وَعَنْ ثَوْبَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: بَعَثَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَرِيَّةً فَأَصَابَهُمْ البَرْدُ، فَلَمَّا قَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُمْ أَنْ يَمْسَحُوا عَلَى العَصَائِبِ وَالتَّسَاخِيْنِ. رَوَاهُ أَحْمَدُ، وَأَبُو دَاوُد، وَأَبُو يعْلَى المـَوْصِلِي، وَالرُّويَانِيُّ، وَالحَاكِمُ، وَقَالَ: عَلَى شَرط مُسلم. وَفِي قَوْلِهِ نَظَرٌ، فَإِنَّهُ من رِوَايَة ثَوْرِ بنِ يَزِيدَ، عَنْ رَاشِدٌ بنِ سَعْدٍ، عَن ثَوْبَان، وثَوْرٌ لَمْ يَرْوِ لَهُ مُسْلِمٌ، بَلْ انْفَرَدَ بِهِ البُخَارِيُّ، وَرَاشِدُ بنُ سَعْدٍ لَمْ يَحْتَجُّ بِهِ الشَّيْخَانِ، وَقَالَ الإِمَامُ أَحْمَدُ: ))لَا يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ رَاشِدٌ سَمِعَ مِنْ ثَوْبَان; لِأَنَّهُ مَاتَ قَدِيما((، وَفِي هَذَا القَوْلِ نَظَرٌ: فَإِنَّهُمْ قَالُوا: إِنَّ رَاشداً شَهِدَ مَعَ مُعَاوِيَةَ صِفِّيْنَ، وَثَوْبَانُ مَاتَ سَنَةَ أَرْبَعٍ وَخَمْسِيْنَ، وَمَات رَاشِدٌ سَنَةَ ثَمَانِ وَمِائَةٍ، وَوَثَّقَهُ ابْنُ مَعِيْنٍ، وَأَبُو حَاتِم، وَالعِجْلِيُّ، وَيَعْقُوبُ بنُ شَيْبَةَ، وَالنَّسَائِيُّ، وَخَالَفَهُمْ ابْنُ حَزْمٍ فَضَعَّفَهُ – وَالَحقُّ مَعَهُمْ- وَالعَصَائِبُ: العَمَائِمُ، وَالنَّسَاخِيْنُ: الِخفَافُ
Dari Ṡaubān raḍiyallāhu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah ﷺ pernah mengutus satu kelompok laskar, (dalam perjalanan) mereka mengalami kondisi cuaca yang sangat dingin. Ketika mereka kembali ke (kota) Nabi ﷺ, Rasulullah memerintahkan (jika kondisi cuaca yang sangat dingin) mereka untuk mengusap serban dan khuf mereka.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Aḥmad, Abū Dāud, Abū Ya’lā al-Mauṣilī, al-Ruwyānī, al-Ḥākim dan dia berkata, “(Hadis) sesuai syarat Imam Muslim.” Namun pernyataan (al-Ḥākim) perlu dicermati lagi karena hadis tersebut dari jalur periwayatan Ṡaur bin Yazīd, dari Rāsyid bin Sa’ad, dari Ṡaubān. Ṡaur bukan rijal rawi (hadis) yang dicantumkan oleh Imam Muslim, namun rijal rawi al-Bukhārī. Rāsyid bin Sa’ad juga bukan rijal rawi (hadis) yang dijadikan hujah oleh al-Bukhārī dan Muslim.
Aḥmad bin Hambal berkata, “Tidak mungkin Rāsyid meriwayatkan dari Ṡaubān karena (Ṡaubān) telah wafat dalam waktu yang sangat lama.”
Pernyataan ini juga perlu dicermati karena para ulama mengatakan, “Rāsyid ikut berperang bersama Mu’āwiyah dalam peristiwa al-Siffīn dan Ṡaubān pada tahun 54 hijriah, sedangkan Rāsyid wafat tahun 108 hijriah.” Dia (Rāsyid) dinyatakan ṡiqah oleh Ibnu Ma’in, Abū Ḥātim, al-‘Ijlī, Ya’qūb bin Syaibah dan al-Nasā’ī. Ibnu Hazm sebaliknya melemahkan dia (Rāsyid). Namun yang benar adalah penilaian mereka (Ibnu Ma’īn, Abū Ḥātim, Al-‘Ijlī, Ya’qūb bin Syaibah dan al-Nasā’ī).
Daftar Isi:
Kosa kata hadis:
- Ṡauban adalah seorang sahabat yang cukup masyhur. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau awalnya adalah tawanan perang, kemudian dibebaskan oleh Rasulullah ﷺ. Setelah itu dia berkhidmat kepada Nabi ﷺ hingga beliau wafat. Setelah Nabi ﷺ wafat, Ṡauban raḍiyallāhu ‘anhu pindah ke Ramlah kemudian ke negeri Hims dan wafat di sana pada tahun 54 hijriah.[1]
Kun-yah beliau adalah Abū Abdillāh, meski diriwayatkan bahwa beliau tidak memiliki keturunan. Al-Żahabī menjuluki beliau “Ṡaubān al-Nabawī” karena beliau berkhidmat kepada Nabi ﷺ dan banyak meriwayatkan hadis serta murid-murid yang mengambil ilmu dari beliau juga sangat banyak jumlahnya karena beliau dikaruniakan umur yang panjang.[2]
- Al-‘aṣā’ib (العَصَائِب) adalah serban (العَمَائِم), dari asal kata “عَصَبَ” yang berarti mengikat dengan cara melilitkan. Serban disebut al-‘aṣā’ib karena dengan serban kepala menjadi ada lilitan.
- Sedangkan al-nasākhīn (النَّسَاخِيْن) adalah khuf, dari asal kata “سَخُنَ” yang berarti menghangatkan sesuatu. Khuf disebut al-nasākhīn karena dengan khuf kedua kaki menjadi lebih hangat.[3]
- Sariyyah (سَرِيَّة) adalah istilah untuk menyebutkan sekelompok kecil pasukan dengan jumlah personil maksimal empat ratus orang saja. Mereka adalah anggota khusus dan terbaik dari suatu pasukan.
Makna hadis:
Ṡaubān al-Nabawī menyebutkan kisah kelompok pasukan diutus oleh Nabi Muhammad ﷺ, dimana mereka mengalami cuaca yang sangat dingin dalam perjalanan tugas tersebut sehingga mereka melepaskan serban dan khuf yang dipakai. Dalam situasi tersebut, hal ini menjadi sesuatu yang cukup memberatkan.
Ketika kembali ke kota Madinah, mereka pun menanyakan permasalahan tersebut kepada Nabi ﷺ. Beliau memberikan solusi bagi mereka bahwa jika berwudu kemudian akan membasuh kepala dan kedua kaki, cukup membasuh serban dan khuf yang dipakaikan pada keduanya.
Faedah dan istinbat dari hadis:
- Hadis ini adalah dalil bolehnya mengusap serban ketika berwudu.
- Ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya mengusap serban ketika berwudu.
- Jumhur salaf membolehkan mengusap serban ketika berwudu, antara lain al-Auzā’ī, Aḥmad bin Hambal, Isḥāq bin Rahawaih, Abū Ṡūr dan Dāud. Aḥmad bin Hambal berkata, “Tentang hal tersebut (mengusap serban), ada lima konteks kalimat dari Nabi ﷺ dan syarat boleh mengusap serban adalah memakainya setelah taharah yang sempurna sebagaimana yang dilakukan ketika ingin mengusap khuf.”
- Sedangkan para fukaha lain tidak membolehkan mengusap serban karena mereka mentakwil riwayat berwudu mengusap serban kepada makna Nabi ﷺ hanya membasuh sebagian kepalanya dan tidak membasuh seluruh kepala serta tidak melepaskan serbannya. Sifat wudu yang dimaksud adalah mengusap ubun-ubun bersamaan dan bersambung mengusap dengan serban yang dipakai.[4]
Footnote:
[1] Ibnu Hajar al-Asqalanī. Al-Iṣābah fī Tamyīz al-Ṣaḥābah. Jilid 1, hlm. 527.
[2] Al-Żahabī. Siyār A’lām al-Nubalā’. Jilid 3, hlm. 16.
[3] Al-Khaṭṭābī. Ma’ālim al-Sunan. Jilid 1, hlm. 56.
[4] Al-Khaṭṭābī. Ma’ālim al-Sunan. Jilid 1, hlm. 57.