Daftar Isi:
REDAKSI HADIS:
وَعَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم: لَا يَدْخُلُ اَلْجَنَّةَ قَاطِعٌ، يَعْنِي: قَاطِعَ رَحِمٍ
Dari Jubair bin Muth’im radiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Tidak masuk surga orang yang memutuskan,’ yaitu yang memutuskan silaturahmi.”
TAKHRIJ HADIS:
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (5984), Muslim (2556), Abu Daud (1698), At-Tirmidzi (1909), semuanya di jalur Muhammad bin Syihab Az-Zuhri, dari Muhammad bin Jubair bin Al-Muth’im, dari ayahnya, Jubair bin Al-Muth’im dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dalam riwayat Muslim dan At-Tirmidzi, perawi dari Muhammad bin Syihab Az-Zuhri adalah Sufyan bin ‘Uyainah. Beliaulah yang mendeskripsikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam “orang yang memutuskan” dengan “yang memutuskan silaturahmi.”
Imam Al-Bukhari[1] meriwayatkan hadis ini dari jalur ‘Uqail bin Khalid Al-Aily, dari Ibnu Syihab Az-Zuhri, dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im, dari Jubair bin Muth’im dengan redaksi,
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ
“Tidak masuk surga pemutus tali silaturahmi.”
Jadi dalam jalur riwayat ini, lafaz rahim inklusif dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Di antara keunikan sanad di atas adalah,
- Semua perawi berasal dari satu daerah, yaitu dari kota Madinah.
- Periwayatan seorang putra (Muhammad bin Jubair bin Al-Muth’im) dari ayahnya (Jubair bin Al-Muth’im).
PROFIL SAHABAT[2]:
Beliau adalah Jubair bin Muth’im bin ‘Adi Al-Qurasyi, berjumpa dengan Rasulullah pertama kali di Madinah, ketika beliau menjadi salah satu tawanan pasukan kaum muslimin di perang Badar. Proses awal tertancapnya iman di dalam hatinya cukup unik, yaitu ketika mendengarkan lantunan indah tartil surat Ath-Thur dari lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia ketika menjadi imam saat Salat Magrib. Ternyata hati beliau bergetar “menadaburi“ makna yang menghiasi firman Allah azza wajalla,
أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمْ الْخَالِقُونَ أَمْ خَلَقُوا السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ بَلْ لَا يُوقِنُونَ أَمْ عِنْدَهُمْ خَزَائِنُ رَبِّكَ أَمْ هُمْ الْمُسَيْطِرُونَ
“Apakah mereka tercipta tanpa asal-usul ataukah mereka yang menciptakan diri mereka sendiri? Ataukah mereka yang telah menciptakan langit dan bumi? Sejatinya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakana). Ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Tuhanmu ataukah mereka yang berkuasa?” QS. Ath-Thur: 35-37.
“Hampir saja hatiku terbang ketika mendengarkan ayat ini. Pada momen itulah awal keimanan menyapa dan menyentuh hatiku.” Ucap Jubair dengan penuh takjub.
Kendati keimanan sudah menyapa hatinya sejak menjadi tawanan kaum muslimin saat Perang Badar, namun ternyata proses masuk Islamnya secara sempurna agak telat, yaitu di antara tahun terjadinya peristiwa Perang Khaibar (tahun 7 H) dan penaklukan Kota Makkah (tahun 8 H).
Beliau pakar dalam ilmu nasab kabilah-kabilah Arab, ternyata beliau adalah murid dari Abu Bakar Ash-Shiddiq dalam disiplin ilmu ini. Beliau wafat setelah tahun 56 H.
PENJELASAN HADIS:
Menjalin tali silaturahmi dengan kerabat dan masyarakat adalah bagian dari ibadah, bahkan merupakan bagian dari cabang keimanan.[3] Sebaliknya memutuskan tali silaturahmi merupakan bagian dari maksiat, bahkan diklasifikasikan sebagai dosa besar oleh para ulama.[4]
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
لَا يَدْخُلُ اَلْجَنَّةَ
“Tidak masuk surga.”
Lafaz “La” dalam Bahasa Arab berfungsi untuk menafikan, secara prinsip berfungsi untuk menafikan secara mutlak. Adapun di dalam hadis ini ada dua interpretasi:[5]
Yang Pertama: bermakna penafian secara mutlak, yaitu tidak masuk surga sama sekali. Ancaman ini berlaku bagi orang yang membolehkan perbuatan memutuskan tali silaturahmi tanpa alasan dan sebab yang dibenarkan, padahal dia mengetahui keharaman hukumnya. Sikap seperti ini merupakan bagian dari pembatal keislaman dengan ancaman masuk neraka secara abadi sebab bersikap melawan hukum Allah dan menghalalkan yang diharamkan oleh Allah azza wajalla.
Yang Kedua: penafian secara nisbi, yaitu tidak masuk surga untuk sementara waktu, maksudnya orang ini masuk neraka dahulu dan diazab sesuai kadar dosa dan maksiatnya, kemudian setelah “suci” dari noda dosa tersebut, dia dikeluarkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga.
Interpretasi ini merupakan manhaj Ahlu as-Sunnah wal-Jamaah dan menyelesihi interpretasi kelompok-kelompok yang menyimpang seperti Khawarij, Mu’tazilah, dan yang lainnya, yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar kekal di dalam neraka.
Hadis ini populer dengan istilah hadis wa’id atau hadis ancaman, yang mengindikasikan besarnya dosa yang dikandung oleh maksiat yang diisyaratkan di dalam hadis.
Adz-Dzahabi memaparkan definisi dosa besar,
من ارْتكب شَيْئا من هَذِه العظائم مِمَّا فِيهِ حد فِي الدُّنْيَا؛ كَالْقَتْلِ وَالزِّنَا وَالسَّرِقَة، أَو جَاءَ فِيهِ وَعِيد فِي الْآخِرَة؛ من عَذَاب، أَو غضب، أَو تهديد، أَو لعن فَاعله على لِسَان نَبينَا مُحَمَّد صلى الله عليه وسلم فَإِنَّهُ كَبِيرَة.
“Barang siapa yang terjerembab ke dalam perbuatan-perbuatan yang besar ini, yang berkonsekuensi pada hukuman di dunia (hudud), seperti membunuh, zina, dan mencuri, atau melakukan perbuatan yang berkonsekuensi ancaman di akhirat berupa siksa (azab), atau murka, atau ancaman, atau laknat bagi pelakunya lewat lisan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, maka perbuatan ini semua masuk dalam kategori dosa besar.”[6]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perbuatan yang akan disebutkan di dalam hadis ini sebentar lagi adalah bagian dari dosa besar.
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
قَاطِعٌ) يَعْنِي: قَاطِعَ رَحِمٍ)
“’Orang yang memutuskan,’ yaitu yang memutuskan silaturrahmi.”
Ini adalah perbuatan yang diganjar tidak masuk surga, yaitu memutuskan silaturahmi. Secara zahir, yang di maksud oleh hadis ini adalah memutuskan hubungan dan komunikasi dengan kerabat dan keluarga saja, sebab makna rahim secara etimologi Bahasa Arab adalah kerabat atau yang memiliki pertalian nasab dengan seseorang. Lalu apakah jika memutuskan hubungan dengan yang bukan kerabat diperbolehkan? Ada dua pendapat dalam masalah ini:
Pendapat Pertama: yang dimaksud memutuskan silaturahmi dalam hadis ini adalah khusus memutuskannya dengan kerabat dan keluarga saja, khususnya kerabat yang masuk dalam kategori mahram (yang tidak boleh dinikahi), sebab kerabat jenis ini adalah kerabat yang boleh berinteraksi antara laki-laki dan perempuan, sebab menjalin silaturahmi terkadang berkonsekuensi pada aktifitas yang bersifat intim seperti berkunjung, duduk bersama, berdialog, bahkan terkadang sampai pada tataran berkhalwat. Hal ini sangat berbeda dengan kerabat yang bukan mahram, yang mana pergaulan dan interaksi antar lawan jenis sangat terbatas, maka ini berkontradiksi dengan kewajiban menyambung silaturahmi dan keharaman memutuskannya.[7]
Pendapat Kedua: kekerabatan yang wajib untuk dijalin dan haram untuk diputuskan ada dua jenis:
- Kekerabatan umum, pengikatnya adalah faktor agama dan iman yang lebih populer dengan istilah ukhuwah islamiyah atau ukhuwah imaniyah. Implementasi dari ukhuwah jenis ini adalah dengan mencintai orang-orang yang beriman, berinteraksi dengan mereka, tidak menyakiti dan mengganggu mereka, serta menunaikan hak-hak mereka seperti membantu yang membutuhkan, menjenguk yang sakit, menyalatkan yang wafat dan lain sebagainya.
