HADIS KE-41 AL-ARBA’IN: HAWA NAFSU HARUS TUNDUK PADA SYARIAT

3685
HADIS KE 41 AL ARBAIN HAWA NAFSU HARUS TUNDUK PADA SYARIAT
HADIS KE 41 AL ARBAIN HAWA NAFSU HARUS TUNDUK PADA SYARIAT
Perkiraan waktu baca: 3 menit

عَنْ أَبِيْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللهِ بِنِ عمْرِو بْنِ العَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَواهُ تَبَعَاً لِمَا جِئْتُ بِهِ. حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ روَيْنَاهُ فِي كِتَابِ الحُجَّةِ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ

Dari Abū Muḥammad, Abdullāh bin ‘Amr bin al-Āṣ raiyallāhu ‘anhumā, dia berkata, ”Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidaklah sempurna keimanan salah seorang di antara kalian hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa’.” (Hadis ini asan aḥīḥ, kami telah meriwayatkannya dari kitab al-ujjah dengan sanad yang sahih)

Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Abī ‘Āṣim[1] dalam kitab al-Sunnah, al-Bagāwī dalam kitab Syar al-Sunnah[2], Abū al-Syaikh dalam kitab al-ujjah ‘alā Ṭārīkh al-Mahajjah melalui jalur Nu’aim bin Hammad, dari ‘Abdul Wahhāb bin ‘Abdul Majīd al-Ṡaqafī, dari Hisyām bin Hassān, dari Muḥammad bin Sīrīn, dari ‘Uqbah bin ‘Aus, dari Abdullāh bin ‘Amr bin al-‘Āṣ.

Terdapat beberapa titik kelemahan dalam sanad hadis ini, yaitu:

  1. Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Nu’aim bin Hammad al-Marwazī, dimana periwayatan beliau telah dilemahkan oleh para ulama disebabkan adanya hadis-hadis munkar yang beliau riwayatkan.
  2. Terdapat perbedaan riwayat dari Nu’aim dalam sanadnya. Dalam riwayat al-Harawī melalui Abū Hātim al-Rāzī[3], Nu’aim tidak menyebutkan gurunya secara gamblang. Beliau berkata, “Dari guru-guru kami.” Sementara dalam riwayat lain, beliau berkata, “Dari ‘Abdul Wahhāb atau yang lainnya.”
  3. Dalam sanad ini juga terdapat ‘Uqbah bin ‘Aus. Riwayat beliau dari ‘Abdullāh bin ‘Amr bin al-‘Āṣ masih diperbincangkan.
Baca juga:  ISBAL: HARAM, MAKRUH, ATAU MUBAH?

Beberapa ulama pun melemahkan hadis ini[4] namun ada pula yang mengangkat hadis ini sampai derajat hasan, wallāhu a’lam.

Berdasarkan hadis ini, diketahui bahwa seorang hamba tidak dikategorikan beriman secara sempurna hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam berupa syariat yang suci. Segala perintah dan larangan yang dibawa oleh Rasulullah adalah bagian dari syariat, sudah sepatutnya seorang muslim menyikapinya dengan ketaatan dan ketundukan penuh tanpa ada rasa keberatan sama sekali.

Allah berfirman,

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُوْنَ حَتّٰى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوْا فِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

“Demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga bertahkim kepadamu (Nabi Muhammad) dalam perkara yang diperselisihkan di antara mereka. Kemudian, tidak ada keberatan dalam diri mereka terhadap putusan yang engkau berikan dan mereka terima dengan sepenuhnya.” (Q.S. al-Nisā’: 65)

Allah juga berfirman,

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَّلَا مُؤْمِنَةٍ اِذَا قَضَى اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗٓ اَمْرًا اَنْ يَّكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ اَمْرِهِمْ ۗوَمَنْ يَّعْصِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِيْنًاۗ

“Tidaklah pantas bagi mukmin dan mukminat, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketentuan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.” (Q.S. al-Aḥzāb: 36)

Sudah pasti ada saja perintah dan larangan agama yang tidak sesuai dengan hawa nafsu manusia. Di sinilah letak ujian keimanan dari Allah. Seorang mukmin dengan keimanan yang sempurna akan merasa rida dengan ketentuan syariat yang ditetapkan oleh Allah walaupun bertentangan dengan keinginannya.

Jika seorang mukmin senantiasa mampu mendahulukan syariat di atas kepentingan lain termasuk keinginan dan hawa nafsunya, ia akan merasakan manisnya keimanan. Inilah salah satu nikmat terbesar yang dirasakan seorang hamba di dunia ini. Rasulullah bersabda,

Baca juga:  HADIS MENCUCI BEJANA YANG DIJILAT ANJING

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

“Tiga perkara yang apabila ada pada diri seseorang, ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu Allah dan rasul-Nya lebih dicintainya dari selain keduanya, ia mencintai seseorang, dia tidak mencintainya kecuali karena Allah, dan dia benci kembali kepada kekufuran seperti dia benci bila dilempar ke neraka.”[5]

Tidak hanya itu, keberkahan akan didapatkan dengan senantiasa membingkai hidup dalam syariat. Allah berfirman,

وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ

“Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi.” (Q.S. al- A’rāf: 96)

Sebaliknya, mengikuti hawa nafsu dan syahwat adalah biang kesengsaraan di dunia dan akhirat. Allah berfirman,

فَخَلَفَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ اَضَاعُوا الصَّلٰوةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوٰتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا ۙ

“Kemudian, datanglah setelah mereka (generasi) pengganti yang mengabaikan salat dan mengikuti hawa nafsu. Mereka kelak mendapati gay.” (Q.S. Maryam: 59)

Maksud kata “gay” dalam ayat di atas ditafsirkan beragam oleh ahli tafsir, di antaranya ialah lembah atau sungai di neraka.[6]

Fuḍail bin ‘Iyāḍ berkata,

لَنْ يَكْمُلَ عَبْدٌ حَتَّى يُؤَثِّرَ دِيْنَهُ عَلَى شَهْوَتِهِ، وَلَنْ يَهْلِكَ عَبْدٌ حَتَّى يُؤَثِّرَ شَهْوَتَهُ عَلَى دِيْنِهِ

“Tidak akan pernah paripurna seorang hamba hingga ia mampu mendahulukan agamanya daripada hawa nafsunya, tidak akan pernah sengsara seorang hamba hingga ia mendahulukan syahwatnya ketimbang agamanya.”[7]


Footnote:

[1] Al-Sunnah (1/45)(15).

Baca juga:  HADIS KEWAJIBAN MENCUCI KEDUA KAKI SECARA SEMPURNA

[2] Syarḥ al-Sunnah (1/212-213)(104).

[3] Żam al-Kalām (2/169).

[4] Lihat: urūq al-Arba’īn (2/59), Jamī’ al-‘Ulūm wa al-Ḥikam (2/390) dan ilal al-Jannah (15).

[5] H.R. Bukhārī (15) dan Muslim (60).

[6] Lihat: al-Dūr al-Manṡūr fī Tafsīr bil Ma’ṡūr (5/527).

[7] Siyār A’lām al-Nubalā’ (8/427).

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments