HUKUM DAN SYARAT TAHARAH KETIKA MENYENTUH MUSHAF

68
HUKUM DAN SYARAT TAHARAH KETIKA MENYENTUH MUSHAF
Perkiraan waktu baca: 3 menit

وَرَوَى مَالِكٌ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ- وَهُوَ ابْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرو بْنِ حَزْمٍ- أَنَّ فِي الْكِتَابِ الَّذِي كَتَبَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لعَمْرِو بْنِ حَزْمٍ: ((أَنَّ لَا يَمَسُّ القُرْآنَ إِلَّا طَاهِرٌ))، وَهَذَا مُرْسَلٌ، وَقَدْ رَوَاهُ أَحْمَدُ، وَأَبُو دَاوُدَ فِي(( الْمَرَاسِيل))، وَالنَّسَائِيُّ، وَالدَّارَقُطْنِيُّ، وَابْنُ حِبَّانَ مِنْ رِوَايَةِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو، عَنْ أَبِيْهِ، عَنْ جَدِّهِ وَرَاوِيْهِ عَنِ الزُّهْرِيِّ: سُلَيْمَانُ بنُ دَاوُد الْخَوْلَانِيُّ، وَقِيْلَ: الصَّحِيْحُ أَنَّهُ سُلَيْمَانُ بْنُ أَرْقَم وَهُوَ مَتْرُوكٌ

Mālik meriwayatkan dari ‘Abdullāh bin Abi Bakar, beliau adalah Ibnu Muḥammad bin ‘Amrū bin Ḥazm, bahwa dalam surat yang dikirim oleh Rasulullah ﷺ kepada ‘Amrū bin Ḥazm, disebutkan, “Tidak boleh menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang bertaharah.”[1]

Hadis ini mursal, diriwayatkan juga oleh Aḥmad, Abū Dāud di dalam kitab Marāsīl, al-Nasā’i, al-Dāraquṭnī, dan Ibnu Ḥibbān dari jalur al-Zuhrī, dari Abū Bakr bin Muḥammad bin ‘Amrū, dari bapaknya, dari kakeknya, dari jalur al-Zuhrī: Sulaimān bin Dāud al-Khaulānī, ada yang menyebutkan: “Yang sahih adalah Sulaimān bin Arqam”; dan dia matrūk (tidak diterima hadisnya).

Daftar Isi:

Kosa kata hadis:

  1. Mālik bin Anasbin Mālik al-Madanī; Syaikhul Islām, Hujjatul Ummah, Imām Dārul Hijrah. Beliau lahir pada tahun 73 hijriah, pada tahun wafatnya Anas bin Mālik raḍiyallāhu ‘anhu, dan wafat pada tahun 179 hijriah. Hadis tersebut beliau cantumkan di dalam kitab al-Muwaṭṭa’ secara mursal.
  2. ‘Amrū bin Ḥazmbin Zaid al-Khazrajī al-Najjarī, kun-yah-nya adalah Abū Ḍahhak.

Pertama kali ikut berjihad bersama Rasulullah ﷺ pada perang Khandak, ditugaskan oleh Rasulullah ﷺ kepada penduduk Najran dalam usia tujuh belas tahun untuk mengajari mereka dīnul-Islām, Al-Qur’an, mengumpulkan zakat dari mereka, kemudian Rasulullah pernah mengirimkan surat kepada ‘Amrū bin Ḥazm raḍiyallāhu ‘anhu yang berisi tentang faraid (ilmu waris), sunah-sunah, sedekah (zakat), dan diyat.

Baca juga:  HADIS-HADIS TENTANG KEKHUSUSAN HARI JUMAT

Beliau wafat di Madinah pada masa khilafah ‘Umar bin Khaṭṭāb raḍiyallāhu ‘anhu pada tahun 51 atau 53 hijriah.[2]

  1. Hadis ini dinilai ada ma’lull; terdapat ‘illat (cacat), dimana ‘illat hadis adalah ibarat tentang sebab-sebab yang sangat tersembunyi dan sulit diketahui dari suatu hadis dan mempengaruhi keabsahannya.

Ilmu ‘ilal al-hadīṡ adalah cabang ‘ulumul hadīṡ yang paling sulit dan butuh ketelitian, yang dapat menguasai ilmu ini hanya pribadi yang Allah U rezekikan pemahaman yang mendalam, hafalan yang luas, pengetahuan yang sempurna tentang marātib rawi-rawi hadis, bakat (keterampilan) yang mumpuni terhadap sanad dan matan.

‘illat (cacat) pada hadis ini terjadi karena keberadaan salah seorang rawinya yaitu Sulaimān bin Dāud; seorang rawi yang tidak diterima hadisnya bahkan ada konsensus terhadap penilaian tersebut. Demikian pernyataan Ibnu Ḥazm, namun sangkaan tersebut salah karena beliau menyangka rawi tersebut adalah Sulaiman bin Dāud al-Yamamī. Namun yang benar rawi tersebut adalah Sulaiman bin Dāud al-Khaulānī; seorang rawi ṡiqah sesuai penilaian Abū Zur’ah, Abū Hātim, Uṡmān bin Sa’id.[3]

  1. Jalur periwayatan “Kitab ‘Amrū bin Ḥazm raḍiyallāhu ‘anhu” adalah mutawatirdan diterima penisbatannya kepada Rasulullah ﷺ, demikian penilaian Ibnu ‘Abdil Barr.[4] Ya’qūb bin Sufyān menilai “Kitab ‘Amrū bin Ḥazm raḍiyallāhu ‘anhu” sebagai surat yang paling sahih dan diterima oleh para sahabat dan kalangan tabiin sebagai rujukan, bahkan mereka mengabaikan pendapat pribadi karena kitab tersebut. ‘Umar bin ‘Abdil ‘Azīz dan al-Zuhrī raḥimahumallāh memberi rekomendasi tentang keabsahannya.[5]
  2. Hadis tersebut dengan sanadnya berada pada derajat daif, namun ada beberapa riwayat dengan lafal yang serupa melalui jalur yang lain, yaitu: Ḥākim bin Hizām, ‘Abdullāh bin ‘Umar, ‘Uṡmān bin Abī al-‘Aṣ. Kesimpulan dari sebagian ulama mensahihkannya.[6] Allāhu a’lam.

Makna hadis:

Imam Mālik raḥimahullāh meriwayatkan isi surat Rasulullah ﷺ kepada ‘Amrū bin Ḥazm yang berisi: tidak boleh menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang dalam keadaan bertaharah.

Baca juga:  HUKUM SALAT SUNAH TAWAF SETELAH SUBUH DAN ASAR

Faedah dan istinbat dari hadis:

  1. Makna kata dan lafal ṭāhir dalam hadis mencakup ṭāhir dari hadas besar dan hadas kecil, makna tersebut juga dapat diitlakkan kepada mukmin dan semua orang yang pada tubuhnya tidak ada najis.[7]
  2. Imam Aḥmad bin Hambal dan Isḥāq bin Raḥawaih menjadikan hadis ini sebagai hujah dan ketika ditanya oleh Isḥāq bin Al-Maruzī tentang apakah seseorang membaca Al-Qur’an dalam kondisi tidak berwudu,Imam Aḥmad menjawab, “Iya, akan tetapi dia tidak boleh membaca dari mushaf selama dia belum berwudu.” Demikian amalan para sahabat, di antaranya Sa’ad bin Abī Waqqās (dengan sanad periwayatan yang sahih) dan tabiin.[8]

 


Footnote:

[1] H.R. Malik (680).

[2] Ibnu ‘Abdil Barr. Al-Isti’āb fī Ma’rifatil Aṣḥāb. Jilid 3, hlm. 1173.

[3] Muḥammad bin Ismā’īl al-Ṣan’anī. Op. Cit. Jilid 1, hlm. 101.

[4] Ibnu Abdil Barr. al-Tamḥīd. Jilid 17, hlm. 339.

[5] Muḥammad bin Ismā’īl al-Ṣan’anī. Op. Cit. Jilid 1, hlm. 101.

[6] Al-Albānī. Irwā’ul Galīl fī Takhrīj Aḥādīṡ Manāris Sabīl. Jilid 1, hlm. 158.

[7] Muḥammad bin Ismā’īl al-Ṣan’anī. Op. Cit. Jilid 1, hlm. 101.

[8] Al-Albānī. Irwā’ul Galīl. Jilid 1, hlm. 161.

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments