Daftar Isi:
Bab tentang Haid
Haid artinya darah yang keluar dari rahim perempuan yang telah balig, kemudian terus keluar dengan periode waktu tertentu. Dengan rahmat dan hikmah-Nya Allah azza wajalla menjadikan pada rahim perempuan nutrisi bagi janin ketika masih dalam kandungan dan berubah menjadi susu sebagai nutrisi bagi bayinya ketika seorang perempuan melahirkan. Jika seorang perempuan tidak dalam kondisi tidak hamil atau menyusui maka darah tersebut tidak tersalurkan, maka keluarlah dalam bentuk darah haid. Oleh karena itu, jarang sekali wanita hamil atau menyusui mengalami haid. Durasi haid umumnya enam atau tujuh hari atau mungkin lebih dari itu sesuai takdir penciptaan Allah azza wajalla terhadap masing-masing perempuan.[1]
Hawa istri Nabi Adam ‘alaih al-salām adalah wanita yang pertama kali mengalami haid, yaitu ketika pertama kali diturunkan ke dunia. Hal tersebut disebutkan oleh al-Ḥākim dari Ibn ‘Abbās raḍiyallahu’anhuma dengan sanad yang sahih.
‘Abdullāh bin Mas’ūd juga pernah menceritakan bahwa Allah azza wajalla pernah mengukum kaum perempuan Bani Israil dengan masa haid yang panjang sehingga mereka tidak dapat hadir ke tempat ibadah, karena sebelumnya kaum perempuan dan kaum laki-laki salat berbarengan dan bersama-sama ketika salat, hingga kaum perempuannya mendahului dan berada di depan kaum laki-laki.[2] ‘Abdullāh bin Mas’ud sering mengingatkan untuk menempatkan saf kaum perempuan di belakang sesuai perintah Allah azza wajalla.[3]
Hukum-hukum Seputar Istihadah
رَوَى ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرو، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ أَبِي حُبَيْشٍ كَانَتْ تُسْتَحَاضُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((إِنَّ دَمَ الحَيْضِ دَمٌ أَسْوَدُ يُعْرَفُ، فَإِذَا كَانَ ذَلِكَ فَأَمْسِكِي عَنِ الصَّلَاةِ، فَإِذَا كَانَ الآخِرُ، فَتَوَضَّئِي وَصَلِّي)). رَوَاهُ أَبُو دَاوُد، وَالنَّسَائِيُّ، وَابْنُ حِبَّان، وَالدَّارَقُطْنِيُّ، وَقَالَ رُوَاتُهُ كُلُّهُمْ ثِقَاتٌ، وَالْحَاكِمُ وَقَالَ: عَلَى شَرْطِ مُسْلِمٍ، وَقَالَ النَّسَائِيُّ: قد رَوَى هَذَا الحَدِيْثَ غُيْرُ وَاحِدٍ، فَلَمْ يَذْكُرْ أَحَدٌ مِنْهُمْ مَا ذَكَرَ ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ، وَقَالَ أَبُو حَاتِم: لَمْ يُتَابَعْ مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو عَلَى هَذِه الرِّوَايَةِ، وَهُوَ مُنْكَرٌ
Ibn Abi ‘Adi meriwayatkan dari Muḥammad bin ‘Amr, dari Ibn Syihāb, dari ‘Urwah, dari ‘Āisyah radhiyallahu anha bahwa Fāṭimah binti Abi Ḥubaisy mengalami istihadah, Rasulullah ﷺ bersabda, “Darah haid berwarna kehitaman yang makruf, jika demikian sifatnya (darah haid) maka jangan kamu salat, jika darah yang lain (bukan demikian sifatnya) maka berwudulah dan laksanakan salat.” Hadis diriwayatkan Abu Dawūd, al-Nasāi, Ibn Ḥibbān, al-Dāraquṭni yang berkata, “Rawinya adalah orang-orang ṣiqāt.” Al-Ḥākim juga meriwayatkannya dan berkata, “(Hadis) sesuai syarat Muslim.” Al-Nasāi berkata, “Hadis tersebut diriwayatkan banyak rawi, namun mereka tidak menyebutkan apa yang disebutkan oleh Ibn Abi Adi.” Abu Ḥātim berkata, “Muḥammad bin ‘Amr tidak memiliki penguat pada riwayatnya ini dan dia munkar (hadisnya).”[4]
Kosakata hadis:
- Definisi haid“Darah haid berwarna kehitaman yang makruf.” Artinya kaum perempuan sudah terbiasa dan mengetahuinya. Jika dibaca dengan damah (يُعْرَفُ) artinya menjadi memiliki aroma yang khas.[5]
- Definisi istihadah adalah darah yang keluar dari kemaluan (farji) perempuan pada waktu yang bukan masa haid. Darah istihadah berasal dari pembuluh darah. Sedangkan darah haid berasal dari rahim seorang perempuan.[6]
- Fāṭimah binti Abi Ḥubaisy, nama Abu Ḥubaisy adalah Qais bin al-Muṭṭaalib bin Asad.
Makna hadis:
Aisyah raḍiyallahu’anha menceritakan bahwa Fāṭimah binti Abi Ḥubaisy adalah seorang wanita yang selalu mengalami istihadah. Rasulullah ﷺ bersabda memberikan solusi atas permasalahan tersebut bahwa darah haid berwarna kehitaman yang makruf, jika demikian sifatnya (darah haid) maka tidak boleh melakukan salat, jika darah yang lain (bukan demikian sifatnya) maka hendaknya dia berwudu dan melaksanakan salat.
Faedah dan istinbat dari hadis:
- Perempuan yang istihadah wajib melakukan salat dan tidak boleh meninggalkannya kecuali pada durasi waktu yang diyakini sebagai masa haid.[7]
- Hadis ini memberi faedah fikih bahwa setiap perempuan yang istihadah memperhatikan sifat darah yang keluar, jika sifatnya seperti yang disebutkan Nabi ṣallallāhu‘alaihiwasallam maka itu adalah sifat dan ciri darah haid. Jika tidak demikian sifatnya maka ia adalah darah istihadah.
Atau sebagaimana disebutkan dalam bab perkara yang membatalkan wudu, kaum perempuan dapat membedakan masalah ini dengan memperhatikan kebiasaan hari-hari haidnya jika siklus haidnya normal atau dengan sifat darah yang keluar.[8]
Kesimpulannya, jika siklus haid normal maka yang digunakan adalah hitungan hari-harinya.
Dan jika siklus haid tidak normal, maka yang digunakan mengidentifikasi darah haid adalah sifatnya.
Meskipun tidak tertutup kemungkinan kedua hal tersebut digunakan sebagai identifikasi dalam waktu bersamaan.
- Hadis ini menjadi dalil bagi ulama yang berpendapat bahwa perempuan yang istihadah boleh melakukan hubungan suami-istri. Dengan sisi pendalilan bahwa jika salat dibolehkan padahal salat lebih agung dan mulia dari semuanya maka jimak juga tentu dibolehkan. Fatwa ini diriwayatkan dari Ibn ‘Abbās raḍiyallahu’anhu.
- Anjuran bagi perempuan yang istihadah untuk lebih berhati-hati dalam bertaharah dari hadas dan najis dengan mencuci kemaluannya sebelum berwudu kemudian menutup tempat keluarnya darah dengan kapas, kain atau sejenisnya sebagai upaya meminimalir najis menurut kemampuannya.
- Tidak mesti seorang wanita yang beristihadah berwudu sebelum waktu salat masuk, karena taharah yang dilakukan oleh perempuan yang istihadah adalah kondisi darurat maka tidak dilakukan sebelum waktu darurat tersebut tiba. Pendapat ini adalah pendapat jumhur ulama.[9]
Footnote:
[1] Ibn Qudāmah al-Maqdis. Al-Mugni. Jilid 1, hlm 223.
[2] Ibn Ḥajar. Fatḥ al-Bāri Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhāri. Jilid 1, hlm 400.
[3] H.R. Abd al-Razzāq al-Ṣana’āni (5115). Aṣar tersebut diṣahihkan sanadnya oleh Ibn Ḥajar (Fatḥ al-Bāri 1/400).
[4] H.R. Abu Dawūd (286), al-Nasāi (1/124), Ibn Ḥibbān (1348), al-Dāraquṭni (1/206), al-Hākim (174) dan al-Baihaqi (1/325).
[5] Muḥammad bin Ismā’īl al-Ṣana’āni. Op. Cit. Jilid 1, hlm 149.
[6] Al-Nawawi. Al-Minhāj. Jilid 4, hlm 17.
[7] Ibid.
[8] Muḥammad bin Ismā’īl al-Ṣana’āni. Op. Cit. Jilid 1, hlm 149.
[9] Ibid.