MENINGGALKAN SALAT DENGAN SENGAJA (BAGIAN PERTAMA)

170
MENINGGALKAN SALAT DENGAN SENGAJA (BAGIAN PERTAMA)
Perkiraan waktu baca: 2 menit

Daftar Isi:

Meninggalkan Salat dengan Sengaja[1] (Bagian Pertama)

عَن جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ((بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلَاةِ)). رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Jabir bin Abdullah raḍiyallahu’anhuma dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah ﷺ  bersabda, ‘(Pemisah) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah (meninggalkan) salat.’” (H.R. Muslim)[2]

Kosakata Hadis:

  1. Lafaz (الشِّرْكَ) syirik dan (الْكُفْرَ) kufur terkadang secara penggunaannya memiliki makna yang sama dan satu, yaitu kufur atau ingkar terhadap Allah ﷻ. Terkadang dibedakan maknanya, lafaz syirik dikhususkan untuk perbuatan menyembah berhala atau makhluk lainnya selain Allah ﷻ. Akan tetapi, pada waktu yang bersamaan dia juga mengakui keberadaan Allah ﷻ. Contohnya adalah kekufuran kaum Quraisy. Maka dapat disimpulkan bahwa kufur adalah lafaz yang lebih umum dan luas cakupannya dibandingkan syirik.[3]

Makna Hadis:

Jabir bin Abdullah t menyebutkan bahwa dia pernah mendengar Nabi Muhammad ﷺ bersabda bahwa pemisah atau penghalang antara seseorang dengan kesyirikan adalah salat. Artinya bahwa ada sesuatu yang menghalangi seseorang menyandang status kafir atau musyrik yaitu dia belum meninggalkan ibadah salat. Jika seseorang meninggalkan salat tidak ada lagi yang memisahkan antara dia dan kesyirikan, bahkan telah masuk ke dalamnya.

Faedah dan Istinbat dari Hadis:

  1. Hadis tersebut menjadi dalil bagi ulama salaf yang menyatakan bahwa orang yang meninggalkan salat telah kafir, meskipun dia beriktikad salat adalah suatu kewajiban dalam agama Islam. Pendapat ini diriwayatkan dari ‘Ali bin Abu Ṭālib, fukaha ahli hadis seperti Aḥmad bin Ḥanbal, Ibn al-Mubārak dan Isḥāq.
Baca juga:  HUKUM BEJANA BEKAS JILATAN ANJING

Sebagian ulama tidak mengatakan hukum orang yang meninggalkan salat sebagai orang yang kafir, namun umumnya mereka berpendapat boleh dibunuh orang tersebut jika menolak melaksanakannya padahal sudah diberikan pengarahan dan pengajaran tentang hal tersebut.

Di sisi lain ulama telah bersepakat bahwa siapa yang mengingkari dan tidak mau mengakui bahwa salat, zakat, puasa, dan haji adalah fardu dalam agama Islam maka dia dihukumi sebagai orang yang telah kafir.[4]

  1. Al-Qāḍi ‘Iyāḍ raḥimahullāh menyatakan bahwa salat yang ditegakkan dengan ketekunan, kesungguhan, dan kontinu siang dan malam hari, menjadi pembeda antara seorang muslim dan kafir.[5]
  2. Apa hukumnya seseorang yang beriktikad bahwa salat hukumnya wajib, namun dia malas mengerjakannya sebagaimana fenomena kebanyakan orang? Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini sebagaimana uraian berikut:

Pertama, Mālik, al-Syāfi’I, dan jumhur ulama salaf mengatakan orang yang seperti itu tidak kafir, namun disifatkan sebagai orang fasik dan diperintahkan bertobat. Jika dia mau bertaubat maka demikian semestinya, namun jika dia menolak bertobat hukumnya adalah dijatuhi hukuman mati sebagaimana hukuman pezina yang sudah menikah. Akan tetapi, cara eksekusi hukuman mati tersebut dengan ayunan pedang. Dalil mazhab ini adalah zahir hadis pada bab ini.

Kedua, sebagian ulama salaf seperti ‘Ali bin Abu Ṭālib, Aḥmad bin Ḥanbal, Ibn al-Mubārak dan Isḥāq bin Rāhawaih, dan sebagian ulama mazhab al-Syāfi’i orang tersebut kafir hukumnya. Dalil mazhab ini adalah firman Allah ﷻ yang artinya,

Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya(Surah Āli ‘Imrān: 116)

Ketiga, Abu Ḥanifah dan sebagian ulama Kufah serta al-Muzani, murid terdekat Imam al-Syafi’I, berpendapat bahwa orang yang meninggalkan salat karena malas tidak dihukum mati, akan tetapi ditakzir dan dipenjara hingga dia mau melaksanakan salat. Dalil mazhab ini adalah hadis Nabi ﷻ, “Tidak halal (haram) darah seorang muslim kecuali karena tiga hal . . . .”[6], dan salat tidak termasuk di dalamnya.[7]

Baca juga:  PUASA BULAN SYAWAL DAN KEUTAMAANNYA

 

 


Footnote:

[1] Abu Bakr al-Baihaqi, Aḥmad bin al-Ḥusain bin ‘Ali (w. 458 H). Al-Sunan al-Kubra. 1424 H. Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut. Jilid 3, hlm. 510.

[2] H.R. Muslim (134).

[3] Al-Nawawi, Abu Zakaria Yaḥya bin Syaraf (w. 676 H). 1392 H. Al-Minhāj Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim bin al-Ḥajjāj. Dār Iḥyā al-Turāṡ al-‘Arabi, Beirut. Jilid 2, hlm. 71.

[4] Al-Qāḍi ‘Iyāḍ; Iyāḍ bin Mūsa bin ‘Iyāḍ al-Sabti (w. 544 H). 1419 H. Ikmāl al-Mu’lim bi Fawāid Muslim. Dār al-Wafā’, Mesir. Jilid 1, hlm. 345.

[5] Ibid.

[6] H.R. al-Bukhari (6878) dan Muslim (1676).

[7] Al-Nawawi. Al-Minhāj. Jilid 2, hlm. 71.

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments