عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَن النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي، نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ، وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا، فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ، فَلْيُصَلِّ، وَأُحِلَّتْ لِي الغَنَائِمُ، وَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي، وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةُ، وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً، وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً)). مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَرَوَى الإِمَامُ أَحْمَدُ مِنْ حَدِيثِ عَلِيِّ: وَجُعِلَ التُّرَابُ لِي طَهُورًا.
Dari Jabir bin Abdullah bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Saya diberi lima hal yang tidak pernah diberikan kepada seorang pun sebelumnya, ditolong dengan rasa takut (di hati musuh) sejauh perjalanan satu bulan, bumi ini dijadikan untukku sebagai masjid (media) bersuci bagiku, siapa pun yang mendapatkan waktu salat telah masuk hendaknya dia menegakkan salat, dihalalkan bagiku ganimah dan hal itu tidak dihalalkan bagi seorang pun sebelumku, dikaruniakan kepadaku syafaat, semua Nabi diutus khusus untuk umatnya saja dan aku diutus untuk seluruh manusia.” Muttafaqun ‘alaihi.[1] Imam Aḥmad[2] meriwayatkan pula dari jalur Ali, “Tanah dijadikan untukku media untuk bersuci.”
Daftar Isi:
Kosakata hadis:
- (نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ) artinya (ditolong dengan rasa takut (di hati musuh) sejauh perjalanan satu bulan), maknanya adalah siapapun yang memusuhi akan timbul rasa takut terhadap Nabi ﷺ meskipun jarak antara mereka dan Nabi ﷺ masih harus ditempuh selama satu bulan.[3]
Ukuran satu bulan perjalanan yang disebutkan oleh Nabi ﷺ juga memberikan dua makna:
Pertama, bahwa rasa takut juga akan dialami oleh pihak yang memusuhi Nabi ﷺ meskipun kurang jaraknya dari yang disebutkan.
Kedua, bahwa pada masa tersebut tidak ada jarak antara Nabi ﷺ dengan pihak lain yang lebih jauh dari jarak tersebut atau jika seandainya ada jarak yang lebih jauh dari yang disebutkan maka pertolongan Allah kekhususan tersebut tetap ada.[4]
- (وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا) artinya (bumi ini dijadikan untukku sebagai masjid (media) bersuci bagiku) maknanya kaum Ahli Kitab sebelum Islam hanya dibolehkan salat di tempat-tempat ibadah mereka saja. Umat Islam mendapatkan rukhsah untuk salat dimana saja ketika waktu salat telah tiba. Itu semua karena rahmat dan kasih sayang Allah kepada hamba-Nya, bentuk kemudahan dan agar pahala yang mereka dapatkan semakin banyak.
Dan tanah yang bertebaran di permukaan bumi ditetapkan Allah sebagai media untuk bersuci jika dalam kondisi ketiadaan air.
(وَأُحِلَّتْ لِي الغَنَائِمُ) artinya (dihalalkan bagiku ganimah atau harta rampasan perang). Maknanya umat terdahulu dalam persoalan ini ada dua macam: pertama, umat yang Nabinya tidak diizinkan Allah untuk berjihad melawan kaum kafir dari golongan mereka, sehingga mereka tidak pernah mendapatkan ganinah.
Kedua, umat yang disyariatkan atas mereka berjihad, namun jika mereka mendapat ganimah Allah akan mengirimkan api yang membakar harta rampasan perang tersebut dan mereka tidak dihalalkan memilikinya.
Sedangkan umat Muhammad ﷺ dibolehkan menjadikan ganimah sebagai kepemilikan, alhamdulillah atas nikmat tersebut.
- (وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةُ) artinya (dikaruniakan kepadaku syafaat). Syafaat yang dimaksud adalah syafaat yang paling besar dan khusus yang menjadikan beliau sebagai pengulu sekalian manusia. Syafaat ini juga berlaku dan bermanfaat secara umum untuk semua manusia.
- (وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً) artinya (aku diutus untuk seluruh manusia). Maknanya bahwa sejak awal bi’ṡah (pengutusan) beliau sudah ditetapkan untuk berdakwah dan menjadi Nabi bagi semua manusia di permukaan bumi.[5]
Makna hadis:
Keutamaan khusus Nabi ﷺ dari semua Nabi adalah bentuk kemuliaan, beliau diistimewakan dengan pujian yang tidak pernah dimiliki oleh para nabi sebelumnya. Umat beliau juga mendapatkan berkah, keutamaan dan kemuliaan pula darinya. Antara lain:
Pertama, Allah membantu Nabi Muhammad atas musuh-musuhnya dengan rasa takut yang Allah tanamkan di hati mereka, porak-porandakan shaf mereka, melemahkan kekuatan mereka meskipun jarak antara beliau dan musuhnya sejauh satu bulan perjalanan.
Kedua, Allah mudahkan bagi Nabi ﷺ dan umatnya bumi ini sebagai masjid. Dimanapun mereka memasuki waktu salat, mereka boleh salat di situ dan tidak terikat dengan tempat sebagaimana umat sebelumnya.
Demikian pula umat sebelum mereka yang hanya bertaharah dengan air. Sedangkan umat Islam dibolehkan bertaharah dengan tanah jika tidak mendapatkan air, demikian pula orang yang tidak bisa menggunakan air karena faktor kesehatan atau yang lainnya.
Ketiga, ganimah atau rampasan perang yang didapatkan dari orang-orang kafir halal bagi Nabi ﷺ.
Keempat, Allah mengkhususkan beliau dengan al-maqam al-mahmud dan syafaat al-‘uzhma. Beliau akan sujud di bawah ‘Arsy sambil memuji Allah hingga kemudian syafaat tersebut dikabulkan.
Kelima, semua Nabi dan Rasul dakwahnya terbatas untuk kaumnya saja, sedangkan Nabi risalah beliau untuk sekalian alam, sempurna dan sesuai pada setiap waktu dan tempat. Undang-undang dan aturan yang abadi dan akan terus ada bagi semua manusia, meskipun mereka berbeda suku bangsa, saling berjauhan tempatnya. Karena ia adalah yang terakhir maka sempurna dan tidak perlu penambahan dan pengurangan.
Faedah dan istinbat dari hadis:
- Sabda Nabi (وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا) yang artinya (bumi ini dijadikan untukku sebagai masjid (media) bersuci bagiku) menjadi dalil bolehnya bertayamum dengan semua bagian dari bumi ini. Sedangkan ulama yang mengkhususkan tanah saja berdalil dengan hadis lain yang menyatakan,
وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُورًا، إِذَا لَمْ نَجِدِ الْمَاءَ
“Dan ditetapkan bagi kita tanahnya media bersuci, jika kita tidak mendapatkan air.”[6]
- Hadis ini juga menunjukkan bahwa jika seseorang tidak mendapatkan air atau tanah sebagai ganti air untuk bersuci dan dia mendapatkan bagian apa saja dari bumi ini (yang suci), maka dia dia bertayamum dan salat menurut keadaannya. Berlandaskan sabda Nabi ﷺ,
فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ، فَلْيُصَلِّ [7]
“Siapa pun yang mendapatkan waktu salat telah masuk hendaknya dia menegakkan salat.”
Dalam ilmu ushul fikih kata dengan konteks yang demikian memberikan makna yang umum.[8]
- Lafal hadis menunjukkan bahwa rasa takut di hati musuh terhadap Nabi makna secara mutlak, meskipun beliau tidak bersama pasukan perang.
Apakah rasa takut tersebut juga menjadik milik umat Nabi terhadap musuh-musuh mereka? Ihtimal terhadap itu ada, kata Ibnu Ḥajar rahimahullah.
- Lafal dalam hadis tersebut juga menjadi dalil bahwa sesuatu yang (ia) suci dapat menyucikan (selainnya). Karena lafal at-thahur dalam hadis jika hanya bermakna thahir (suci) saja tidak menunjukkan kekhususan. Padahal hadis tersebut konteksnya adalah menetapkan kekhususan tersebut.[9]
- Syafaat al-‘uzhma (terbesar dan khusus) yaitu syafaat untuk disegerakannya hisab, setelah seluruh manusia berdiri dalam waktu yang sangat lama di padang mahsyar.
Syafaat ukhrawi ada lima:
Pertama, syafaat untuk disegerakannya hisab, setelah seluruh manusia berdiri dalam waktu yang sangat lama di padang mahsyar. Syafaat ini khusus bagi Nabi Muhammad .
Kedua, syafaat untuk memasukkan segolongan kaum untuk masuk surga tanpa adanya hisab. Syafaat ini juga dimiliki nabi-nabi yang lain.
Ketiga, kaum yang setelah dihisab tempatnya di neraka, namun mendapat syafaat hingga tidak dimasukkan kedalamnya.
Keempat, syafaat bagi kaum yang telah masuk ke dalam neraka, kemudian syafaat tersebut menjadi sebab mereka dikeluarkan darinya.
