MANDI DAN WUDU BAGI PEREMPUAN ISTIHADAH KETIKA AKAN SALAT

58
Mandi Dan Wudu Bagi Perempuan Istihadah Ketika Akan Salat
Perkiraan waktu baca: 2 menit

 وَعَنْ أَسمَاءَ بنْتِ عُمَيْسٍ قَالَتْ: قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ أَبِي حُبَيْشٍ اسْتُحِيضَتْ مُنْذُ كَذَا وَكَذَا فَلَمْ تُصَلِّ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ))سُبْحَانَ اللهِ هَذَا مِنَ الشَّيْطَانِ، لِتَجْلِسْ فِي مِرْكَنٍ، فَإِذَا رَأَتْ صُفْرَةً فَوقَ المـَاءِ، فَلْتَغْتَسِلْ لِلظُّهْرِ وَالعَصْرِ غُسْلاً وَاحِدًا، وَتَغْتَسِلْ لِلْمَغْرِبِ وَالعِشَاءِ غُسْلاً وَاحِدًا، وَتَغْتَسِلْ لِلْفَجْرِ غُسْلاً، وَتَتَوَضَّأُ فِيمَا بَيْنَ ذَلِكَ)). رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَالدَّارَقُطْنِيُّ وَالحَاكِمُ وَقَالَ: عَلَى شَرْطِ مُسْلِمٍ، وَقَدْ أَعَلَّهُ بَعْضُهُمْ

Dari Asma binti ‘Umaisy beliau berkata, “Wahai Rasulullah, Fāṭimah binti Abi Ḥubaisy mengalami istihadah, sejak beberapa waktu dan tidak melaksanakan salat.” Rasulullah ﷺ bersabda, “Subhanallah hal tersebut karena setan, hendaknya dia mandi di wadah, jika dia melihat warna kekuningan di permukān air maka mandilah sekali saja untuk melaksanakan Salat Zuhur dan Ashar, kemudian mandilah sekali saja untuk melaksanakan Salat Magrib dan Isya, kemudian mandilah sekali saja untuk melaksanakan Salat Fajar dan boleh hanya berwudu saja di antara waktu salat tersebut.” Hadis diriwayatkan Abu Daud dan al-Dāraquṭni dan al-Ḥākim yang berkata, “Hadis sesuai syarat Muslim.” Akan tetapi, sebagian ulama menyebutkan hadis tersebut ada ilatnya.[1]

Daftar Isi:

Kosakata Hadis:

  1. (سُبْحَانَ اللهِ) Subhanallah adalah perkatān yang terucap dari Nabi ﷺ karena takjub.[2]
  2. (مِرْكَنٍ) Mirkanadalah al-ijānah yaitu wadah atau bejana yang digunakan untuk mencuci pakaian. Maknanya adalah Nabi ﷺ memerintahkan Fāṭimah untuk mandi di dalam wadah yang biasa beliau gunakan untuk mandi, sehingga ketika beliau menyiram air ke tubuhnya, air yang diguyur ketubuh akan bercampur dengan air yang terbilas dari bagian tubuh lainnya. Setelah ini akan terlihat jelas di permukān air warna kemerahan atau warna kekuningan. Tentu setelahnya beliau membasuh kembali tubuhnya dari air yang telah berubah warnanya terebut.[3]
  3. Hal tersebut karena setan” memiliki dua makna. Pertama: makna majas bahwa setan telah membuat dia lupa hari-hari yang merupakan siklus haidnya sehingga dia tidak tahu lagi kapan harus salat dan kapan waktu tidak salat karena haid. Kedua makna hakiki: setan telah mengganggu fisik beliau sehingga darah istihadah yang berasal dari pembuluh darah[4]
  4. Warna kekuningan” dari sabda Nabi ﷺ dijadikan dalil oleh ulama sebagai tanda terputus dan selesainya darah haid. Adapun al-Nawawi raḥimahullāh menukilkan bahwa para ulama mazhab al-Syāfi’i menyebutkan tanda-tanda berhentinya haid atau keadān suci dari haid adalah berhentinya darah, cairan kekuningan, dan cairan keruh atau cairan putih. Dapat juga dianggap sudah suci jika tidak keluar lagi cairan apapun sama sekali.[5]
Baca juga:  HADIS TIDAK MENGHADAP KIBLAT PADA SAAT BUANG HAJAT

Faedah dan istinbat dari hadis:

  1. Hadis ini menunjukkan kemudahan syariat Islam. Ketika darah istihadah menjadi sesuatu yang memberatkan (karena banyak) Nabi ﷺ memberikan solusi kepada Fāṭimah binti Abi Ḥubaisy raḍiyallahu’anhā dengan memberi rukhsah untuk menjamak salat sebagaimana rukhsah bagi musafir. Pendapat ini adalah fatwa dan istinbat dari Ibnu Abbas raḍiyallahu’anhu terhadap hadis tersebut.[6] Termasuk yang mendapat rukhsah menjamak salat orang adalah yang sakit dan semua yang memiliki uzur karena kondisi yang memberatkan melaksanakan salat di setiap waktu dan butuh menjamaknya.[7]
  2. Hadis tersebut dan hadis Hamnah berikutnya menjelaskan perintah Nabi ﷺ perempuan yang istihadah untuk mandi tiga kali sehari semalam. Ulama berbeda pandangan terkait masalah ini:

Pertama, pendapat yang mengatakan wajib baginya mandi setiap kali salat. Diriwayatkan dari beberapa sahabat dan tabiin.

Kedua, jumhur ulama berpendapat bahwa tidak wajib yang demikian. Pendapat yang pertengahan mengatakan bahwa yang wajib adalah berwudu sedangkan mandi hanya anjuran saja.[8]

 


Footnote:

[1] H.R. Abu Dāwūd (296), al-Dāraquṭni (1/216), al-Ḥākim (174) dan al-Baihaqi (1/281).

[2] Badruddin al-‘Aini. Syarḥ Sunan Abi Dāwūd. Jilid 2, hlm 83.

[3] Al-Nawawi. Al-Minhāj. Jilid 4, hlm 26.

[4] Badruddin al-‘Aini. Syarḥ Sunan Abi Dāwūd. Jilid 2, hlm 83.

[5] Al-Nawawi. Al-Minhāj. Jilid 4, hlm 22.

[6] Badruddin al-‘Aini. Syarḥ Sunan Abi Dāwūd. Jilid 2, hlm 83.

[7] Al-Syaukāni. Nail al-Auṭār. Jilid 1, hlm 303.

[8] Muḥammad bin Ismā’īl al-Ṣan’āni. Op. Cit. Jilid 1, hlm 150.

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments