Daftar Isi:
REDAKSI HADIS LARANGAN BERPRASANGKA BURUK
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسوُلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ
“Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Jauhi prasangka buruk, sesungguhnya prasangka buruk itu adalah ucapan yang paling dusta.’”
TAKHRIJ HADIS
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (6066) dan Imam Muslim (2563) dari jalur Imam Malik, dari Abu al-Zinad, dari al-A’raj, dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mata rantai rawi pada sanad di atas didaulat sebagai salah satu mata rantai sanad tervalid dari Abu Hurairah terkait periwayatan hadis.[1]
PROFIL SAHABAT
Nama beliau yang paling kuat adalah Abdurrahman bin Shakhr al-Dausi, namun beliau sangat masyhur dengan kuniyah-nya, sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan biografi beliau kerap berulang di rubrik serial penjelasan hadis pilihan ini.[2]
PENJELASAN HADIST TENTANG SUUDZON
Hati adalah organ tubuh yang paling vital sekaligus anggota tubuh yang paling mulia pada diri manusia, sebab ia adalah episentrum kesalehan dan kefasikan seorang hamba dihadapan Allah azza wajalla. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging, jika ia baik, maka akan baik pula seluruh tubuh, dan apabila ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuh. Ketahuilah segumpal daging itu adalah hati.”
Karena kedudukannya yang vital inilah maka suatu hal yang krusial untuk menjaga kesuciannya dari perkara-perkara yang berpotensi merusaknya. Di antara perkara tersebut adalah aktivitas buruk sangka, oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberi peringatan bagi umatnya terkait dengan aktivitas ini dengan bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ
“Jauhi prasangka!”
Secara zahir redaksi hadis ini mengandung peringatan untuk menjauhi aktivitas prasangka secara umum, yang berkonsekuensi pada haramnya perbuatan ini.
Lafaz zhan dalam perspektif ulama usul fikih bermakna mengetahui suatu perkara dengan potensi dominasi yang lebih kuat pada sisi kevalidan atau kebenarannya.[3] Namun di dalam hadis ini, nampaknya bukan makna ini yang dikandung, tapi makna yang lain, minimal ada dua interpretasi ulama terkait dengan hadis ini:
Pertama: yang dimaksud dengan zhan disini adalah tudingan dan tuduhan tanpa dasar, atau yang lebih spesifik adalah prasangka buruk terhadap seseorang yang dibangun tanpa bukti, dan melontarkan tudingan kepada seseorang tanpa dasar yang kuat.[4]
Kandungan hadis ini menegaskan makna yang dikandung oleh firman Allah azza wajalla,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa.”
Jadi yang dimaksud dengan prasangka (zhan) yang dikandung oleh nas di atas adalah prasangka yang dibangun tanpa bukti dan indikasi yang kuat, seperti aktivitas buruk sangka (suu al-zhan).[5]
Sejatinya aktivitas suu al-zhan adalah amalan hati, namun dapat menjalar kepada ucapan dan perbuatan. Jadi, prasangka buruk dapat beralih menjadi aktivitas gibah atau berkata dusta jika diucapkan, dan dapat berubah menjadi aktivitas tajassus (memata-matai) jika diiringi dengan aktivitas mengais aib dan cacat seseorang, sebab sangat lumrah jika seseorang memiliki dugaan dan tuduhan kepada seseorang akan berusaha mencari bukti dengan mengadakan proses penyelidikan untuk membuktikan dugaan dan tuduhan tersebut. Namun yang diperingatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah apabila tuduhan dan prasangka tersebut dibangun tanpa bukti nyata, sehingga proses tajassus-nya (mematai-matai) hanya sekadar upaya untuk mencari-cari kesalahan dan mengais bukti yang dipaksakan atau dibuat-buat, maka dengan demikian justru terjerembab ke dalam dua kesalahan: buruk sangka dan tajassus.
Setelah mengutip ucapan al-Khattabi rahimahullah, Imam al-Nawawi rahimahullah memberikan penjelasan bahwa larangan yang dikandung oleh hadis bukan prasangka yang sekadar terbetik di dalam hati kemudian lenyap, sebab aktivitas ini legal secara syariat berdasarkan hadis.
إنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ تَجَاوَزَ لِأُمَّتي عَمَّا حَدَّثَتْ به أَنْفُسَهَا، ما لَمْ تَعْمَلْ، أَوْ تَكَلَّمْ بهِ
“Sesungguhnya Allah azza wajalla memaafkan bagi umatku terkait perkara yang terbetik dalam hati seseorang, selama ia tidak mengamalkannya atau mengucapkannya.”[6]
Yang dilarang oleh hadis di atas adalah prasangka yang menetap di dalam hati dan tidak lenyap, sebab prasangka jenis ini berubah menjadi keyakinan yang merupakan bagian dari amalan hati, apalagi jika diiringi dengan aktivitas yang lain seperti mengucapkan dan menceritakan prasangka tersebut kepada orang lain, atau melakukan aktivitas tajassus (memata-matai), atau bahkan melakukan aktivitas menghakimi dan menuduh orang dicurigai tersebut.[7]
Kedua: bermakna prasangka dan dugaan dalam perkara yang harus dibangun berlandaskan keyakinan dan ilmu, seperti urusan agama.
Al-‘Iraqi rahimahullah mengutip ucapan al-Qadhi ‘Iyyadh rahimahullah, beliau mengatakan,
يحتمل أن المراد الحكم في الشرع بظن مجرد من غير بناء على أصل ولا نظر واستدلال
“Ada kemungkinan maknanya adalah proses menyimpulkan hukum dalam syariat dengan berpijak pada dugaan semata, tanpa landasan dalil, pengkajian, dan proses pengambilan konklusi.”[8]
Mulla Ali al-Qari rahimahullah mengatakan,[9]
احذروا اتباع الظن في أمر الدين الذي مبناه على اليقين
“Hindarilah mengikuti dugaan dan prasangka dalam perkara agama yang sejatinya harus berlandaskan keyakinan.”
Kemudian beliau menyitir firman Allah azza wajalla,
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ
“Dan kebanyakan dari mereka hanya mengikuti dugaan. Sesungguhnya dugaan itu tidak sedikit pun berguna untuk melawan kebenaran. Sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.”[10]
Jadi larangan pada nas hadis di atas berkonsekuensi pada haramnya aktivitas bertumpu dan berpijak kepada dugaan dan prasangka belaka dalam perkara yang berbasis ilmu dan keyakinan, di antaranya adalah dalam perkara agama.
Jika ditelisik dengan seksama, interpretasi al-Qadhi ‘Iyyadh dan Mulla Ali al-Qari rahimahullah ada sisi benarnya, sebab mayoritas penyimpangan dan kesesatan dalam agama, bahkan kesesatan yang bermuara pada kesyirikan bersumber dari mengikuti prasangka belaka, buktinya ayat di atas (Yunus: 36) disitir dalam redaksi penyimpangan kesyirikan yang dilakukan oleh umat Nabi Yunus.[11] Demikian juga dengan penyebab masuknya orang-orang kafir ke dalam neraka, salah satunya adalah karena mereka sekadar mengikuti dugaan dan prasangka semata, dan mengabaikan ilmu yang diwahyukan oleh Allah kepada para nabi dan rasul. Allah berfirman,
وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَتِرُونَ أَنْ يَشْهَدَ عَلَيْكُمْ سَمْعُكُمْ وَلَا أَبْصَارُكُمْ وَلَا جُلُودُكُمْ وَلَكِنْ ظَنَنْتُمْ أَنَّ اللَّهَ لَا يَعْلَمُ كَثِيرًا مِمَّا تَعْمَلُونَ ۞ وَذَلِكُمْ ظَنُّكُمُ الَّذِي ظَنَنْتُمْ بِرَبِّكُمْ أَرْدَاكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan kamu tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan, dan kulitmu terhadapmu bahkan kamu menduga dan mengira Allah tidak mengetahui banyak tentang apa yang kamu lakukan ۞ dan itulah dugaanmu yang telah kamu sangkakan terhadap Tuhanmu, (dan dugaan) itu telah membinasakan kamu, sehingga jadilah kamu termasuk orang yang rugi.”[12]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ
“Sesungguhnya prasangka itu adalah ucapan yang paling dusta.”
Ini adalah motif peringatan yang dikandung oleh lafaz hadis di atas, yaitu predikatnya sebagai ucapan yang paling dusta.
Larangan terhadap aktivitas buruk sangka, minimal memiliki dua motif:
PERTAMA: predikatnya sebagai ucapan yang paling dusta.
Buruk sangka (suu zhan) digelari dengan ucapan yang paling dusta, padahal sejatinya prasangka buruk adalah amalan hati, sebab sumber dari suu zhan adalah bisikan hati dan jiwa, oleh karena itu ia disebut dengan ucapan.
Adapun predikat suu zhan sebagai ucapan yang paling dusta disebabkan karena dua hal:
- Makna dusta adalah perkara yang menyelisihi realita dan fakta tanpa bersandar kepada bukti dan indikasi, adapun prasangka (zhan) adalah aktivitas yang subjeknya mengklaim atau memberi kesan bahwa dia memiliki bukti atas prasangka tersebut, maka akumulasi dari dua fakta inilah aktivitas tersebut dianggap sebagai akdzabul hadis alias ucapan yang paling dusta.[13]
- Sejatinya sumber dari buruk sangka adalah bisikan-bisikan yang terbetik dalam jiwa, yang kemudian kerap menimbulkan ucapan dan perbuatan yang berkontradiksi dengan fakta dan realita yang sebenarnya, oleh karena itu diberi predikat sebagai akdzabul hadis.[14]
KEDUA: sematan dosa kepada aktivitas ini sebagaimana dipaparkan dalam surat al-Hujurat ayat 12 di atas.
Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengklasifikasikan perbuatan ini sebagai dosa besar. Beliau membuat bab dalam kitab al-Kabair “Buruk Sangka kepada Kaum Muslimin.”[15] Adapun al-Dzahabi rahimahullah mengkategorikan buruk sangka ke dalam perbuatan dusta, dan menurut sudut pandang beliau, mayoritas dusta terklasifikasi sebagai perbuatan dosa besar.[16]
Di dalam hadis ini, prasangka buruk berpredikat sebagai akdzabul hadis (perbuatan dusta yang paling buruk) disebabkan karena dua hal:
Pertama: merupakan perkara yang aksiomatis bahwa perbuatan dusta adalah sifat yang buruk dan perbuatan tercela menurut masyarakat, apapun latarbelakangnya. Berbeda dengan prasangka ini, sang aktor memberikan kesan bahwa dia memiliki dasar dan bukti ketika berprasangka, maka sangat layak jika disematkan predikat akdzabul hadis pada aktivitas ini.
Kedua: pihak yang tertipu dan termakan oleh buruk sangka lebih banyak karena buruk sangka lebih samar kedustaannya dibandingkan dengan dusta ucapan dan perkataan, sehingga buruk sangka lebih laris diterima di tengah masyarakat, dan sangat banyak aktivitas di tengah masyarakat yang berpijak pada prasaka belaka, seperti gibah, dusta, adu domba, tajassus (memata-matai), dan sebagainya.[17]
FIKIH HADITS LARANGAN BERBURUK SANGKA
- Haramnya aktivitas buruk sangka yang tidak didasari bukti yang kuat, dan aktivitas ini masuk dalam kategori akhlak yang buru yang wajib untuk dijauhi. Di antara buktinya sebagian ulama memasukkan hadis ini dalam bab peringatan dari akhlak yang buruk, di antaranya adalah Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah dalam kitab Bulughul Maram.
- Buruk sangka inklusif dalam klasifikasi dosa besar sebagaimana dipaparkan oleh para ulama di atas, sebab selain aktivitas ini berpijak pada kedustaan, ia juga bagian dari perbuatan zalim kepada orang lain.
- Aktivitas curiga atau buruk sangka yang bersandar pada bukti dan indikasi yang nyata, tidak inklusif dalam peringatan yang dikandung oleh hadis ini.[18]
- Aktivitas buruk sangka kerap sekali di iringi oleh dosa-dosa yang lainnya, seperti aktivitas gibah, menyebar dusta, dan mencari-cari kesalahan orang lain.
- Mafhumul mukhalafah (kesimpulan terbaik) dari hadis ini adalah dianjurkan untuk berbaik sangka kepada orang yang secara zahir menampakkan kebaikan dan ketakwaan.
- Larangan untuk menyimpulkan hukum syar’i dengan berpijak pada dugaan-dugaan semata, tanpa berlandaskan dalil dari al-Quran dan sunah.
Footnote:
[1] Al-Ba’its al-Hatsits, karya Ahmad Syakir, hal. 24.
[2] https://markazsunnah.com/serial-penjelasan-hadis-hadis-pilihan-2/
[3] Al-Ushul Min ‘Ilmil Ushul, karya syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hal. 12.
[4] Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim (16/118), dan Subulus Salam karya al-Shan’ani (4/227), dan Minhatul ‘Allam (10/219).
[5] Taisir Karimir Rahman, karya syekh Abdurrahman al-Sa’di, ketika menafsirkan surat al-Hujurat ayat 12.
[6] Shahih Muslim (2563).
[7] Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim (16/119) dengan sedikit tambahan contoh.
[8] Tharh al-Tatsrib (8/93).
[9] Mirqatu al-Mafatih Syarh Misykatu al-Mashabih (14/327).
[10] QS. Yunus 36.
[11] Silahkan merujuk ke tafsir Syekh Abdurrahman al-Sa’di, hal. 364.
[12] QS. Fushilat 22-23.
[13] Subulus Salam karya al-Shan’ani (4/229).
[14] Minhatu al-‘Allam (10/220).
[15] Al-Kabair, syekh Muhammad bin Abdulwahhab hal. 120.
[16] Al-Kabair, karya al-Dzahabi hal. 125.
[17] Minhatu al-‘Allam (10/220) dengan modifikasi redaksi dan tambahan contoh.
[18] Subulus Salam (4/228-229).