Kelima, syafaat setelah masuk ke dalam surga, kemudian dinaikkan derajatnya.
Kesimpulannya bahwa syafaat ukhrawi ada yang khusus sifatnya dan ada yang bersifat umum. [10]
- Hadis ini menyebutkan bahwa kekhususan yang Allah berikan ada lima, namun pada hadis sahih lainnya disebutkan bahwa keutamaan khusus yang Allah karuniakan tersebut ada enam, empat di antaranya ada dalam hadis bab ini. Sedangkan dua hal lagi adalah tercantum dalam sabda Nabi ﷺ yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ,
فُضِّلْتُ عَلَى الْأَنْبِيَاءِ بِسِتٍّ: أُعْطِيتُ جَوَامِعَ الكَلِمِ، . . . . وَخُتِمَ بِيَ النَّبِيُّونَ
“Saya dikhususkan dari nabi-nabi lainnya dengan enam hal, saya dikaruniakan jawami’ul kalim (kalimat yang ringkas dengan makna yang luas), . . . . , dengan saya ditutup kenabian.”[11]
Sehingga hadis tersebut menjadi landasan bagi Al-Qurthubi terhadap kaidah, “Penyebutan angka tidak memberikan pemahaman yang lazim dijadikan hujah atau membatasi.” Atau dapat juga bermakna bahwa ilmu tersebut diketahui oleh Nabi ﷺ secara bertahap.[12]
Ibnu Ḥajar rahimahullah menyebutkan ada tujuh belas[13] kekhususan Nabi Muhammad ﷺ atas nabi-nabi yang lain.
Dari hadis Jabir dan Abu Hurairah berjumlah tujuh, dengan tambahan sebagai berikut:
Kedelapan, shaf salat (kaum Muslim) sama seperti shaf para malaikat.[14] Maksudnya bahwa menyempurnakan shaf pertama dalam salat sebagaimana diriwayatkan dalam hadis.[15]
Kesembilan, karunia Allah ayat pada akhir surah Al-Baqarah yang merupakan perbendaharaan yang sangat berharga yang tersimpan di bawah ‘Arsy Allah .[16] Yaitu tidak dibebankan sesuatu yang di luar kemampuan mereka, tidak dicatat sebagai kesalahan jika terjadi karena tersalah (tidak disengaja) dan lupa.
Kesepuluh, karunia Allah kepada Nabi ﷺ berupa perbendaharaan dan kekayaan bumi ini[17], maksudnya setelah Nabi Muhammad wafat dimudahkan penaklukan negeri-negeri bagi umatnya. Sebagian ulama menafsirkan dengan kekayaan alam yang dikeluarkan dari bumi.[18]
Kesebelas, karunia berupa penamaan beliau Aḥmad.[19] Maksudnya bahwa tidak pernah sebelum beliau dengan izin dan hikmah dari Allah seorang pun yang menggunakan nama tersebut, demikian pula nama Muhammad.
Sehingga tidak ada syak atau keraguan terhadap kenabian beliau, karena nama tersebut yang Allah sebutkan pada kitab-kitab suci terdahulu.
Kedua belas, Allah jadikan umat Nabi Muhammad ﷺ sebagai umat terbaik di dunia. Allah berfirman yang artinya,
“Kalian adalah umat terbaik yang pernah dikeluarkan dari semua manusia” (QS. Ali Imran: 110)
Ketiga belas, ampunan Allah untuk dosa yang telah lalu dan yang akan datang bagi Nabi Muhammad ﷺ.[20]
Keempat belas, keutamaan khusus bagi Nabi , Allah tetapkan umat beliau sebagai umat yang terbaik di akhirat kelak sehingga mereka yang pertama sekali diputuskan perhitungan amal dan yang pertama sekali masuk surga bersama Nabi Muhammad . Semua keutamaan umat Muhammad ﷺ adalah keutamaan bagi beliau pula.[21] Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
“Saya mendatangi pintu surga pada hari kiamat dan kemudian saya minta dibukakan (pintu tersebut), maka penjaganya berkata, “Siapa anda?”, saya menjawab, “Muhammad”. Dia lantas berkata, “Saya hanya diperintahkan membukanya untuk anda dan tidak pernah sebelumnya dibukakan kepada selain anda.”[22]
Kelima belas, karunia khusus Allah kepada beliau Al-Kautsar.
Keenam belas, Nabi Muhammad ﷺ adalah pemilik liwa hamdalah (liwaul hamd) pada hari kiamat. Nabi Adam alaihissalam dan semua bani Adam akan berada dibawah liwa tersebut.
