
197 – عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللهُ تَعَالَى عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((لَا يَقْبَلُ اللهُ صَلَاةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ)). مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ
Dari Abu Hurairah t, dia berkata, “Rasulullah r bersabda, ‘Allah U tidak menerima shalat salah seorang di antara kalian kecuali dia berwudu’.” Muttafaqun Alaihi, lafaz tersebut riwayat Muslim.[1]
Kosa kata hadis:
- (لَا يَقْبَلُ اللهُ) artinya Allah tidak menerima. Dalam bentuk kalimat nafi, yang mana bentuk kalimat tersebut lebih kuat penekanannya jika dibandingkan dengan larangan. Karena kalimat nafi secara langsung juga mengandung larangan, bahkan larangan yang bersifat rangkap atau dobel.[2]
- (أَحْدَثَ) artinya (الإِيْذَاءُ) atau suatu gangguan dan halangan, berasal dari kata (الحُدُوثُ) Al-Huduuts maknanya kondisi sesuatu yang belum terjadi (kemudian ia terjadi).[3]
Maknanya secara terminologi adalah keluarnya (sesuatu) dari dubur atau kubul atau hal lainnya yang membatalkan wudu.
- (حَتَّى يَتَوَضَّأَ) hingga dia berwudu maknanya hingga dia bersuci kembali dengan air atau tanah. Nabi Muhammad r hanya menyebutkan berwudu sebagai sarana bersuci karena pada asalnya dan secara umum
bersuci dengan berwudu dan tayamun adalah sebagai pengganti wudu.[4]
Makna hadis:
Syariat Islam menetapkan dan memberikan arahan bagi siapa saja yang ingin melaksanakan shalat, hendaknya dalam kondisi yang baik dan penampilan yang indah, karena shalat adalah hubungan yang sangat kuat dan erat antara Allah dan hamba-Nya. Shalat adalah wasilah untuk bermunajat kepada Allah U. Sehingga diperintahkan untuk berwudu dan bersuci ketika melaksanakannya. Kemudian dipertegas bahwa ibadah shalat akan tertolak jika dilaksanakan tanpa taharah.[5]
Faedah dan istinbat dari hadis:
- Hadis tersebut memberikan makna dan menjelaskan maksud bahwa dipersyaratkan taharah dari hadas agar shalat seseorang menjadi sah.
Dengan kaidah,
انْتِفَاءُ الْقَبُولِ دَلِيلًا عَلَى انْتِفَاءِ الصِّحَّةِ
“Penafian diterimanya (suatu ibadah) adalah dalil terhadap penafian keabsahan (ibadah tersebut).”[6]
- Jika seseorang berhadas dalam shalatnya maka dia harus berwudu kembali kemudian memulai shalat dari awal. Tidak boleh baginya melanjutkan shalat yang terputus tersebut, demukian fatwa Ibnu Abi Laila, Malik dan Asy-Syafi’i.
Dengan hadis ini ulama menolak fatwa Imam Abu Hanifah yang menyatakan bahwa orang yang berhadas ketika duduk tasyahud akhir maka shalatnya sudah sempurna. Hal tersebut karena beliau memandang tahalul ibadah shalat dapat dengan perkataan, perbuatan (termasuk hadas yang terjadi) dan tidak mesti dengan salam. Sedangkan jumhur ulama memandang bahwa tahalul harus dengan salam (taslim).[7]
Footnote:
[1] HR. Al-Bukhari (135) dan Muslim (225).
[2] Abdullah bin Shalih Al-Bassam. Taisiir ‘Allam Syarh Umdatil Ahkam. Jilid 1, hlm 17.
[3] Badruddin Al-Aini. Syarah Sunan Abi Daud. Jilid 1, hlm 181.
[4] An-Nawawi. Al-Minhaaj. Jilid 3, hlm 103.
[5] Abdullah bin Shalih Al-Bassam. Taisiir ‘Allam Syarh Umdatil Ahkam. Jilid 1, hlm 18.
[6] Ibnu Daqiiq Al-‘Ied. Ihkamul Ahkam Syarh Umdatil Ahkam. Jilid 1, hlm 63.
[7] Ibnu Batthal. Op. Cit. Jilid 8, hlm 311.