- Kekerabatan khusus, kriterianya adalah yang terikat hubungan nasab dan keturunan. Teknis menyambung silaturahmi pada kekerabatan jenis ini (selain dengan cara yang telah dipaparkan di atas) ditambah juga dengan menafkahi keluarga dan kerabat yang menjadi tanggungan, memperhatikan keadaan mereka dengan menziarahi mereka dan lain sebagainya.[8]
Pendapat yang terkuat adalah mengkompromikan antara dua pendapat yaitu dengan merinci keadaan,
- Kekerabatan bertingkat-tingkat, ada kekerabatan yang sangat dekat, kekerabatan yang dekat, dan ada pula kekerabatan yang jauh, maka dalam sisi implementasi didahulukan kerabat yang paling dekat dan seterusnya.
- Implementasi dari menjalin silaturahmi juga bertingkat-tingkat, ada yang hukumnya wajib ain, ada yang hukumnya fardu kifayah, dan ada juga yang mustahab, maka pada tataran praktek sangat perlu memperhatikan variabel diatas.
FIKIH HADIS:
- Kewajiban menjalin tali silaturahmi dengan kerabat dan kaum muslimin secara umum, dan haram hukumnya memutuskan tali silaturahmi.
- Hadis ini mengandung ancaman yang serius bagi pemutus silaturahmi, yang konsekuensinya adalah mengklasifikasikan bahwa memutus tali silaturahmi adalah bagian dari dosa besar.
- Orang yang terjatuh ke dalam dosa besar tidak kafir dan tidak diazab di neraka selamanya kecuali jika dia meyakini kehalalan dosa dan maksiat tersebut, maka dia terjatuh ke dalam kekufuran karena menghalalkan yang diharamkan oleh Allah azza wajalla.
- Hukum asal dari seorang muslim adalah menjalin silaturahmi dan bergaul dengan kerabat dan masyarakat sekitar, bersabar ketika berinteraksi dengan mereka, serta menjauhi sifat apatis terhadap masyarakat di sekelilingnya. Rasulullah bersabda,
اَلْمُؤْمِنُ اَلَّذِي يُخَالِطُ اَلنَّاسَ، وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ خَيْرٌ مِنْ اَلَّذِي لَا يُخَالِطُ اَلنَّاسَ وَلَا يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ
“Seorang mukmin yang berinteraksi dengan manusia dan bersabar atas gangguan mereka lebih baik dibandingkan dengan mukmin yang tidak berinteraksi dengan manusia dan tidak bersabar dengan gangguan mereka.”[9]
- Menunjukkan kemuliaan dan keindahan syariat Islam, yang menyuruh kepada perkara yang dapat memperkuat persatuan dan persaudaraan antar kerabat dan sesama kaum muslimin, dan melarang perkara-perkara yang dapat menimbulkan permusuhan dan pertikaian antar kerabat dan masyarakat.
- Ketelitian para ulama hadis dalam meriwayatkan hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yang mana lafaz rahim merupakan ucapan dari Sufyan bin ‘Uyainah sebagai penafsiran beliau terhadap makna hadis, adapun periwayatan dari jalur ‘Uqail bin Khalid, lafaz rahim inklusif dalam ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Footnote:
[1] Di dalam kitabnya Al-Adab Al-Mufrad (64).
[2] Lihat Tahdzibul Kamal karya Al-Mizzi (4/506-511), Al-Ishabah fi Tamyizish Shahabah karya Ibnu Hajar (1/462), Shahih Al-Bukhari (4854)
[3] Syu’abul Iman karya Al-Baihaqi (6/214).
[4] Al-Kabair karya Adz-Dzahabi hal. 47, dan Al-Kabair karya Muhammad bin Abdul Wahhab hal. 220.
[5] Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim karya An-Nawawi (16/113-114).
[6] Al-Kabair karya Adz-Dzahabi hal. 7.
[7] Minhatul ‘Allam Fi Syarh Bulughul Maram (10/87).
[8] Al-Mufhim karya Al-Qurthubi (6/526).
[9] Musnad Ahmad (5022).