Ketujuh belas, keutamaan khusus bagi Nabi ﷺ, pada awalnya jin yang bersama beliau adalah jin yang kafir. Kemudian Allah bantu Nabi Muhammad ﷺ sehingga jin tersebut masuk Islam.[23]
Abu Said An-Naisaburi dalam kitab beliau (Syaraful Musthafa) menyebutkan enam puluh hal yang menjadikan kekhususan Nabi Muhammad ﷺ.
- Disyariatkannya banyak mengingat nikmat Allah dan mengitung-hitungnya.
- Hadis ini menjadi landasan kaidah fikih:
الْأَصْلَ فِي الْأَشْيَاءِ الطَّهَارَةُ حَتَّى تَتَحَقَّقَ النَّجَاسَةُ
“Hukum asal segala sesuatu itu adalah suci hingga diketahui dengan pasti kenajisannya.” Meskipun terkadang cukup rentan ada najis di situ seperti jalanan dan yang semisalnya.[24]
- Hukum asalnya bumi ini adalah suci (thaharah) dan sahnya salat tidak hanya terkhusus di dalam bangunan masjid saja. Karena hadis yang menyatakan tidak sah salat bertetanggaan dengan masjid[25]; pada serambi atau yang semakna, kecuali dia melaksanakannya di dalam masjid adalah hadis yang lemah.
- Sebagian ulama berlandaskan hadis tersebut menyatakan tentang karamah dan kemuliaan manusia, karena manusia diciptakan dari air dan tanah. Ayat dan hadis Nabi ﷺ telah menyebutkan keduanya memiliki sifat taharah (suci).[26]
Footnote:
[1] H.R. Al-Bukhāri (335) dan Muslim (521).
[2] H.R. Aḥmad (763).
[3] Al-Khaṭṭābi. A’lamul Hadits fii Shahih Al-Bukhāri. Jilid 1, hlm. 332.
[4] Ibn Daqīq al-‘Īd. Iḥkām al-Aḥkām Syarḥ ‘Umdah al-Aḥkām. Jilid 1, hlm. 150.
[5] Ibn Daqīq al-‘Īd. Iḥkām al-Aḥkām Syarḥ ‘Umdah al-Aḥkām. Jilid 1, hlm. 150.
[6] H.R. Muslim (522).
[7] أَي مُبْتَدأ فِيهِ معنى الشَّرْط وَمَا زَائِدَةٌ لِلتَّأْكِيدِ وَهَذِهِ صِيغَةُ عُمُومٍ يَدْخُلُ تَحْتَهَا مَنْ لَمْ يَجِدْ مَاءً وَلَا تُرَابًا وَوَجَدَ شَيْئًا مِنْ أَجْزَاءِ الْأَرْضِ
[8] Ibn Ḥajar. Fatḥ al-Bāri Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhāri. Jilid 1, hlm. 438.
[9] Ibid.
[10] Ibn Daqīq al-‘Īd. Iḥkām al-Aḥkām Syarḥ ‘Umdah al-Aḥkām. Jilid 1, hlm. 153.
[11] H.R. Muslim (523).
[12] Abu al-Faḍl Zainuddīn Al-Irāqi. Op. Cit. Jilid 2, hlm. 111.
[13] Ibn Ḥajar. Fatḥ al-Bāri Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhāri. Jilid 1, hlm. 439.
[14] H.R. Aḥmad (23251), Ibn Khuzaimah (263). Diriwayatkan melalui jalur Huzaifah dan disahihkan sanadnya oleh Syekh Syu’aib al-Arnauṭ.
[15] H.R. Muslim (430).
[16] H.R. Aḥmad (23251).
[17] H.R. Aḥmad (1361). Diriwayatkan melalui jalur Huzaifah dengan sanad yang dihasankan oleh Syekh Syu’aib Al-Arnauṭ.
[18] Ibn Ḥajar. Fatḥ al-Bāri Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhāri. Jilid 6, hlm. 128.
[19] H.R. Aḥmad (1361).
[20] H.R. Al-Bazzār (8133).
[21] Abu al-Faḍl Zainuddīn al-Irāqi. Op. Cit. Jilid 2, hlm. 114.
[22] H.R. Muslim (197).
[23] H.R. Al-Bazzār (7826).
[24] Abu al-Faḍl Zainuddīn al-Irāqi. Op. Cit. Jilid 2, hlm. 114.
[25] Al-Dāraquṭni (1552).
[26] Ibn Ḥajar. Fatḥ al-Bāri Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhāri. Jilid 1, hlm. 349 – 440.