Hadis Ke-23: Upaya Mendapatkan Lailatulqadr
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُجَاوِرُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ، يَقُوْلُ : تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
وَفِيْ رِوَايَةٍ : فِيْ الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ. متفق عليه
‘Āisyah raḍiyallāhu ‘anhā berkata, “Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam biasanya beriktikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan. Beliau ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Carilah lailatulqadr pada sepuluh malam yang akhir dari Ramadan’.”
Dalam riwayat yang lain, “Pada malam ganjil dari sepuluh hari terakhir Ramadan.” Muttafaqun ‘alaihi[1].
Hadis ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa seorang muslim diperintahkan untuk berupaya mencari lailatulqadr pada sepuluh hari terakhir di bulan yang mulia ini dengan cara menghidupkan malam dengan ketaatan kepada Allah ta’āla seperti melaksanakan salat, berzikir, membaca Al-Qur’an dan lain sebagainya.
Makna “يجاور” adalah beriktikaf di masjid.
Makna “تحروا” adalah carilah.
Disebutkan dalam kitab al-Nihāyah, “Maknanya adalah upayakanlah mendapatkannya pada (malam-malam tersebut). Makna kata al-taḥarrī adalah bermaksud dan berusaha dalam mencari atau menggapai sesuatu, berazam khusus pada satu hal dengan perbuatan atau ucapan.[2]
Hadis-hadis sahih menunjukkan bahwa seorang muslim hendaknya berusaha mendapatkan lailatulqadr pada malam-malam ganjil dari sepuluh malam terakhir. Jika sekiranya seseorang merasa tidak mampu mendapatkannya pada semua malam ganjil, hendaknya ia tidak melewatkannya pada tujuh malam terakhir, yakni malam ke-25, ke-27 dan ke-29. Malam yang paling berpeluang besar adalah malam ke-27 berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ubay bin Ka’ab raḍiyallāhu ‘anhu berikut,
وَاللهِ إِنِّيْ لَأَعْلَمُ أَيُّ لَيْلَةٍ هِيَ؟ هِيَ اللَّيْلَةُ الَّتِيْ أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقِيَامِهَا، هِيَ لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ
“Demi Allah! Aku benar-benar tahu malam apakah itu. Malam itu adalah malam dimana kita diperintahkan oleh Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam untuk menghidupkannya. Itu adalah malam ke-27.”[3]
Lailatulqadar tidak terkhusus pada malam tertentu sepanjang tahun, namun berpindah-pindah. Bisa jadi pada tahun ini, lailatulqadr jatuh pada malam ke-27, pada tahun depan pada malam ke-25 misalnya, bergantung pada kehendak dan hikmah yang diinginkan oleh Allah ta’āla. Demikianlah yang bisa dipahami dari hadis-hadis yang ada[4]. Wallāhu a’lam.
Lailatulqadr disembunyikan dari umat ini dan tidak diketahui sebagaimana waktu (mustajab) pada hari Jumat. Allah menyimpan hikmah tak ternilai di balik waktu tersembunyi ini agar kaum muslimin berusaha mendapatkannya, semangat dan tekad semakin tinggi, usaha menjadi maksimal. Jika sekiranya diketahui pada malam tertentu terdapat lailatulqadr, tekad dan semangat akan kendor sepanjang bulan Ramadan karena orang-orang akan mencukupkan diri untuk menghidupkan malam tertentu tersebut.
‘Ubādah bin al-Ṡāmit raḍiyallāhu ‘anhu berkata,
خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُخْبِرَنَا بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ فَتَلَاحَى رَجُلَانِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَقَالَ خَرَجْتُ لِأُخْبِرَكُمْ بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ فَتَلَاحَى فُلَانٌ وَفُلَانٌ فَرُفِعَتْ وَعَسَى أَنْ يَكُونَ خَيْرًا لَكُمْ فَالْتَمِسُوهَا فِي التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ
“Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam keluar untuk mengabari kami tentang lailatulqadr, namun ada dua orang muslim berseteru. Nabi pun bersabda, ‘Sesungguhnya aku keluar hendak mengabarkan tentang lailatulqadr kepada kalian, namun aku mendapati perselisihan antara fulān dan fulān sehingga lailatulqadr diangkat kembali, bisa jadi hal itu lebih baik buat kalian, maka carilah lailatulqadr pada malam kesembilan, ketujuh, dan kelima (sebelum akhir)’.”[5]
Makna “فتلاحى فلان وفلان” adalah terjadi perseteruan antara keduanya, yakni permusuhan, perdebatan, saling memaki dan suara yang meninggi. Ini adalah sebuah keburukan. Disebabkan hal tersebut, mereka diharamkan dari keberkahan lailatulqadr pada malam itu. Ini adalah bagian dari ilmu Allah yang telah terdahulu.
Ibnu Kaṡīr raḥimahullāh berkata, “(Di dalam) hadis ini terdapat penguat pernyataan bahwa perdebatan memutus faedah dan ilmu yang bermanfaat. Sebagaimana disebutkan dalam hadis,
إِنَّ الْعَبْدَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيْبُهُ
“Sesungguhnya hamba pasti terhalang dari rezeki disebabkan oleh dosa yang ia derita.”[6]
Makna “فرفعت” adalah ilmu tentang penentuan lailatulqadr telah diangkat, bukan seluruh pengetahuan tentang malam itu yang diangkat karena Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda setelah itu, “Maka carilah lailatulqadr pada malam kesembilan, ketujuh, dan kelima (sebelum akhir).”
Oleh karena itu, hendaknya setiap muslim bersemangat untuk mewujudkan kebaikan ini, mendapatkan lailatulqadr pada malam-malam sepuluh terakhir dengan ibadah dan ketaatan seperti salat, zikir, doa, dan dengan amalan apa pun yang mampu dikerjakan. Wallāhu a’lam.
Wahai Allah, jadikanlah kami termasuk orang yang berpuasa dengan sempurna di bulan ini, mendapatkan lailatulqadr, sukses meraih pahala berlimpah. Jadikanlah kami termasuk ke dalam golongan orang-orang yang berlomba menuju kebaikan, merasa tenteram di dalam kamar-kamar (surga), dan karuniailah kepada kami kesyukuran atas nikmat-Mu, kualitas dalam ibadah untuk-Mu, dan ampunilah kami beserta kedua orang tua kami dan seluruh kaum muslimin.
Footnote:
[1] H.R. Bukhari (2017) dan Muslim (1169).
[2] Al-Nihāyah karya Ibn al-Aṡīr (1/376).
[3] H.R. Muslim (762).
[4] Lihat: al-Mufhim (3/251), Fatḥ al-Bārī (4/265), Risālah al-‘Irāqī: Syarḥ al-Ṣadr bi Żikri Lailah al-Qadr hal. 48.
[5] H.R. Bukhari (2023).
[6] Tafsīr Ibn Kaṡīr (8/471). Hadis yang tercantum ialah hadis yang diriwayatkan oleh Ṡaubān raḍiyallāhu ‘anhu, diriwayatkan oleh Ibnu Mājah (90, 4022) dan Ahmad (68/37). Hadis ini adalah hasan tanpa tambahan ini. Lihat: al-Silsilah al-Ṣaḥīḥah karya al-Albānī no. 154.