KEWAJIBAN MENCUCI BEKAS AIR KENCING

180
Kewajiban Mencuci Bekas Air Kencing
Perkiraan waktu baca: 6 menit

وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ فَقَالَ: ((إنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيْرٍ، أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنَ الْبَوْلِ، وَأَمَّا الآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيْمَةَ))، ثُمَّ أَخَذَ جَرِيدَةً رَطْبَةً فَشَقَّهَا نِصْفَيْنِ، فَغَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةً. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ لِمَ فَعَلْتَ هَذَا؟ قَالَ: ((لَعَلَّهُ يُخَفِّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا)). مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَلَفْظُهُ لِلْبُخَارِيِّ، وَقَدْ رُوِيَ بِثَلَاثَةِ أَلْفَاظٍ: ((يَسْتَتِرُ))، وَ((يَسْتَنْزِهُ))، وَ((يَسْتَبْرِئُ))، فَالأَوَّلَانِ: مُتَّفَقٌ عَلَيْهِمَا، والأَخَيْرُ: انْفَرَدَ بِهِ البُخَارِيُّ

Artinya:

Dari Ibnu ‘Abbās raḍiyallāhu ‘anhu, dia berkata, “Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam melewati dua kuburan dan bersabda, ‘Sesungguhnya kedua (penghuni kubur) tersebut sedang diazab, namun mereka diazab bukan karena persoalan besar (sulit dihindari), salah seorang di antara mereka dahulu tidak menjaga diri dari (najis) air kencing, sedangkan yang seorang lagi adalah pelaku namīmah’. Kemudian beliau mengambil sepotong pelepah kurma yang masih basah dan mematahkannya jadi dua bagian, kemudian menancapkan di setiap kubur satu bagian. Mereka pun bertanya, ‘Wahai Rasulullah, mengapa baginda melakukan hal tersebut’? Beliau menjawab, ‘Mudah-mudahan hal tersebut membantu meringankan (azab) bagi keduanya, selama kedua (pelepah tersebut) belum kering’.” Muttafaqun ‘Alaihi, dengan lafal dari al-Bukhārī. Ada tiga lafal yang diriwayatkan, yaitu “menjaga”, “membersihkan”, “menjauh”. Dua lafal yang disebutkan pertama adalah dari al-Bukhārī dan Muslim, sedangkan yang terakhir diriwayatkan al-Bukhārī saja. [1]

Daftar Isi:

Kosa kata hadis:

  1. (إنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ) maksudnya adalah keduanya diazab di dalam kubur mereka.
  2. (وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ) lafal tersebut memiliki beberapa ihtimal makna. Keduanya mendapatkan azab karena suatu persoalan yang sepele dan mudah untuk dihindari, yaitu membersihkan dan menjaga pakaian dan badan dari najis, sehingga hal tersebut bukan bermakna dosa kecil; kecil dan mudah dihindari, melainkan dosa yang timbul adalah besar.[2]
  3. (لَا يَسْتَتِرُ مِنَ الْبَوْلِ) maksudnya adalah tidak mau membuat sutrah (pelindung) atau menjaga tubuh dan pakaiannya dari percikan air kencing.

(مِنَ الْبَوْلِ) alif dan lam pada kata al-baul adalah badal dari ḍamīr (kata ganti), namun termasuk dalam maknanya adalah semua jenis manusia, sedangkan hewan tidak termasuk. Oleh karena itu, tidak dapat dijadikan hujah untuk mengatakan bahwa semua jenis kencing adalah najis. Imam al-Bukhārī meriwayatkan lafal yang mempertegas,

كَانَ لَا يَسْتَنْزِهُ مِنْ بَوْلِهِ

“Dulu (semasa hidup) dia tidak menyucikan diri dari kencingnya.”[3]

  1. (يَمْشِي بِالنَّمِيْمَةَ) maksudnya adalah menukilkan perkataan dan pernyataan dengan tujuan buruk dan menimbulkan permusuhan.[4]

Makna hadis:

Nabi Muhammad ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam dan beberapa orang sahabatnya suatu ketika melewati dua kuburan, Allah ‘azza wa jalla memperdengarkan dan memperlihatkan azab yang dirasakan oleh kedua penghuni kubur tersebut. Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam kemudian mengabarkan para sahabat, apa yang beliau saksikan, sebagai peringatan kepada umatnya dan hendaknya mereka takut terhadap azab kubur. Kedua penghuni kubur tersebut diazab karena dosa yang sebenarnya sangat mudah untuk ditinggalkan dan dihindari, bagi siapa yang Allah ‘azza wa jalla beri dia taufik untuk itu. Orang yang pertama, semasa hidupnya tidak peduli dan menjaga diri ketika buang hajat, sehingga najis senantiasa mengotori tubuh dan pakaiannya. Orang yang kedua adalah ibarat setan yang berada di tengah-tengah manusia karena mengadu domba (namīmah) mereka, hal ini menyebabkan permusuhan dan saling membenci di antara manusia terutama di tengah-tengah kerabat dan sahabat.

Baca juga:  MENGUSAP KHUF ADALAH AMALAN YANG SESUAI SYARIAT DAN TIDAK MANSUKH

Namīmah adalah menukilkan dan menyampaikan pernyataan dan berita kepada orang-orang kemudian berita tersebut memicu permusuhan dan saling memboikot antara mereka, padahal Islam datang dengan menebar rasa cinta dan kasih sayang dan persatuan.

Kasih sayang Nabi kepada umat Islam tersebut juga ada terhadap kedua penghuni kubur tersebut, sehingga beliau mengambil dua pelepah kurma yang masih basah (segar) kemudian mematahkannya menjadi dua bagian dan menancapkannya di setiap kubur. Ketika Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang perbuatan yang beliau lakukan tersebut oleh para sahabat, beliau menjawab, “Mudah-mudahan hal tersebut membantu meringankan (azab) bagi keduanya, selama kedua (pelepah tersebut) belum kering.”[5]

Faedah dan istinbat dari hadis:

  1. Hadis tersebut menunjukkan bahwa kencing manusia termasuk di antara benda najis. Hal ini diperkuat dengan ijmakfukaha Islam, yaitu wajib membersihkan dan menyucikan diri dari najis.[6] Membersihkan najis berlaku umum di setiap waktu dan tidak terkhusus ketika ingin salat saja.[7]
  2. Azab kubur adalah perkara yang disepakati dan diimani, aṡar tentang hal tersebut sangat masyhur, dan ini adalah keyakinan mazhab ahlusunah waljamaah dan mazhab yang empat.

Penyebutan bahwa azab kubur disebabkan karena tidak menghindari dan membersihkan diri dari najis kencing tidaklah menafikan sebab-sebab lainnya, karena hal seperti ini sebagai suatu kekhususan.[8]

Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

إِنَّ أَكْثَرَ عَذَابِ الْقَبْرِ مِنَ الْبَوْلِ

“Kebanyakan azab kubur adalah karena (tidak menjaga) najis kencing.”[9]

Kesimpulannya adalah bahwa tidak menjaga tubuh dan pakaian dari najis ketika kencing merupakan penyebab terbesar seseorang mendapat azab kubur.

  1. Ulama berbeda pandangan tentang hukum meletakkan ranting pohon atau yang semakna dengannya pada kuburan.

Pertama, ulama yang memandang bahwa amalan tersebut mustahab, hadis tersebut menjadi dalil dan memandang perbuatan Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam tersebut cukup memberi landasan secara umum disyariatkannya amalan tersebut.

Ilat yang disampaikan juga antara lain bahwa pelepah kurma bertasbih selama masih basah di dekat penghuni kubur tersebut.

Kedua, ulama yang menyatakan bahwa amalan tersebut tidak disyariatkan, karena syariat adalah ibadah dan ibadah butuh dalil, tidak ada dalil valid dalam permasalahan ini. Sedangkan hadis tersebut menjelaskan kasus yang sifat personal tertentu saja dan hikmahnya majhūl (tidak diketahui pasti), sehingga Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya kepada selain penghuni kubur yang lainnya.

Baca juga:  MENGQADA SALAT NĀFILAH DI WAKTU LARANGAN

Demikian pula para sahabatnya, tidak pernah melakukannya kecuali Buraidah bin Huṣaib al-Aslamī yang pernah berwasiat agar kelak di atas kuburannya ditancapkan dua pelepah kurma yang masih basah.

Sedangkan ‘Abdullāh bin ‘Umar raḍiyallāhu ‘anhu pernah memerintahkan untuk mencabut peneduh dari ranting yang berdaun dengan alasan bahwa yang menaungi seseorang adalah amal ibadahnya dan bukan hal seperti itu.[10]

Tasbih makhluk kepada Allah ‘azza wa jalla juga tidak terbatas pada ranting basah saja, namun yang kering juga bertasbih[11]. Allah ‘azza wa jalla berfirman,

وَاِنْ مِّنْ شَيْءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهٖ وَلٰكِنْ لَّا تَفْقَهُوْنَ تَسْبِيْحَهُمْۗ

“Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.” (Q.S. al-Isra: 44)

  1. Hadis tersebut menjadi dalil bahwa namīmah adalah dosa besar dan sebab datangnya azab kubur.

Namīmah yang dimaksud tentu namīmah yang diharamkan, yaitu jika efek dari perbuatannya merugikan orang lain. Jika namīmah dilakukan memberi maslahat kepada orang lain, maka hal tersebut tidaklah terlarang sebagaimana pada perbuatan gibah yang maksudnya adalah untuk nasihat atau upaya menolak mudarat sehingga ia tidak terlarang.

Jika seseorang mengetahui suatu pernyataan atau informasi yang bertujuan membahayakan orang lain, kemudian jika dia sampaikan dan bocorkan informasi tersebut dapat membantu objek kejahatan untuk waspada dan menghindari bahaya maka pernyataan dan informasi tersebut wajib disampaikan.[12]

  1. Sebagian ulama menjadikan hadis tersebut sebagai dalil bahwa membaca Al-Qur’an di dekat kuburan adalah bermanfaat bagi mayit, karena makna yang telah disebutkan sebelumnya menjelaskan bahwa perbuatan Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam meringankan azab bagi penghuni kubur, yaitu tasbih tumbuhan kepada Allah ‘azza wa jalla, sehingga bacaan Al-Qur’an dari manusia tentu lebih pantas untuk itu. Allāhu A’lam bi al-Ṣawāb.[13]
  2. Amalan orang yang masih hidup, ketika dia jadikan dan niatkan pahala dari amal ibadah badaniyah dan maliyahnya tersebut, apakah bermanfaat kepada orang yang sudah wafat atau meninggal dunia? Ada dua mazhab ulama dalam permasalahan ini:

Pertama, Imam Aḥmad bin Hambal menyatakan, “Setiap amal kebaikan dari dari orang yang hidup sampai kepada orang yang sudah meninggal, berdasarkan nas-nas yang ada.”

Kedua, melakukan amal ibadah kemudian menghadiahkannya kepada orang yang sudah meninggal (dari kaum Muslimin) adalah bukan kebiasaan dan sesuatu yang dicontohkan oleh salaf saleh, dan meneladani mereka adalah lebih baik.[14]

Ada beberapa amalan yang sangat jelas bermanfaat dan sampai kepada mayit dari orang yang masih hidup, antara lain:

  1. Sedekah orang yang masih hidup dan menghadiahkan pahalanya untuk kebaikan mayit, bahkan ada nukilan ijmakulama bahwa hal tersebut jā’iz, disyariatkan, dan dianjurkan terutama jika yang melakukannya anak keturunan[15]. Dalilnya adalah hadis ‘Ā’isyah raḍiyallāhu ‘anhā bahwa seseorang pernah menanyakan kepada Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam apakah dia bisa bersedekah atas namanya (ibu)? Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya.” [16]
  2. Istigfar atau permohonan ampunan Allah ‘azza wa jalla kepada mayit dari orang yang masih hidup, sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla,

وَالَّذِيْنَ جَاۤءُوْ مِنْۢ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِاِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْاِيْمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًّا لِّلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا رَبَّنَآ اِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ ࣖ

Baca juga:  JIKA WAKTU SALAT HANYA TERSISA UNTUK SATU RAKAAT SAJA

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, “Ya Rab kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rab kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’.” (Q.S. al-Hasyr: 10)

Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda ketika menyampaikan berita wafatnya Raja Habasyah al-Najāsyi dengan berkata,

اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيْكُمْ

“Mohonlah ampunan (Allah) untuk saudara kalian.”[17]

  1. Hadis ini juga menjadi dalil batilnya pernyataan bahwa kuburan yang banyak peziarah, maka penghuninya tidak mendapat azab atau ditanya oleh malaikat, karena dua mayit yang disebutkan dalam hadis tersebut adalah kaum Muslim, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar raḥimahullāh, dan kuburan mereka diziarahi oleh Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan makna hadis,

العَبْدُ إِذَا وُضِعَ فِي قَبْرِهِ، وَتَوَلَّي وَذَهَبَ أَصْحَابُهُ حَتَّى إِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ

أَتَاهُ مَلَكَانِ

“Seorang jika diletakkan di dalam kuburnya, kemudian sahabat-sahabatnya berpaling dan pergi hingga dia (mayit) mendengar suara gesekan sandal mereka, dua malaikat mendatanginya.[18]

Maknanya adalah orang-orang yang mengantar dan menguburkannya dan bukan orang yang menziarahinya.

 


Footnote:

[1] H.R. al-Bukhārī (218) dan Muslim (292).

[2] Ibnu Daqīq al-‘Īd. Iḥkāmul Aḥkām Syarḥ ‘Umdatil Aḥkām. Jilid 1, hlm. 105.

[3] H.R. al-Bukhārī (216).

[4] ‘Abdullāh bin Ṣāliḥ al-Bassām. Op. Cit. Hlm. 43.

[5] ‘Abdullāh bin Ṣāliḥ al-Bassām. Op. Cit. Hlm. 44.

[6] Ibnu Baṭṭāl. Op. Cit. Jilid 1, hlm 325.

[7] Ibnu Hajar. Fathḥl Bāri Syarḥu Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Jilid 1, hlm. 321.

[8] Ibnu Daqīq al-‘Īd. Iḥkāmul Aḥkām Syarḥ ‘Umdatil Aḥkām. Jilid 1, hlm. 105.

[9] H.R.  Aḥmad (9059) dan Ibnu Majah (348), dari hadis Abū Hurairah t dengan sanad yang disahihkan oleh ulama hadis seperti Ibnu Khuzaimah dan yang lainnya.

[10] Aṡar disebutkan oleh al-Bukhārī pada hadis nomor 1361.

[11] Al-Nawawī. Al-Minhāaj. Jilid 3, hlm. 202.

[12] Ibnu Daqīq al-‘Īd. Iḥkāmul Aḥkām Syarḥ ‘Umdatil Aḥkām. Jilid 1, hlm. 105.

[13] Ibnu Daqīq al-‘Īd. Iḥkāmul Aḥkām Syarḥ ‘Umdatil Aḥkām. Jilid 1, hlm. 107.

[14] ‘Abdullāh bin Ṣāliḥ al-Bassām. Op. Cit. Hlm. 45.

[15] Sulaimān bin Khalaf al-Bāji. Al-Muntaqā Syarḥul Muwaṭṭa’. Jilid 6, hlm. 144.

[16] H.R. al-Bukhārī (2760) dan Muslim (1004).

[17] H.R. al-Bukhārī (1327) dan Muslim (951).

[18] H.R. al-Bukhārī (1338 dan 1374).

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments