Daftar Isi:
REDAKSI HADIS:
عَنْ أَنَسِ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
Dari Anas radiyallahu anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Setiap manusia pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang yang bertobat.’”
TAKHRIJ HADIS:
Hadis ini diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya (35357), Imam Ahmad (13049), Abd bin Humaid dalam Musnadnya (1197), Al-Tirmidzi (2499), Ibnu Majah (4251), Ibnu Hibban dalam Al-Majruhin[1], Al-Hakim dalam Al-Mustadrak-nya (7617) dan yang lainnya; semuanya lewat jalur Ali bin Mas’adah Al-Bahily, dari Qatadah, dari Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Jadi Ali bin Mas’adah Al-Bahily berpredikat sebagai madarul hadis (poros sanad) dalam jalur periwayatan ini, sebab semua perawi bermuara kepada beliau. Ali bin Mas’adah Al-Bahily Abu Habib Al-Bashri, beliau adalah sosok yang diperselisihkan oleh para ulama al-jarh wa al-ta’dil. Abu Daud mengatakan, “tsiqah” (terpercaya), Abu Hatim mengatakan, “la ba’sa bihi” (level pertengahan dalam ucapan ta’dil, hadisnya derajatnya hasan).”[2] Ibnu Hibban mengatakan, “Beliau termasuk orang melakukan kesalahan dalam meriwayatkan hadis padahal hadis yang diriwayatkannya sedikit, dan terkadang bersendirian dalam meriwayatkan hadis, maka hadisnya berhak ditinggalkan jika tidak selaras dengan hadis-hadis para perawi yang tsiqat.“[3] Berpijak pada ucapan-ucapan di atas, Ibnu Hajar menyimpulkan kedudukan Ali bin Mas’adah dengan mengatakan, “shaduq, memiliki banyak kesalahan dalam meriwayatkan hadis.”[4] Dan Al-Dzahabi mengatakan, “Ada kelemahannya (dalam meriwayatkan hadis).”[5]
Testimoni Ibnu Hajar di atas fokus pada sisi ‘adalah (kualitas agama) Ali bin Mas’adah saja, adapun dari sisi dhabt (kekuatan hafalan) maka beliau lemah, dan fungsi dari testimoni pada sisi ‘adalah (عَدَالَةٌ) ialah indikasi akan kualitas ketakwaannya, sehingga kesalahan yang dia lakukan dalam meriwayatkan hadis bukan karena faktor kesengajaan, tapi murni karena lemahnya hafalannya, sebab orang yang bertakwa tidak akan berdusta kepada sesama manusia dengan sengaja karena termasuk dosa besar, apalagi berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sengaja.
Ibnu Hibban memiliki dua kritikan terhadap perawi ini: terjatuh dalam kesalahan dalam meriwayatkan hadis, dan hadis yang diriwayatkan sedikit. Maka kritikan Ibnu Hibban juga terkait buruknya hafalannya, sebab minimnya jumlah hadis yang beliau riwayatkan seharusnya menjadikannya tidak melakukan kesalahan dalam meriwayatkan hadis.
Dengan pemaparan ini, dapat disimpulkan bahwa sanad hadis ini lemah karena kelemahan Ali bin Mas’adah Al-Bahili, dan setelah menyebutkan beberapa hadis Ali bin Mas’adah (Di antara hadis yang kita bahas ini) secara spesifik Ibnu Adi berkata, “Ali bin Mas’adah memiliki riwayat-riwayat yang lain selain yang saya sebutkan di kitab ini, dan semua riwayat tersebut tidak valid.”[6] Imam Ahmad menilai hadis ini mungkar[7] (sanadnya).
Kendati sanad hadis ini lemah, namun kelemahanya tidak parah, dan lafaz hadisnya tidak mungkar dan diakomodir oleh dalil yang lain baik dari al-Qur’an maupun hadis, serta hadisnya berkaitan dengan fadhailul a’mal (keutamaan amalan), maka hadis tersebut bisa diamalkan.
Wallahu a’lam.
PROFIL SAHABAT:[8]
Anas bin Malik bin Al-Nadhr bin Dhamdham Abu Hamzah Al-Anshari Al-Khazraji. Beliau adalah pelayan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau mengatakan bahwa ketika Rasulullah berhijrah ke Madinah, usia beliau pada saat itu adalah 10 tahun, kemudian ibunda beliau, Ummu Sulaim, menawarkan Anas untuk membantu dan melayani Rasulullah shallallahu ‘Alaihi wasallam, maka beliaupun menerimanya.
Beliau ikut dalam perang Badar, namun bukan sebagai prajurit, tapi sebagai pelayan Rasulullah. Beliau adalah orang yang paling banyak mendampingi dan melayani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kuniyah beliau adalah pemberian Rasulullah, dan Rasulullah sering mencandai beliau.
Di antara keutamaannya adalah termasuk sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan ini merupakan hikmah banyak mendampingi Rasulullah, yang mana Anas mendampingi Rasulullah selama 10 tahun. Di antara keutamaannya juga adalah termasuk sahabat yang didoakan oleh Nabi, dan ini merupakan peran dari sang Ibunda, Ummu Sulaim, yang mana ketika Rasulullah datang ke Madinah, Ummu Sulaim berkata, “Wahai Rasulullah, ini putraku Anas, tolong doakan dia.” Rasulullah pun berdoa untuk Anas,
اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ وَأَطِلْ حَيَاتَهُ
“Ya Allah, banyakkan hartanya, dan keturunannya, dan panjangkan usianya.”
Dan ternyata doa tersebut terkabul, harta beliau sangat banyak, dan keturunan beliau mencapai 106 orang dan usia beliau juga panjang.
Di antara keutamaannya adalah salat beliau sangat mirip dengan tatacara salat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana dikatakan Abu Hurairah.
Beliau wafat setelah tahun 91 H atau 92 H atau 93 H, dengan usia mencapai 100 tahunan.
PENJELASAN HADIS:
- Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
كُلُّ ابْنِ آدَمَ
“Setiap manusia”
Ini adalah informasi dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terkait fakta manusia bahwa mereka pasti terjatuh dalam kesalahan dan dosa. Lafaz “kullu” di dalam bahasa Arab termasuk lafaz umum, maka secara zahir semua manusia inklusif dalam lafaz ini, tidak terkecuali para nabi dan rasul.
Namun telah tegak konsensus para ulama bahwa para nabi dan rasul maksum dari dosa, adapun sisi kemaksuman mereka adalah sebagai berikut:
- Maksum dalam tablighur risalah atau menyampaikan risalah dan wahyu yang diturunkan oleh Allah azza wajalla.
Ini merupakan salah satu karakter khusus para nabi dan rasul bahwa mereka terjaga dari kesalahan ketika menyampaikan wahyu, baik berupa mengkhianati wahyu, atau berupa berdusta. Di antara dalilnya adalah firman Allah azza wajalla,
وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْأَقَاوِيلِ، لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ، ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ، فَمَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ عَنْهُ حَاجِزِينَ
“Dan sekiranya Nabi Muhammad mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, maka pasti kami pegang dia pada tangan kanannya, kemudian Kami potong pembuluh jantungnya, maka tidak seorangpun dari kalian yang dapat menghalangi (Kami untuk menghukuminya). (QS Al-Haaqqah 44-47)
- Maksum dari dosa besar dan kesyirikan.
Adapun kemaksuman dari kesyirikan, maka para ulama telah membuat bab khusus di dalam buku mereka terkait hal ini, di antaranya Imam Al-Baihaqi membuat bab di kitabnya Dalail al-Nubawah tentang kemaksuman Nabi dari perbuatan jahiliah, bab “Dalil tentang Penjagaan Allah bagi Rasul-Nya pada Masa Muda dari Perbuatan-perbuatan Jahiliah.” Demikian juga dengan Abu Nuaim membuat bab dalam kitab Al-Dalail-nya, bab “Menyebutkan Perkara yang Dikhususkan Allah Berupa Kemaksuman dari Agama Kaum Jahiliah.”
Adapun kemaksuman Rasulullah dari dosa besar, maka ini adalah pendapat mayoritas para ulama, Ibnu Taimiyah mengatakan,
فإنَّ القول بأنَّ الأنبياء معصومون عن الكبائِر دون الصَّغائر هو قول أكثر علماء الإسلام، وجَميع الطَّوائف، حتَّى إنَّه قول أكثر أهل الكلام كما ذكر أبو الحسن الآمدي أنَّ هذا قول أكثر الأشعريَّة، وهو أيضًا قول أكثر أهل التَّفسير والحديث والفقهاء، بل هو لم ينقل عن السَّلف والأئمَّة والصَّحابة والتَّابعين وتابعيهم إلاَّ ما يوافق هذا القول
“Sesungguhnya pendapat bahwa para nabi ‘alaihimus salam maksum (terjaga) dari dosa besar dan tidak maksum dari dosa kecil adalah pendapat mayoritas ulama Islam dan semua kelompok, bahkan termasuk juga pendapat ahli kalam sebagaimana dipaparkan Abul Hasan Al-Amidi bahwa ini adalah pendapat mayoritas kelompok Asya’irah, dan ini juga pendapat mayotitas ulama tafsir, hadis, dan ulama fikih, bahkan tidak dinukil dari para ulama salaf dari kalangan sahabat, tabiin dan pengikut tabiin pendapat yang menyelisihi pendapat ini.”[9]
Di antara dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
والله إني لأخْشاكم لله وأتْقاكم له
“Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah di bandingkan kalian, dan yang paling bertakwa pula.”[10]
Di antara konsekuensi dari ketakwaan dan sifat takut kepada Allah adalah menghindari perkara-perkara yang dapat menimbulkan murka Allah, di antaranya adalah meninggalkan dosa-dosa besar.
Adapun untuk dosa kecil, maka mayoritas para ulama berpendapat bahwa para nabi dan rasul tidak maksum darinya, hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh ucapan Ibnu Taimiyah yang telah dikutip diatas.
- Sabda Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
خَطَّاءٌ
“Pasti banyak berbuat salah.”
Lafaz ini di dalam bahasa Arab lebih populer dengan sebutan shighah al-mubalaghah, yaitu bentuk kalimat yang menunjukkan sesuatu yang berlebihan dan banyak, maka kalimat ini menunjukkan bahwa manusia berpotensi untuk banyak terjatuh ke dalam kesalahan dan maksiat[11] baik dengan sengaja maupun dengan tidak sengaja, dan hal ini merupakan tabiat yang Allah tetapkan bagi manusia. Bahkan di dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda,
لَوْ لَمْ تُذْنِبُوا لَذَهَبَ اللهُ بِكُمْ، وَلَجَاءَ بِقَوْمٍ يُذْنِبُونَ، فَيَسْتَغْفِرُونَ اللهَ فَيَغْفِرُ لَهُمْ
“Seandainya kalian tidak melakukan maksiat dan dosa, maka akan melenyapkan kalian, dan akan mengganti kalian dengan kaum yang melakukan dosa, kemudian kaum tersebut memohon ampun kepada Allah, dan Allah mengampuni mereka.”[12]
- Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang yang bertobat.”
Dalam hadis ini terselip solusi bagi problem yang disebutkan di awal hadis, bahwa solusi bagi orang yang terjatuh ke dalam maksiat adalah dengan bertobat.
Makna tobat secara etimologi Bahasa Arab adalah kembali atau pulang. Adapun secara terminologi Bahasa Arab, kalimat tersebut bermakna kembali dan rujuk dari maksiat menuju kepada ketaatan kepada Allah.
Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menyebutkan syarat-syarat tobat yang berkualitas, syarat-syarat itu adalah,
Pertama: mengikhlaskan niat kepada Allah ketika bertobat.
Kedua: menyesali kemaksiatan yang telah dilakukan, dan ini menunjukkan keimanan yang menghiasi hatinya, karena seorang mukmin merasa “sakit” dengan maksiat yang dia kerjakan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَتُهُ وَسَاءتْهُ سَيِّئتُهُ فَذَلِكَ الْمُؤْمِنُ
“Siapa yang berbahagia dengan kebaikan yang dia lakukan, dan bersedih dengan keburukan yang dia lakukan, maka dia seorang mukmin.”[13]
Ketiga: meninggalkan perbuatan maksiat tersebut, dan ini merupakan salah satu syarat terpenting tobat.
Keempat: bertekad untuk tidak terjatuh kembali kepada maksiat tersebut di masa yang akan datang.
Kelima: bertobat sebelum tertutup waktunya.
Tobat diterima sebelum datang dua waktu:
- Sebelum sakaratulmaut.
- Sebelum matahari terbit dari arah barat.[14]
Keenam: jika dosanya berhubungan dengan sesama manusia -seperti menzalimi seseorang dengan ucapan atau mencuri harta seseorang-, maka wajib untuk meminta maaf atau mengembalikan benda yang dicuri kepada pemiliknya.[15]
FIKIH HADIS:
- Hadis ini menunjukkan bahwa manusia sangat rentan terjerembab ke dalam dosa dan maksiat.
- Secara zahir, hadis ini memaparkan bahwa sebaik-baik orang yang terjatuh ke dalam dosa dan maksiat adalah yang menyesali perbuatan dosa tersebut, dan bertobat kepada Allah subhanahu wata’ala.
- Seorang yang terjatuh ke dalam maksiat bisa menjadi jauh lebih baik dibandingkan sebelum dia terjatuh ke dalam maksiat, dengan catatan dia menyesali perbuatan dosa tersebut, meninggalkannya dan mengganti perbuatan-perbuatan dosa tersebut dengan amalan-amalan kebaikan, dan senantiasa dihantui penyesalan terkait dosa yang telah lakukan.
- Hadis ini menunjukkan salah satu keindahan agama Islam, yaitu memberikan solusi bagi problematika yang dihadapi manusia. Di dalam hadis ini dijelaskan bahwa manusia pasti terjerembab ke dalam maksiat, dan hal ini adalah problem bagi manusia, namun kemudian Rasulullah menjelaskan solusinya, yaitu bertobat kepada Allah.
- Keutamaan bertobat kepada Allah azza wajalla, bahwa tobat menghapuskan keburukan maksiat.
- Wajibnya bertobat kepada Allah jika terjatuh kepada maksiat. Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Wajib bertaubat dari semua dosa dan maksiat.”[16]
- Redaksi hadis datang dengan bentuk shighah mubalaghah (الخطاء) yang menunjukkan kerap dan banyak terjatuh dalam kesalahan dan dosa. Secara implisit hal ini menunjukkan bahwa orang yang terjatuh ke dalam maksiat dan dosa yang sama berkali-kali, dan dia selalu bertobat setiap terjatuh ke dalam dosa tersebut dengan syarat-syarat yang telah disebutkan di atas, maka Allah selalu menerima tobatnya tersebut,[17] dan hal ini dipertegas oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa Allah azza wajalla berfirman,
أذْنَبَ عَبْدٌ ذَنْباً ، فَقَالَ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي، فَقَالَ الله تَبَاركَ وَتَعَالَى : أذنَبَ عبدي ذَنباً ، فَعَلِمَ أنَّ لَهُ رَبّاً يَغْفِرُ الذَّنْبَ ، وَيَأْخُذُ بالذَّنْبِ ، ثُمَّ عَادَ فَأذْنَبَ ، فَقَالَ : أيْ رَبِّ اغْفِرْ لِي ذَنْبي ، فَقَالَ تبارك وتعالى : أذنَبَ عبدِي ذَنباً فَعَلِمَ أنَّ لَهُ رَبّاً ، يَغْفِرُ الذَّنْبَ ، وَيَأْخُذُ بالذَّنْبِ ، قَدْ غَفَرْتُ لِعَبْدِي فَلْيَفْعَلْ مَا شَاءَ
“Ada seorang hamba yang melakukan dosa, kemudian ia berdoa, ‘Ya Allah, ampunilah dosaku.’ maka Allah berfirman, ‘Hamba-Ku melakukan dosa, dan mengetahui bahwa dia memiliki Tuhan yang mengampuni dosa dan mengazab pelakunya (pula).’ Kemudian orang itu mengulang dosanya kembali, kemudian dia mengatakan, ‘Wahai Tuhanku, ampunilah dosaku.’ Maka Allah berfirman, ‘Hamba-Ku melakukan dosa, dan mengetahui bahwa dia memiliki Tuhan yang mengampuni dosa dan mengazab pelakunya (pula). Maka Aku ampuni dosa-dosa hamba-Ku, maka hendaklah dia berbuat sesukanya.’”[18]
Makna dari firman Allah azza wajalla “maka hendaklah dia berbuat sesukanya” adalah selama engkau melakukan dosa dan bertobat, maka Aku akan mengampunimu.[19]
- Hadis ini disebutkan oleh Ibnu Hajar di dalam bab Tentang Sifat Zuhud dan Warak, yang menunjukkan bahwa orang yang sangat saleh dan warak tetap rentan untuk terjatuh ke dalam maksiat, namun yang menjadi keistimewaan mereka adalah bersegera untuk bertobat kepada Allah.
Wallahu a’lam.
Footnote:
[1](2/111), dalam biografi Ali bin Mas’adah Al-Bahily.
[2]Al-Jarh wat-Ta’dil (6/204-205).
[3]Al-Majruhin (2/111).
[4]Taqribut Tahdzib hal. 446.
[5]Al-Kasyif (2/47).
[6]Al-Kamil fi Dhuafair Rijal (5/207).
[7]Al-Muntakhab Min Ilalil Khallal, hal. 32.
[8]Lihat: Tahdzibul Kamal (15/332-341).
[9]Majmu’ al-Fatawa (4/319).
[10]Shahih Al-Bukhari (5063).
[11]Tuhfah al-Ahwadzi (7/170).
[12]Shahih Muslim (2749).
[13]Sunan At-Tirmidzi (2165).
[14]Syarh Riyadhus Shalihin karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin (1/16).
[15]Riyadhus Shalihin karya Imam An-Nawawi hal. 22, dengan sedikit modifikasi.
[16]Idem.
[17]Lihat Fathul Bari (13/472).
[18]Shahih Al-Bukhari (7507), dan Shahih Muslim (2758).
[19]Riyadhus Shalihin hal. 268, dan Fathul Bari (13/472).