BERAPA LAMA MASA HAID?

144
Berapa Lama Masa Haid
Perkiraan waktu baca: 2 menit

وَعَن عَائِشَة: أَن أُمَّ حَبِيبَةَ بِنْتَ جَحْشٍ الَّتِي كَانَتْ تَحْتَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ شَكَتْ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الدَّمَ، فَقَالَ لَهَا: ((امْكُثِي قَدْرَ مَا كَانَتْ تَحْبِسُكِ حَيْضَتُكِ ثُمَّ اغْتَسِلِي))، فَكَانَتْ تَغْتَسِلُ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ. رَوَاهُ مُسلم

Dari Aisyah raḍiyallahu’anha bahwa Ummu Ḥabibah bin Jahsy yang merupakan istri ‘Abdurrahmān bin ‘Auf mengeluhkan kepada Rasulullah ﷺ darah (istihadah), maka beliau bersabda, “Tinggalkanlah (jangan salat) selama kadar masa kebiasaan haidmu sebelumnya, kemudian mandilah!” Maka dia kemudian mandi di setiap waktu salat. Hadis riwayat Muslim.[1]

Daftar Isi:

Kosakata hadis:

  1. Ummu Ḥabibahbin Jahsy adalah saudara perempuan dari Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy atau istri Nabi ﷺ.

Maka beliau adalah kerabat Nabi ṣallallāhu‘alaihiwasallam dari pihak istri beliau atau dalam Bahasa Arab diistilahkan dengan (خَتَنَةُ) atau (الْأَخْتَانُ) bentuk jamak dari (خَتَنٍ) artinya kerabat dari pihak istri.

(الْأَحْمَاءُ) adalah kerabat dari pihak suami. Sedang (الْأَصْهَارُ) adalah istilah umum untuk semua tersebut.

Ummu Ḥabibah sering mandi di rumah Zainab raḍiyallahu’anhuma.

  1. Aisyah raḍiyallahu’anha menyebutkan bahwa anak-anak perempuan keluarga Jahsy mengalami istihadah saat usia tujuh tahun.[2]

Ibn Abdil Barr rahimahullah bahwa tiga anak perempuan keluarga Jahsy mengalami permasalahan yang sama yaitu istihadah yang banyak dan terus menerus. Mereka adalah Zainab Ummul Mukminin, Hamnah, dan Ummu Ḥabibah.[3]

Makna hadis:

Aisyah raḍiyallahu’anha menyebutkan bahwa Ummu Ḥabibah bin Jahsy raḍiyallahu’anha pernah menyampaikan permasalahannya kepada Nabi ﷺ yaitu dia mengalami istihadah yang terus-menerus. Rasulullah ﷺ memerintahkan Ummu Ḥabibah bin Jahsy raḍiyallahu’anha untuk memperhatikan masa haidnya, kemudian tidak salat pada masa tersebut. Selanjutnya menyuruh beliau mandi untuk bersuci, namun kemudian Ummu Ḥabibah bin Jahsy raḍiyallahu’anha memilih untuk mandi pada setiap waktu salat selama masa istihadahnya.

Baca juga:  BAB MENGUSAP KHUF

Faedah dan istinbat dari hadis:

  1. Sabda Nabi ﷺ, “Tinggalkanlah (jangan salat) selama kadar masa kebiasaan haidmu sebelumnya …” menunjukkan bahwa Nabi ﷺ menyerahkan dan mewakilkan keputusan berapa lama masa haid Ummu Ḥabibah binti Jahsy kepada dia sendiri dan kebiasaan (masa haid) yang selama ini telah dia alami serta mempercayai dia akan amanah akan hal tersebut. Karena masa haid setiap perempuan berbeda-beda menurut karakteristik tubuh mereka masing-masing sesuai dengan yang Allah ciptakan.

Ulama berbeda pandangan tentang durasi waktu terpendek haid dan suci seorang perempuan. Imam Abu Ḥanīfah dan dua murid seniornya menyatakan bahwa paling minimal haid tiga hari dan minimal durasi taharah adalah lima belas hari. Imam al-Syāfi’i menyatakan bahwa paling minimal haid satu hari satu malam dan minimal durasi taharah adalah lima belas hari dan beliau memaknai al-qur`u sebagai taharah. Al-Dāudi menukilkan kesepakatan ulama bahwa durasi maksimal haid adalah lima belas hari.[4]

  1. Faedah fikih dari hadis tersebut bahwa perempuan haid dilarang melakukan salat. Larangan (nahi) tersebut bermakna keharaman, maka jika perempuan haid melakukan salat ibadahnya tersebut fasad atau tidak sah, baik itu salat fardu atau nafilah dan masalah ini adalah ijmakkaum muslimin.

Demikian pula diharamkan bagi perempuan haid untuk tawaf, salat jenazah, sujud tilawah, dan sujud syukur.

Namun perempuan yang haid tidak perlu mengkada semua salat yang dia tinggalkan selama masa tersebut berdasarkan ijmak kaum muslimin.[5]

  1. Hadis ini menunjukkan bolehnya dan semestinya seseorang yang mempunyai masalah untuk minta fatwa dari ahli di bidangnya.
  2. Boleh seorang perempuan minta fatwa dan bertanya secara langsung dari seorang laki-laki yang memahami masalah fikih haid dan nifas, meskipun isi pertanyaan tersebut seputar taharah dan hadas-hadas yang merupakan masalah khusus kaum perempuan.
  3. Boleh seorang laki-laki mendengarkan dan berdialog dengan perempuan atau sebaliknya perempuan memperdengarkan suaranya dan berdialog ketika hajat dan kebutuhan menuntut hal tersebut.[6]
Baca juga:  KEUTAMAAN TOBAT

 


Footnote:

[1] H.R. Muslim (334).

[2] H.R. Muslim (334).

[3] Ibn Ḥajar. Fatḥ al-Bāri Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhāri. Jilid 1, hlm 411.

[4] Ibn Ḥajar. Fatḥ al-Bāri Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhāri. Jilid 1, hlm 426.

[5] Al-Nawawi. Al-Minhāj. Jilid 4, hlm 21.

[6] Ibid.

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments