TIDURNYA ORANG YANG SEDANG DUDUK: TIDAK MEMBATALKAN WUDU

176
Tidurnya Orang yang Sedang Duduk Tidak Membatalkan Wudu
Tidurnya Orang yang Sedang Duduk Tidak Membatalkan Wudu
Perkiraan waktu baca: 2 menit

BAB: HAL-HAL YANG MEMBATALKAN WUDU
Hadas-hadas yang membatalkan wudu sebagaimana ijmak para ulama, antara lain: buang air kecil (kencing) dan besar (tinja), mazi, wadi, hubungan suami-istri (jimak), hilangnya akal dengan segala macam kondisi, tidur yang pulas.

Hadas-hadas yang diperselisihkan oleh para ulama, apakah membatalkan wudu atau tidak, antara lain: berciuman (suami-istri), menyentuh kemaluan, mimisan, cacing yang keluar dari dubur, benda yang keluar dari qubul dan dubur yang jarang terjadi dan tidak semua orang mengalami, misal beser kencing, beser mazi dan darah istihadah.[1]

Daftar Isi:

Tidurnya Orang yang Sedang Duduk: Tidak Membatalkan Wudu[2]

عَن أَنَسِ بنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: أُقِيْمَتْ صَلَاةُ العِشَاءِ، فَقَالَ رِجُلٌ: لِيْ حَاجَةُ فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُنَاجِيْهِ حَتَّى نَامَ القَوْمُ – أَوْ بَعْضُ الْقَوْمِ – ثُمَّ صَلُّوْا. رَوَاهُ مُسْلِمٌ. وَفِي لَفْظٍ لَهُ: كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنَامُونَ ثُمَّ يُصَلُّوْنَ وَلَا يَتَوَضَّؤُوْنَ

Dari Anas bin Mālik raḍiyallāhu ‘anhu, dia berkata, “(Suatu ketika) setelah ikamah salat Isya dilakukan, seorang laki-laki bangkit dan berkata (kepada Nabi ﷺ), ‘Saya memiliki keperluan’, lalu Nabi ﷺ bangkit dan bercakap-cakap (empat mata) dengan orang tersebut hingga jemaah (atau sebagian) tertidur, setelah itu mereka pun salat.” Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim. Dalam lafaz yang lain, “Dulu para sahabat Nabi tertidur (di masjid) kemudian salat dan tidak memperbarui wudu mereka.”[3]

وَرَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَلَفْظُهُ: كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم يَنْتَظِرُوْنَ الْعِشَاءَ الآخِرَةَ حَتَّى تَخْفِقَ رُؤوسُهُمْ، ثُمَّ يُصَلُّوْنَ وَلَا يَتَوَضَّؤونَ. وَرَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ وَصَحَّحَهُ

Baca juga:  HADIS-HADIS TENTANG KEKHUSUSAN HARI JUMAT

Abū Dāud meriwayatkan pula, dengan lafaz, “Dulu para sahabat Rasulullah di masa hidup beliau, menunggu waktu paling akhir dari salat Isya hingga kepala-kepala mereka tertunduk, kemudian mereka salat dan tidak memperbarui wudu.”[4]

Kosa kata hadis:

  1. يُنَاجِيْهِ dari asal kata المُنَاجَاةُ (al-munājāh) artinya berbicara secara rahasia atau empat mata saja. [5]
  2. تَخْفِقَ رُؤوسُهُمْ artinya kepala yang tertunduk sehingga dagu menyentuh ke dada akibat rasa kantuk yang amat sangat.[6]

Makna hadis:

Kedua hadis tersebut diriwayatkan oleh Anas bin Mālik raḍiyallāhu ‘anhu tentang peristiwa yang pernah terjadi pada masa Rasulullah ﷺ masih hidup, di masjid Nabi ﷺ. Suatu ketika, saat ikamah telah dikumandangkan, tiba-tiba ada seseorang yang hadir mengajak Rasulullah ﷺ berbicara serius secara empat mata hingga para shabat yang lain tertidur dalam duduk mereka seraya menunggu beliau mengimami salat.

Anas bin Malik raḍiyallāhu ‘anhu juga menceritakan peristiwa lain yang kerap terjadi di Masjid Nabawi, orang-orang terkadang menunggu salat Isya dilaksanakan hingga dagu-dagu mereka menyentuh dada-dada mereka dan keadaan ini disebutkan untuk menggambarkan bahwa mereka tertidur dalam duduknya. Mereka kemudian salat tanpa mengulangi wudunya.

Faedah dan istinbat dari hadis:

  1. Jika seseorang tertidur dengan posisi duduk, wudunya tidak batal,[7] meskipun sebagian ulama memahaminya sebagai tidur yang ringan atau tidak pulas.
  2. Fikih dari hadis tersebut adalah bahwa mata yang mengantuk (tidur) bukanlah hadas, melainkan kondisi tidur adalah suatu keadaaan dan sifat yang secara umum memungkinkan seseorang berhadas dan wudunya batal tanpa dia sadari.[8]
  3. Bolehnya berbicara secara rahasia (empat mata) jika hal tersebut dilakukan di hadapan orang banyak orang karena yang dilarang adalah berbicara hanya berdua saja secara rahasia di hadapan satu orang lain yang hadir.
  4. Diperbolehkan berbicara setelah ikamah dikumandangkan, terkhusus untuk urusan yang penting, namun makruh hukumnya jika untuk perkara yang tidak penting.
  5. Hadis ini memberikan iktibar untuk mendahulukan suatu urusan yang sangat penting atau lebih penting terutama ketika harus memilih dan tidak bisa dilaksanakan secara bersamaan. Hal ini karena Nabi ﷺ berbicara dengan orang tersebut secara khusus dan empat mata saja tentang urusan agama yang sangat penting dan maslahat yang jelas, bahkan dengan menunda pelaksanaan salat sementara waktu.[9]
Baca juga:  BAB SIWAK

Footnote:

[1] Ibnu Baṭṭāl. Op. Cit. Jilid 1, hlm. 219.

[2] Al-Nawawī. Al-Minhāj. Jilid 4, hlm. 73.

[3] H.R. Muslim (376).

[4] HR. Abu Daud (200).

[5] Badruddin Al-Aini. Syarah Sunan Abi Daud. Jilid 1, hlm 460.

[6] Al-Khatthabi. Ma’alim as-Sunan. Jilid 1, hlm 72.

[7] Ibnu ‘Abdil Bār. Al-Istiżkār. Jilid 1, hlm. 151.

[8] Ibnu ‘Abdil Bār. Al-Istiżkār. Jilid 1, hlm. 151.

[9] Badruddīn al-Ainī. Syaraḥ Sunan Abī Dāud. Jilid 1, hlm. 460.

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments