Daftar Isi:
REDAKSI HADIS:
عن أَبي أيوب رضي الله عنه: أنَّ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم قَالَ: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أتْبَعَهُ سِتّاً مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْر
“Dari Abu Ayyub Al-Anshari raḍiyallāhu ‘anhu, Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Barang siapa yang berpuasa Ramadan, kemudian menyambungnya dengan berpuasa enam hari di Bulan Syawal, maka pahalanya seperti puasa satu tahun.’”
TAKHRIJ HADIS:
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim (1164), dan Abdurrazzaq (7918, 7919), dan Ahmad (23533), dan al-Nasai di al-Sunan al-Kubra (2875), dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (9816), dan Ibnu Khuzaimah (2338), semuanya dari jalur Sa’ad bin Sa’ īd bin Qais al-Anshāri, dari Umar bin Ṡābit al-Khazraji, dari Abu Ayyub al-Anshāri, secara marfuk dari Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam.
Jalur periwayatan di atas diselisihi oleh Sufyan bin ‘Uyainah sebagaimana diriwayatkan oleh al-Humaidi di dalam musnadnya (380) yang meriwayatkan hadis ini secara maukuf lewat jalur Sa’ad bin Sa’īd bin Qais al-Anshāri, dari Umar bin Ṡābit Al-Khazraji, dari Abu Ayyub al-Anshāri.
Al-Humaidi bertanya kepada Sufyan, “Para perawi hadis meriwayatkan hadis ini secara marfuk?” Sufyan menjawab, “Diamlah, saya telah mengetahuinya.”[1]
Yang terkuat dari jalur periwayatan di atas adalah jalur yang marfuk sebab diriwayatkan oleh banyak perawi dari Sa’ad bin Sa’ īd bin Qais al-Anshāri, dan mayoritas perawi tersebut berpredikat ṣiqāt (para perawi yang terpercaya) dan huffaẓ (para perawi yang kuat hafalannya).
Dalam riwayat Ṡaubān raḍiyallāhu ‘anhu ada tambahan redaksi, yaitu,
جَعَلَ اللهُ الحَسَنَةَ بِعَشْرٍ، فَشَهْرٌ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ، وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ فَذَلِكَ تَمَامُ صِيَامِ السَّنَةِ
“Allah melipat gandakan (pahala) kebaikan dengan sepuluh kali lipat, berpuasa selama sebulan (di Bulan Ramadan) setara dengan berpuasa 10 bulan, dan berpuasa enam hari setelah hari raya idulfitri menyempurnakan menjadi setahun.”
PROFIL SAHABAT:
Abu Ayyub al-Anshari adalah sahabat yang lebih populer dengan kuniyah-nya, adapun nama beliau adalah Khalid bin Zaid bin Kulaib al-Khazraji Al-Badri.
Beliau adalah salah seorang sahabat Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam yang memiliki banyak keutamaan, di antaranya beliau ikut berpartisipasi dalam Baiat Aqabah, dan turut serta dalam Perang Badar dan peperangan-peperangan yang lainnya, dan di antara kemuliaan yang beliau dapatkan adalah ketika Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam menginap di rumahnya di awal hijrah beliau ke Kota Madinah sebelum Masjid Nabawi dibangun.[2]
Selain itu beliau adalah seorang yang menebarkan hadis-hadis Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam. Dalam Musnad Baqi bin Makhlaṭ, beliau meriwayatkan 155 hadis dari Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam.[3]
Beliau wafat pada tahun 50 H atau tahun 51 H atau tahun 52 H.
PENJELASAN HADIS:
Sabda Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ
“Barang siapa yang berpuasa Ramadan.”
Zahir dari hadis ini bahwa keutamaan dari berpuasa enam hari di Bulan Syawal yang dikandung hadis di atas dapat diperoleh dengan berpuasa di Bulan Ramadan secara sempurna, kemudian disambung dengan berpuasa enam hari di Bulan Syawal. Berpijak pada interpretasi ini maka seseorang yang memiliki utang puasa harus mengganti puasa tersebut sebelum melaksanakan puasa enam hari di Bulan Syawal, dan ini merupakan salah satu pendapat para ulama.[4]
Sebagian ulama membolehkan melaksanakan puasa sunah sebelum mengganti utang puasa Bulan Ramadan. Ibnu Rajab mengatakan bahwa itu adalah pendapat mayoritas ulama,[5] di antara alasannya adalah karena mengganti utang puasa Bulan Ramadan waktunya lapang dan luas, adapun melaksanakan puasa Bulan Syawal waktunya sempit, maka ibadah yang waktunya sempit boleh didahulukan daripada ibadah yang waktunya lapang. Oleh karena ibunda kaum muslimin Aisyah radiyallāhu ‘anha mengatakan,
كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلَّا فِي شَعْبَانَ. قَالَ يَحْيَى الشُّغْلُ مِنْ النَّبِيِّ أَوْ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Dahulu saya memiliki utang puasa di Bulan Ramadan, dan saya tidak bisa menggantinya kecuali di Bulan syakban.” Yahya (perawi hadis) mengatakan, “Hal itu disebabkan karena kesibukannya melayani Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam.”[6]
Nampaknya hal di atas terjadi pada zaman Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam masih hidup, dan nampaknya tidak ada teguran dari Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam terhadap sang istri yang tercinta, dan hampir mustahil Aisyah radiyallāhu ‘anha melalaikan dan meninggalkan puasa enam hari di Bulan Syawal.
Menurut penulis, pendapat kedua ini lebih kuat, lebih mudah, dan lapang bagi mayoritas umat, meskipun afdalnya adalah mendahulukan mengganti utang puasa di Bulan Ramadan sebelum melaksanakan puasa enam hari di Bulan Syawal.
Sabda Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam,
ثُمَّ أتْبَعَهُ سِتّاً مِنْ شَوَّالٍ
“Kemudian menyambungnya dengan berpuasa enam hari di Bulan Syawal.”
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Lebih afdal jika dilaksanakan puasa enam hari secara berturut-turut setelah hari raya idul fitri, namun jika pelaksanaannya dipisah-pisah atau pelaksanaannya ditunda sampai di akhir-akhir Bulan Syawal, maka tetap berhak mendapat keutamaan di atas, sebab masih dalam kategori menyambung puasa enam hari di Bulan Syawal.”[7]
Hadis ini merupakan nas bahwa keutamaan di atas diperoleh hanya dengan berpuasa enam hari di Bulan Syawal, dan tidak berlaku jika dilaksanakan di bulan yang lainnya, maka puasa enam hari di Bulan Syawal termasuk puasa yang muqayyad (terikat) dengan waktu yaitu Bulan Syawal, jika seseorang tidak dapat melaksanakannya di Bulan Syawal, maka tidak perlu diganti di bulan yang lainnya.
Sabda Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam,
كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْر
“Maka pahalanya seperti puasa satu tahun.”
Redaksi hadis di atas memiliki dua makna:[8]
Yang pertama: pahalanya seperti puasa seumur hidup.
Kedua: pahalanya seperti puasa satu tahun.
Makna yang kedua lebih kuat dibandingkan dengan makna yang pertama.
Yang dimaksud dengan pahala puasa selama setahun dalam hadis ini adalah pahala puasa wajib selama setahun,[9] dan bukan pahala puasa sunah, sebab pahala puasa sunah selama setahun dapat diperoleh dengan melaksanakan puasa tiga hari setiap bulan, yang lebih populer dengan istilah puasa ayyāmu al-bīḍ.
Adapun faktor penyebab dari keutamaan di atas disebabkan karena pahala amalan dilipatgandakan sebanyak sepuluh kali lipat, sebagaimana dijelaskan dalam hadis Ṡaubān di atas.
FIKIH HADIS:
1. Hadis ini adalah dalil bagi disyariatkannya puasa enam hari Bulan Syawal. Ini adalah pendapat mayoritas para ulama.[10] Sebagian ulama berpendapat bahwa puasa tersebut hukumnya makruh, ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Imam Malik. Imam Malik mengatakan bahwa beliau tidak menjumpai para ulama melaksanakan ibadah puasa enam hari Bulan Syawal pada zamannya, dan juga beliau khawatir masyarakat menganggap ibadah tersebut hukumnya wajib. Namun pendapat yang lebih kuat adalah pendapat mayoritas ulama yaitu sunahnya puasa enam hari di Bulan Syawal, karena telah valid hadis dari Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam, maka tidak ditinggalkan hadis hanya dikarenakan dugaan-dugaan belaka.[11]
2. Teknispelaksanaan puasa ini dapat dilakukan dengan cara berpuasa berturut-berturut maupun dengan berpisah-pisah, yang terpenting harus dilakukan sebelum Bulan Syawal berakhir.
3. Puasa enam hari di Bulan Syawal dapat dikerjakan sebelum mengganti utang puasa Ramadan, meskipun lebih afdalnya adalah mendahulukan mengganti puasa Ramadan sebelum mengerjakan puasa di Bulan Syawal.
4. Hikmahdari disyariatkannya puasa ini adalah,[12]
- Menyempurnakan pahala puasa Ramadan, sebab di antara fungsi dari ibadah sunah adalah menyempurnakan cacat dari ibadah-ibadah wajib.
- Puasa Bulan Syakban dan Syawal sama kedudukannya dengan salat rawatib qabliyah dan bakdiyah dalam ibadah salat.
- Kemudahan seseorang dalam melaksanakan ibadah puasa Syawal diharapkan menjadi indikasi diterimanya puasa Ramadannya dan tanda bagi kualitas ibadah puasanya.
- Puasanya di Bulan Syawal adalah bentuk ungkapan syukur seorang hamba kepada Allah azza wajalla, sebab Allah telah mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dengan berpuasa di Bulan Ramadan, maka kesyukuran atas kenikmatan itu diwujudkan dengan beribadah kepada Allah.
5. Pensyariatan puasa di Bulan Syawal ini menunjukkan bahwa ibadah seorang hamba tidak berakhir dengan berakhirnya Bulan Ramadan, namun amalan seorang hamba berakhir dengan datangnya ajalnya.
Footnote:
[1] Musnad Al-Humaidi hal. 188.
[2] Al-Ishabah fi Tamyizi Al-Shahabah (2/234).
[3] Siyar A’lami Al-Nubala` (2/403).
[4] Al-Durūs al-Fiqhiyah Mina Al-Muhādharāt al-J ā mi’iyah karya Syekh Muhammad bin Shalih Utsaimin (2/84-85), https://binbaz.org.sa/fatwas/4490/
[5] Fathul Bari karya Ibnu Rajab al-Hanbali (3/366).
[6] Muttafaqun ‘alaihi.
[7] Al-Minhāj Syarh Ṣahīh Muslim (8/56).
[8] I’ānatu al- Ṭālibin karya Abu Bakar Al-Dimyāti (2/268).
[9] Idem.
[10] Laṭāifu al-Ma’ārif, hal. 244.
[11] Al-Minhāj Syarh Ṣahīh Muslim (8/56).
[12] Laṭāifu al-Ma’ārif karya Ibnu Rajab.