HUKUM TERKAIT AIR KENCING BAYI DAN CARA MENCUCINYA

163
Perkiraan waktu baca: 2 menit

وَعَنْ أَبِي السَّمْحِ قَالَ: كُنْتُ أَخْدُمُ النَّبِيَّ فَأَتِيَ بِحَسَنٍ – أَوْ حُسَيْنٍ – فَبَالَ عَلَى صَدْرِهِ فَجِئْتُ أَغْسِلُهُ فَقَالَ: ((يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ، ويُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلَامِ)). رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ، وَابْنُ مَاجَه، وَالنَّسَائِيُّ، وَالدَّارَقُطْنِيُّ، وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ، وَقَالَ أَبُو زُرْعَةَ الرَّازِيُّ: لَا أَعْرِفُ اسْمَ أَبِي السَّمْحِ هَذَا.

Dari Abu al-Samḥ dia berkata, “Saya pernah berkhidmah kepada Nabi ﷺ, maka suatu ketika saya membawakan Ḥasan atau Ḥusain, kemudian dia kencing di atas dada beliau. Ketika saya akan mencucinya beliau bersabda, ‘Kencing bayi perempuan dicuci, sedangkan kencing bayi laki-laki cukup dipercikkan.’” H.R. Abu Dāwūd, Ibn Mājah, al-Nasāi, al-Dāraquṭni, al-Ḥākim dan beliau menyahihkannya. Abu Zur’ah al-Rāzi berkata, “Nama Abu al-Samḥ tersebut saya tidak tahu.”[1]

Daftar Isi:

Kosakata hadis:

  1. Abu al-Samḥ, nama beliau adalah Iyad, salah seorang khadim Nabi Muhammad ﷺ.[2]
  2. Lafal (الرَشُّ) al-rassyu pada riwayat yang lain digunakan lafal (النَّضْحَ). Kedua riwayat tersebut tidak saling kontradiksi, karena maksudnya adalah awalnya dengan memercikkan dan meneteskan air (الرَشُّ) dan berakhir dengan menuangkan air (النَّضْحَ). النَّضْحَ maknanya adalah pakaian yang terkena kencing tersebut dibasahi dengan air yang cukup banyak namun tidak sampai air tersebut mengalir deras. Kemudian tidak dipersyaratkan harus memerasnya.[3]
  3. (الْجَارِيَةِ) adalah anak perempuan (فَتِيَّةُ النِّسَاءِ).

Makna hadis:

Abu al-Samḥ raḍiyallahu’anhu yang merupakan salah seorang khadim Nabi ﷺ menceritakan bahwa suatu ketika dia pernah membawa Ḥasan atau Ḥusain kepada Nabi ﷺ. Kemudian Nabi ﷺ menggendongnya dan meletakkannya di atas dada beliau, hingga kemudian anak kecil tersebut kencing di situ. Ketika Abu al-Samḥ akan mencuci bekas kencing tersebut Nabi ﷺ bersabda bahwa, “Kencing bayi laki-laki cukup dipercikkan, sedangkan kencing bayi perempuan dicuci.”

Baca juga:  MENYENTUH WANITA YANG BUKAN MAHRAM DALAM TINJAUAN ISLAM

Faedah dan istinbat dari hadis:

    1. Hadis tersebut menjadi dalil bagi ulama bahwa air kencing bayi laki-laki maupun bayi perempuan adalah najis, bahkan sebagian ulama menukilkan ijmak ulama dalam permasalahan ini. Namun kemudian para ulama berbeda pandangan cara mencuci dan menyucikannya dalam tiga mazhab.

Pertama, ulama mazhab al-Syāfi’i menyatakan cukup dengan memercikkan air saja jika air kencing bayi laki-laki dan harus dengan mencucinya jika air kencing bayi perempuan sebagaimana najis-najis yang lain. Pendapat ini juga adalah pendapat Ali bin Abi Ṭālib, Aṭā’ bin Abi Rabāh, al-Ḥasan al-Baṣri dan Aḥmad bin Ḥanbal. Pendapat ini cukup kuat dan paling sahih.

Kedua, cukup memercikkan air saja, baik air kencing bayi laki-laki dan bayi perempuan.

Ketiga, harus mencucinya, baik air kencing bayi laki-laki dan bayi perempuan. Ini adalah pendapat Abu Ḥanīfah, Malik dan Ahlu Kūfah secara umum.[4]

Dalam hadis yang lain diriwayatkan bahwa air kencing bayi laki-laki yang dimaksud adalah bayi laki-laki yang belum menerima asupan makanan luar atau masih hanya menyusui saja, sehingga jika dia sudah mengonsumsi makanan sebagai asupannya maka ulama sepakat harus dicuci.[5]

    1. Hadis ini menunjukkan sikap tawaduk, lemah lembut, dan pergaulan yang baik dari Rasulullah ﷺ terhadap bayi dan anak kecil, di mana dia bermain di atas dada beliau bahkan mengencinginya. Hal tersebut tidak terbatas kepada Hasan atau Husain yang merupakan cucu beliau saja, karena dalam hadis yang lain disebutkan bahwa Ummu Qais binti Mihshan raḍiyallahu’anha pernah membawa bayinya yang belum menerima asupan makanan kepada Nabi Muhammad ﷺ dan kemudian beliau meletakkan bayi tersebut di atas pangkuannya. Lalu bayi tersebut kencing dan mengenai pakaian Nabi Muhammad ﷺ.[6]
Baca juga:  HADIS HAK SESAMA MUSLIM

 

 


Footnote:

[1] H.R. Abu Dawūd (376), Ibn Mājah (526), al-Nasāi (1/158), al-Dāraquṭni (1/130), dan al-Ḥākim (1/166).

[2] Ibn ‘Abd al-Bār. Al-Isti’āb fi Ma’rifah al-Aṣḥāb. Jilid 4, hlm. 1684.

[3] Muḥammad bin Ismā’īl al-Ṣan’āni. Op. Cit. Jilid 1, hlm. 53.

[4] Al-Nawawi. Al-Minhāj. Jilid 3, hlm. 195.

[5] H.R. Al-Bukhāri (223) dan Muslim (287).

[6] Al-Nawawi. Al-Minhāj. Jilid 3, hlm. 195.

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments