SYARAH MUDAH MATAN AL-BAIQŪNI[1]
Imam al-Baiqūni:
وَمُرْسلٌ مِنْهُ الصِّحَابِيُّ سَقَطْ … وَقُلْ غَرِيبٌ مَا رَوَى رَاوٍ فَقَطْ
Artinya:
“Mursal adalah (hadis) yang sahabat hilang dari (sanad)nya, dan katakanlah bahwa garib adalah (hadis) yang diriwayatkan oleh seorang rawi saja.”
Definisi:
Syekh ‘Abd al-Sattār raḥimahullāh mengoreksi penulis manẓūmah pada bagian ini dengan berkata,
وَمُرْسلٌ مِنْ فَوْقِ تَابِعٍ سَقَطْ … وَقُلْ غَرِيبٌ مَا رَوَى رَاوٍ فَقَطْ
Artinya:
“Mursal adalah (hadis) yang (rawinya) di atas tabiin hilang, dan katakanlah bahwa garib adalah (hadis) yang diriwayatkan oleh seorang rawi saja.”
Al-mursal[2] adalah hadis yang dimarfukkan oleh seorang tabiin kepada Rasulullah ṣallallāhu‘alaihiwasallam -berupa perkataan, perbuatan, atau takrir- tanpa menyebutkan para rawi yang dengan perantaraan mereka ia memperoleh hadis tersebut, entah mereka sahabat atau tabiin (lain).
Contoh:
Abu Dawūd dalam al-Marāsil[3] meriwayatkan dari al-Zuhri,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَعَانَ بِنَاسٍ مِنْ اليَهُودِ فِي خَيْبَرَ فِيْ حَرْبِهِ فَأَسْهَمَ لَهُمْ
Artinya:
“Bahwa Nabi ṣallallāhu‘alaihiwasallam mengambil bantuan beberapa orang Yahudi di Khaibar dalam perang beliau, maka beliau memberi mereka bagian.”
Al-Zuhri raḥimahullāh adalah salah seorang imam para tabiin,[4] beliau meriwayatkan hadis ini dari Nabi ṣallallāhu‘alaihiwasallam secara langsung tanpa menyebutkan perantara yang melaluinya ia memperoleh hadis tersebut, entah seorang sahabat atau seorang tabiin semisal beliau.[5]
Mursal al-Ṣaḥābi[6] adalah hadis yang disampaikan oleh seorang sahabat berupa perkataan atau perbuatan Rasulullah ṣallallāhu‘alaihiwasallam sedang ia belum mendengarkan perkataan tersebut atau melihat perbuatan tersebut secara langsung dari Rasulullah ṣallallāhu‘alaihiwasallam. Sebabnya adalah baik karena sahabat tersebut masih sangat belia, terlambat masuk Islam, atau tidak hadir (saat perkataan/perbuatan tersebut diucapkan/dilakukan oleh Rasulullah ṣallallāhu‘alaihiwasallam). Sangat banyak hadis-hadis seperti ini yang dimiliki oleh para sahabat sigār (junior) seperti Ibn ‘Abbās, Ibn al-Zubair, dan lain-lain. Mursal jenis ini diterima sebab seluruh sahabat adalah ‘ādil.
Definisi:
Al-garīb[7] adalah hadis yang seorang rawi bersendirian dalam meriwayatkannya pada bagian mana pun dari sanad hadis tersebut. Ia disebut hadis garib sebab ia seperti garib (orang asing) yang sendiri tanpa keluarga atau jauhnya ia dari derajat hadis masyhur apalagi mutawatir.[8]
Contoh:
Contohnya adalah hadis,
إنَّما الأعْمَالُ بالنِّيَّات وإنَّما لِكل امْرِئٍ ما نَوَى…[9]
Artinya:
“Hanya saja amal-amal itu dengan niat, dan hanya saja setiap orang mendapatkan apa yang ia niatkan…”
‘Umar bin al-Khattāb bersendirian meriwayatkan hadis ini dari Rasulullah ṣallallāhu‘alaihiwasallam, kemudian ‘Alqamah bersendirian meriwayatkannya dari ‘Umar, kemudian Muḥammad bin Ibrāhīm al-Taimi bersendiri meriwayatkannya dari ‘Alqamah, kemudian Yaḥya bin Sa’īd al-Anṣāri bersendirian meriwayatkannya dari Muḥammad bin Ibrāhīm al-Taimi, kemudian setelah itu hadis ini menjadi masyhur.[10]
Footnote:
[1] Diterjemahkan dan disadur dari kitab al-Ta’liqāt al-Aṡariyyah ‘ala al-Manẓūmah al-Baiquniyyah karya Syekh ‘Ali bin Ḥasan al-Ḥalabi al-Aṡari rahimahullāh.
[2] Lihat: Tadrīb al-Rāwi (1/195) dan Tauḍīḥ al-Afkār (1/283). Untuk mengetahui lebih jauh tentang hal yang dikoreksi oleh Syekh ‘Abd al-Sattār raḥimahullāh terhadap penulis manzūmah, lihat: Syarḥ Mulla ‘Ali al-Qāri ‘ala al-Nukhbah (h. 109-110).
[3] Pada no. 28, ‘Abd al-Razzāq dalam al-Muṣannaf (no. 9329), dan Ibn Abi Syaibah dalam al-Muṣannaf (12/395). Al-Baihaqi dalam Sunan-nya (9/53) berkata, “Isnadnya lemah dan terputus.” Rujuk: Naṣb al-Rāyah (3/422) karya al-Zaila’i, ada pembahasan yang penting terkait ini dalam kitab tersebut.
[4] Lihat biografi beliau dalam Tahẓīb al-Tahẓīb (9/445) dan kitab-kitab biografi lainnya. Imam Ibn ‘Asākīr telah menulis biografi beliau secara luas dalam Tārīkh Dimasyq (15/975-1027).
[5] Untuk mengetahui hukum meminta bantuan dari orang-orang kafir, rujuk: Nail al-Auṭār (7/235) dan Subul al-Salām (4/49).
[6] Lihat: al-Taqyīd wa al-Īḍāḥ (59), al-Bā’iṡ (1/158), dan al-Taqrīb (1/171).
[7] Lihat: Ma’rifah ‘Ulūm al-Ḥadīṡ (94) karya al-Ḥākim al-Naisābūri dan Tadrīb al-Rāwi (2/180).
[8] Lihat: Tauḍīḥ al-Afkār (2/402) dan ta’līq-nya.
[9] H.R. al-Bukhāri (no. 1 dan 2529), Muslim (no. 1908), dan selain keduanya. Lihat sejumlah faedah penting seputar hadis ini yang Syekh al-Halabi sebutkan dalam kitabnya al-Nukat ‘ala Nuzhah al-Naẓar (h. 66-67) dan al-Hiṭṭah (h. 289 dan 309).
[10] Rujuk: Siyar A’lām al-Nubalā (5/476) karya Imam al-Żahabi.