SYARAH KITAB ‘UMDAH AL-AḤKĀM[1]
HADIS LARANGAN KENCING DI AIR YANG TIDAK MENGALIR
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ -رضي الله عنه-: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ: لا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ الَّذِي لا يَجْرِي، ثُمَّ يَغْتَسِلُ مِنْهُ
وَلِمُسْلِمٍ: لا يَغْتَسِلُ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ
Artinya:
Abū Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Janganlah salah seorang di antara kalian kencing di air tenang yang tidak mengalir lalu mandi darinya.”
Di dalam riwayat Muslim, “Janganlah salah seorang di antara kalian mandi di air yang tenang sedang ia dalam keadaan junub.”[2]
Daftar Isi:
Takhrij Hadis:
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhārī dalam Ṣaḥīḥ-nya; kitab al-Wuḍū’, Bab “Kencing di Air Tenang yang Tidak Mengalir”, no. 236, dan Imam Muslim dalam Ṣaḥīḥ-nya; kitab al-Ṭahārah, Bab “Larangan Kencing di Air Tenang yang Tidak Mengalir”, no. 282. Matan hadis yang disebutkan di atas sesuai periwayatan Imam al-Bukhari.
Syarah dan Faedah yang Terkandung di Dalam Hadis Ini
- Larangan kencing di air yang tidak bergerak karena itu menjadi salah satu sebab yang menjadikan air bernajis. Air yang tenang tidak seperti air yang bergerak.
- Larangan di dalam hadis ini bersifat makruh bagi orang yang Buang Air Kecil (BAK) dan bersifat haram bagi orang yang Buang Air Besar (BAB)[3].
Ibnu Bāz memilih pendapat yang mengatakan bahwa larangan bersifat haram baik bagi orang yang BAK maupun BAB karena keduanya menjadikan air rusak dan tidak bisa dimanfaatkan oleh orang lain terutama jika dikencingi terus menerus.[4]
- Sabda beliau “kemudian mandi di situ” tidak terkhusus bagi orang yang mandi, mencakup juga wudu. Disebutkan dalam riwayat lain, “Kemudian wudu darinya.”[5]
Maknanya ialah jika seseorang yang kencing di air tergenang hendaknya ia tidak wudu dan tidak mandi darinya.
Footnote:
[1] Diterjemahkan dan disadur dari kitab “Mūjaz al-Kalām ‘ala ‘Umdah al-Aḥkām” karya Dr. Manṣūr bin Muhammad al-Ṣaq’ūb hafiẓahullāh.
[2] H.R. Muslim (283).
[3] Lihat: Kasysyaf al-Qina’ (1/62) dan Hasyiah al-Rauḍ al-Murbi’ karya Ibnu Qasim (1/137).
[4] Lihat: al-Ifhām fī Syarḥ ‘Umdah al-Aḥkām karya Ibnu Bāz hal. 69.
[5] H.R. Aḥmad (7525), Tirmiżi (68), Nasā’ī (58). Imam Tirmiżi berkata, “Hadis yang hasan sahih.”