وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: لَمَّا كَانَ يَوْمُ خَيْبَرَ جاءَ جاءٍ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ أَكَلْتُ الْحُمُرَ، ثُمَّ جاءَ جَاءٍ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ أُفْنِيَتِ الْحُمُرُ، فَأَمَرَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبَا طَلْحَةَ فَنَادَى: إِنَّ اللهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْ لُحُوْمِ الْحُمُرِ فَإِنَّهَا رِجْسٌ – أَوْ نَجَسٌ – قَالَ فَأُكْفِئَتِ الْقُدُوْرُ بِمَا فِيهَا. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَلَفْظُهُ لِمـُسْلِمٍ، وَفِي الصَّحِيْحِ فِي حَدِيْثِ سَلمَةَ: أَنَّهُمْ أَخْبَرُوْهُ أَنَّهُمْ يُوْقِدُوْنَ عَلَى لَحْمِ الْحُمُرِ الإنْسِيَّةِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((أَهْرِيْقُوْهَا وَاكْسِرُوهَا))، فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللهِ أَوْ نُهْرِيقُهَا وَنَغْسِلُهَا؟ قَالَ: ((أَوْ ذَاكَ))
Artinya:
Dari Anas bin Mālik raḍīyallāhu ‘anhu, dia berkata, “Ketika peristiwa perang Khaibar, seseorang datang kemudian berkata, ‘Wahai Rasulullah, saya telah makan daging keledai’, kemudian datang yang lain dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, keledai (mulai) punah’. Kemudian Rasulullah memerintahkan Abū Ṭalḥah untuk menyampaikan bahwa, ‘Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian semua dari (mengonsumsi) daging keledai, karena ia adalah rijsun atau najis’, dia berkata, ‘Periuk-periuk pun ditumpahkan (isinya)’.” Muttafaqun ‘alaihi dan lafalnya dari Muslim. Dalam al-Ṣaḥīḥ juga pada hadis Salamah disebutkan bahwa, “Mereka mengabarkan kepada beliau bahwa mereka memasak daging keledai (al-insiyah).” Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda, “Tumpahkan ia dan hancurkan (periuknya).” Seseorang kemudian berkata, “Wahai Rasulullah atau kami tumpahkan isinya dan cuci (periuknya).”Beliau berkata, “Atau demikian.” [1]
Daftar Isi:
Kosa kata hadis:
- Al-humuru al-insiyah (الْحُمُرُ الإنْسِيَّة) disandarkan kepada insan atau manusia karena kedekatannya dan jinak kepada manusia atau dalam teks hadis yang lain disebut dengan al-humuru al-ahliyah (الْحُمُرُ الْأَهْلِيَّة) artinya keledai yang dekat dan berinteraksi dengan manusia, yaitu keledai yang digunakan untuk tunggangan dan mengangkut barang yaitu alat transportasi dan membantu pekerjaan sehari-hari manusia pada masa tersebut.
Sedangkan الحِمَارُ الوَحْشِيُّ atau keledai wahsyī (liar dan tidak jinak) yaitu keledai yang hidup secara liar di padang pasir atau di tengah hutan.
- Peristiwa Khaibaratau perang Khaibar terjadi pada bulan Muharram tahun ketujuh hijriah.
Khaibar adalah nama dari sebuah kota yang cukup besar, dikelilingi oleh benteng-benteng dan area perkebunan dan pertanian dengan jarak 80 mil dari kota Madinah ke arah utara.
Penduduk Khaibar adalah inisiator terbentuknya pasukan Ahzab yang merupakan pasukan sekutu yang menyerang kota Madinah secara besar-besaran. Bani Quraiẓah sebagai penguasa di Khaibar telah melakukan penghianatan dan melanggar perjanjian damai dengan kaum Muslim. Namun pemberontakan dan makar tersebut berhasil dipadamkan oleh Nabi Muhammad ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.[2]
Makna hadis:
Anas bin Mālik raḍīyallāhu ‘anhu menyebutkan kondisi kaum Muslim yang kelaparan pada peperangan Khaibar. Ketika mereka mendapatkan hewan keledai, mereka pun menyembelih dan memasaknya dalam periuk-periuk mereka. Namun kemudian datang seruan resmi dari Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam yang melarang untuk memakan daging keledai ahliyah, sehingga mereka pun membalikkan dan membuang isi periuk-periuk tersebut dan tidak ada seorang pun yang mengonsumsinya.
Faedah dan istinbat dari hadis:
- Faedah fikih dari hadis tersebut adalah bahwa daging keledai ahliyah haram dimakan.
Ada beberapa penjelasan terkait alasan pengharamannya, antara lain:
- Pada hadis yang tercantum di atas, jelas disebutkan bahwa dagingnya najis sehingga semua daging yang sudah dimasak tidak hanya dibuang, periuk-periuknya juga dimusnahkan.
- Karena keledai jinak adalah tunggangan dan alat transportasi yang dibutuhkan banyak orang pada masa tersebut, sehingga dikhawatirkan alat transportasi menjadi punah padahal sangat dibutuhkan.
- Karena keledai termasuk hewan yang mengonsumsi kotoran atau dalam istilah fikih disebut sebagai jalalah.
Jumhur ulama antara lain Abū Ḥanīfah, Mālik, al-Syāfi’ī, Aḥmad dan murid-muridnya berpendapat bahwa keledai jinak dengan definisi yang telah disebutkan haram dimakan. [3]
- Para fukaha sepakat bahwa daging keledai ahliyah haram dimakan, kecuali sebuah riwayat disebutkan dari Ibnu ‘Abbās raḍīyallāhu ‘anhu dimana beliau membolehkan memakannya.
Ulama yang membolehkannya beralasan bahwa larangan dari Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bukan bermakna pengharaman, akan tetapi maksudnya adalah agar kendaraan dan alat transportasi tersebut tidak punah. Namun jika diperhatikan lebih mendalam, ternyata pada saat itu mereka lebih membutuhkan kuda dibandingkan keledai. Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam melarang dari keledai ahliyah namun membolehkan memakan daging kuda pada peristiwa Khaibar.[4]
Footnote:
[1] H.R. al-Bukhārī (117) dan Muslim (1802).
[2] Ṣafiyurraḥmān al-Mubārakfurī (w.1427 H). Al-Raḥīqul Makhtūm. Dārul ‘Uṣāmā`, Dimasyq. Hlm. 301.
[3] Badruddīn al-Aini. ‘Umdatul Qāri Ṣyarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Jilid 14, hlm. 244.
[4] Ibnu Baṭṭāal. Op. Cit. Jilid 5, hlm. 434.