وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ((مَنْ غَسَّلَ مَيِّتاً فَلْيَغْتَسِلْ، وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ)). رَوَاهُ أَحْمَدُ، وَأَبُو دَاوُد، وَابْنُ مَاجَه، وَالتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ، وَلَمْ يَذْكُرْ ابْنُ مَاجَه: ((الوُضُوء)). وَقَالَ أَبُو دَاوُد: هَذَا مَنْسُوخٌ، وَقَالَ الإِمَامُ أَحْمَدُ: هُوَ مَوْقُوفٌ عَلَى أَبِي هُرَيْرَةَ، وَقَالَ البُخَارِيُّ: قَالَ ابْنُ حَنْبَلٍ وَعَلَيٌّ: هَذَا لَا يَصِحُّ فِي هَذَا الْبَابِ شَيْءٌ
Dari Abū Hurairah radiyallāhu ‘anhu, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda, “Barang siapa memandikan mayit, hendaklah (setelahnya) dia mandi, dan barang siapa memikul jenazah, hendaklah (setelahnya) dia berwudu.”
Hadis riwayat Aḥmad, Abū Dāud, Ibnu Mājah dan Tirmiżi, beliau mensahihkannya. Ibnu Mājah tidak menyebutkan lafal “wudu”. Abū Daud mengomentari, “Hadis ini mansukh.” Imam Aḥmad berkata, “Hadis ini maukuf kepada Abū Hurairah.” Al-Bukhari pernah berkata, “Ibnu Hanbal dan Ali (al-Madinī) berkata, ‘Tidak ada (hadis) yang sahih pada bab tersebut’.”
Daftar Isi:
Kosa kata hadis:
Perkataan Imam Aḥmad, “Tidak ada (hadis) yang sahih pada Bab tersebut,” maksudnya adalah tentang kewajiban seseorang untuk mandi setelah dia memandikan mayit. Perkataan yang sama juga diriwayatkan dari Ali bin al-Madinī.[1]
Makna hadis:
Abū Hurairah radiyallāhu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa barang siapa yang memandikan jenazah, hendaknya setelah itu orang tersebut mandi, dan orang yang memikul jenazah juga hendaknya berwudu setelah selesai. Perintah dalam hadis tersebut dipahami oleh ulama sebagai anjuran saja dan tidak sampai ke derajat suatu kewajiban.
Faedah dan istinbat dari hadis:
- Ẓahir nas hadis menunjukkan perintah mandi atau berwudu setelah memandikan mayit, namun al-Khaṭṭābī raḥimahullāh menyatakan bahwa tidak ada ulama yang mewajibkan mandi setelah seseorang memandikan mayit dan berwudu setelah mengangkat jenazah. Oleh karenanya, perintah dalam hadis dipahami sebagai anjuran atau istihbab.
- Hadis tersebut bermakna bahwa seseorang yang memandikan mayit hampir mustahil terbebas dari percikan air cucian mayit dan bisa saja pada tubuh mayit ada najis yang melekat. Jika percikan tersebut mengenai orang yang memandikan maka dia tidak mengetahui bagian tubuh yang mana yang terkena najis sehingga mandi atau mencuci seluruh tubuh menjadi solusi terhadap permasalahan tersebut. Perintah untuk berwudu mungkin saja tujuannya adalah agar dia sudah dalam kondisi siap untuk menyalatkan jenazah.[2]
Footnote:
[1] Al-Syaukānī. Nailul Auṭar. Jilid 1, hlm. 295.
[2] Al-Khaṭṭābī. Ma’ālim al-Sunan. Jilid 1, hlm. 307.