HADIS LEMAH YANG DISEBABKAN OLEH CACATNYA SIFAT ‘ADĀLAH SEORANG PERAWI (BAGIAN KEDUA)

143
HADIS LEMAH YANG DISEBABKAN OLEH CACATNYA SIFAT ‘ADALAH SEORANG PERAWI
Perkiraan waktu baca: 2 menit

SERIAL BELAJAR MUDAH MUSṬALAH HADIS(1)

  1. PEMBAHASAN TENTANG AL-JAHĀLAH (TIDAK DIKETAHUI TENTANG KEPRIBADIANNYA)

Terdapatnya seorang periwayat yang tidak diketahui kepribadiannya (jahālah) adalah di antara sebab tertolaknya sebuah riwayat. Aljahālah ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu:

  1. Jahālah ‘ain, yaitu jenis jahālah yang dikhususkan bagi seorang periwayat yang tidak seorangpun meriwayatkan hadis darinya kecuali seorang saja dan tak seorangpun dari ulama hadis yang melakukan aljarh(2) atau alta’dīl(3) terhadapnya.

Di antara periwayat yang masuk kategori jahālah al‘ain yaitu Hafṣ bin Hāsyim bin ‘Utbah. Periwayat yang meriwayatkan hadis darinya hanyalah Abdullāh bin Lahī’ah saja dan tidak seorangpun dari ulama hadis yang menyebutkan adanya aljarh atau alta’dīl terhadapnya.

Al-Hāfiẓ Ibnu Hajar raḥimahullāhu ta’ālā berkata, “Orang ini tidak disebutkan di dalam kitab-kitab tarikh (biografi) tentang beliau dan juga tidak seorangpun yang menyebutkan bahwa Ibnu ‘Utbah memiliki anak yang bernama Hafṣ (4).

  1. Jahālah hāl, yaitu jahālah yang disematkan kepada seorang yang mana hanya terdapat lebih dari seorang periwayat yang meriwayatkan hadis darinya dan tidak seorangpun dari ulama hadis yang melakukan al-jarh atau al-ta’dil terhadapnya.

Di antara periwayat yang masuk kategori jahālah alhāl ini adalah Yazīd bin Mażkūr. Wahb bin ‘Uqbah dan Muslim bin Yazīd (anaknya) meriwayatkan darinya (Yazīd), namun tidak ada penilaian tentang ke-iqah-an beliau yang muktabar.

Apakah boleh berhujah dengan hadis majhūl?

Adapun berhujah dengan hadis majhūl, baik itu majhūl al‘ain maupun majhūl alhāl, mayoritas ulama hadis menolak berhujah dengannya. Hanya saja terdapat perbedaan di antara keduanya. Majhūl alhāl dari sisi kelemahan lebih ringan daripada majhūl al‘ain. Dengan demikian, hadis majhūl alhāl ini apabila diikuti oleh riwayat yang memiliki tingkatan yang sama, atau lebih kuat, maka hadis tersebut akan naik derajatnya menjadi hasan dengan gabungan dua jalur tersebut, atau jalur-jalur lainnya. Adapun hadis majhūl al‘ain tidak bisa dikuatkan oleh mutāba’ah (penguat) karena mutāba’ah untuk hadis majhūl al‘ain tidak berguna sama sekali, sebab tingkat kelemahannya termasuk ke dalam kategori berat (ḍa’īf syadīd).

Baca juga:  GAMBARAN RINGKAS KITAB-KITAB HADIS (BAGIAN I)

Contoh Hadis Majhūl al-‘Ain

Sebuah hadis yang disebutkan oleh Imam Abu Dawud (hadis no.1492), yaitu:

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ، عَنْ حَفْصِ بْنِ هَاشِمِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ، عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا دَعَا فَرَفَعَ يَدَيْهِ، مَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ

Artinya:

Qutaibah bin Sa’īd telah menceritakan kepada kami, Ibnu Lahī’ah menceritakan kepada kami, dari Hafṣ bin Hāsyim bin ‘Utbah bin Abū Waqqāṣ, dari Sā’ib bin Yazīd, dari ayahnya, Yazīd bin Sa’īd al-Kindī raḍiyallāhu ‘anhu bahwa apabila Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam berdoa, beliau mengangkat kedua tangannya lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.

Hafṣ bin Hāsyim dalam riwayat di atas termasuk majhūl al-‘ain, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.

Contoh Hadis Majhūl al-Hāl

Hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi di dalam kitab beliau, al-Sunan al-Kubrā, (8/232) dari jalur:

الْقَاسِمِ بْنِ الْوَلِيدِ، عَنْ يَزِيدَ، أُرَاهُ ابْنَ مَذْكُورٍ، أَنَّ عَلِيًّا، رَضِيَ اللهُ عَنْهُ رَجَمَ لُوطِيًّا

Artinya:

Al-Qāsim bin al-Walīd, dari Yazīd –aku menduga dia- bin Mażkūr, bahwasanya ‘Alī raḍiyallāhu ‘anhu merajam seorang pelaku homoseksual.

Dalam riwayat ini, Yazīd bin Mażkūr adalah majhūl al-hāl, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.


Footnote:

(1) Diterjemahkan dan disadur dari kitab Taysīr Ulūm al-Hadīṡ lil Mubtadi’īn karya Syekh Amru Abdul Mun’im Sālim hafiẓahullāh.

(2) Aljarh yaitu menyifati seorang periwayat dengan sifat yang membuat apa yang ia riwayatkan menjadi tidak kuat, lemah, atau bahkan tertolak.

(3) Alta’dīl merupakan antonim dari al-jarh atau al-tajrih, yaitu menyifati seorang periwayat dengan sifat-sifat yang ketika telah disematkan padanya akan menjadikannya dipandang sebagai periwayat yang terpercaya sehingga riwayatnya diterima.

Baca juga:  HUKUM BERAMAL DENGAN HADIS DAIF (LEMAH)

(4) Tahżīb al-Taīb (2/362).

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments