BEJANA BEKAS AHLU KITAB DAN HUKUM MENGGUNAKANNYA (BAGIAN KEDUA)

303
BEJANA BEKAS AHLU KITAB DAN HUKUM MENGGUNAKANNYA KEDUA
BEJANA BEKAS AHLU KITAB DAN HUKUM MENGGUNAKANNYA KEDUA
Perkiraan waktu baca: 1 menit

وَعَن عِمْرَانَ بن حُصَيْن رَضِيَ اللَّهُ عَنْهما، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَأَصْحَابَهُ تَوَضَّأُوا مِنْ مَزَادَةٍ امْرَأَةٍ مُشْرِكِةٍ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ مُخْتَصَرٌ مِنْ حَدِيث طَوِيل

Imran bin Hushain radiyallahu anhuma meriwayatkan, “Nabi ﷺ dan para sahabat pernah berwudu dari bejana milik seorang perempuan musyrikah.” (Muttafaqun Alaihi,[1] ini adalah ringkasan dari lafal hadis yang panjang).

Daftar Isi:

Kosa kata hadis:

  1. Imran bin Hushainradiyallahu anhuma, Abu Nujaid al-Khuza’i, masuk Islam pada tahun penaklukan Khaibar dan ikut beberapa peperangan bersama Nabi Muhammad ﷺ. Beliaulah yang memegang panji bani Khuza’ah pada saat penaklukan kota Makkah. Pernah tinggal di Bashrah sebagai utusan Umar bin Khattab untuk mengajari penduduknya syariat Islam, dan wafat di sana pada tahun 52 hijriah.[2]
  2. Mazaadaatun (مَزَادَة) adalah bejana yang terbuat dari beberapa lapis kulit binatang[3] dan sering digunakan ketika safar pada masa itu.

Makna hadis:

Hadis ini menceritakan bahwa Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabat pernah berwudu menggunakan air dari bejana milik perempuan musyrik. Hadis ini mempertegas tentang kebolehan penggunaan bejana yang sebelumnya digunakan oleh orang musyrik,[4] sebagaimana telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya.

Faedah dan istinbat dari hadis:

  1. Kulit yang sudah disamak atau sudah dibersihkan hukumnya suci.[5]
  2. Hadis ini menjadi dalil bagi ulama yang memandang tentang sucinya (boleh bersuci) dengan air milik kaum musyrik dan ahli kitab. Beliau dan para sahabatnya juga menggunakan pakaian dan bejana yang ditenun dan dibuat oleh orang musyrik kemudian didatangkan kepada mereka di negeri Islam.[6]

 

 


Footnote:

[1] H.R. Al-Bukhari (344) dan Muslim (682).

Baca juga:  MENYENTUH WANITA YANG BUKAN MAHRAM DALAM TINJAUAN ISLAM

[2] Ibnu Hajar al-Asqalany. Al-Ishabah fii Tamyiiz al-Shahabah. Jilid 4, hlm 585.

[3] Al-Nawawi. Al-Minhaaj. Jilid 5, hlm 191.

[4] Muhammad bin Ismail al-Shanaani. Op. Cit. Jilid 1, hlm 46.

[5] Muhammad bin Ismail al-Shanaani. Op. Cit. Jilid 1, hlm 46.

[6] Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab al-Hambali (w.795 H). 1422 H. Jaami’ul Ulum wal Hikam, Muassasah al-Risalah, Beirut. Jilid 1, hlm 199.

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments