebelum beliau bahwa hadis ini bermakna bahwa manusia yang istimewa, sempurna akhlaknya, elok penampilannya, kuat tubuhnya untuk membantu dan memberikan manfaat kepada sesama, ialah manusia yang tak tersisa dari kehidupan dunia ini kecuali sangat sedikit, dan merekalah yang pantas untuk dipilih menjadi sahabat dalam perjalanan panjang kehidupan dunia ini.[9] Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ، خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ
“Mukmin yang kuat, lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah.”[10]
Mukmin yang kokoh imannya, kuat tubuhnya, kuat kemauannya, baik perangainya dan semuanya terbingkai indah dengan taqarrub kepada Allah subḥānahu wa ta’ālā, itulah manusia yang istimewa.
Footnote:
[1] H.R. Bukhārī nomor 6498 dan al-Tirmizī nomor 2872.
[2] Al-Nihāyah fī Garīb 1/16.
[3] Syarḥ Ṣaḥīḥ Bukhārī 10/207.
[4] H.R. Bukhārī nomor 2652 dan Muslim nomor 2533.
[5] Al-Mu’lim 3/280.
[6] Q.S. Yunus ayat 24.
[7] Al-Nihāyah fī Garīb 1/15-16.
[8] H.R. Muslim nomor 2547.
[9] Al-Minhāj 16/101.
[10] H.R. Muslim nomor 2664.