Faedah Kesebelas: Di antara perkara bidah di Bulan Rajab: Salat Raghaib. Salat ini dikerjakan pada awal Malam Jumat pertama Bulan Rajab yang terdiri dari 12 rakaat, dikerjakan antara Salat Magrib dan Isya, yang didahului dengan puasa Hari Kamis, yaitu Kamis pertama Bulan Rajab.
Ibadah ini merupakan bidah buruk lagi mungkar. Para ulama memperingatkan agar tidak mengerjakannya, dan hadis-hadis yang diriwayatkan tentangnya adalah hadis dusta nan palsu, dan tidaklah terdapat riwayat bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah mengerjakannya, juga tidak ditemukan dari kalangan sahabat beliau, bahkan tidak juga tabiin dan imam-imam kaum muslimin.(1)
Faedah Kedua Belas: Juga yang termasuk ke dalam perkara bidah adalah: Salat yang dikenal dengan nama “Ummu Daud”, dikerjakan di pertengahan Bulan Rajab.
Faedah Ketiga Belas: Diriwayatkan bahwa telah terjadi beberapa peristiwa yang sangat penting di Bulan Rajab, namun tidak ada satu pun dari berita ini yang benar. Di antara peristiwa ini adalah dikatakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam lahir pada malam pertama di Bulan Rajab, dan bahwa beliau diutus pada tanggal 27 atau 25 di bulan ini, akan tetapi tidak satu pun dari hal ini yang benar.(2)
Faedah Keempat Belas: Tidak terdapat riwayat yang valid menyebutkan bahwa peristiwa Isra Mikraj terjadi di Bulan Rajab, atau pada tanggal ke-27 di bulan ini, bahkan terdapat banyak perbedaan pendapat tentangnya, dan sangat banyak dari ulama yang melemahkan pendapat bahwa peristiwa itu terjadi di Bulan Rajab.(3) Bahkan, jika saja benar demikian, maka tetap saja tidak dibenarkan mengkhususkan malam ke-27 dari Bulan Rajab untuk dijadikan sebagai perayaan atau dengan menambahkan ibadah tertentu di malam itu karena semua perkara ini merupakan bidah, karena tidak adanya riwayat yang valid tentang perkara ini yang datang dari Rasulullah shallallah alaihi wasallam, dan tidak pernah dikerjakan oleh kaum salaf, baik dari sahabat maupun tabiin, karena jika ia adalah perkara yang baik, tentunya mereka akan mendahului kita dalam mengerjakannya.
Faedah Kelima Belas: Di antara kebidahan lain di Bulan Rajab:
- Mengkhususkan sedekah untuk orang yang telah meninggal di Bulan Rajab;
- Mengkhususkan ziarah kubur di Bulan Rajab, padahal ziarah itu seharusnya di waktu apa saja dalam sepanjang tahun;
- Mengkhususkan doa atau zikir tertentu yang dibuat-buat;
- Keyakinan bahwa menziarahi Masjid Nabawi di Bulan Rajab memiliki keutamaan tertentu, dan menamakan ziarah ini dengan “al–ziarah al–rajabiyah” atau “Ziarah Rajab”
- Mengkhususkan Bulan Rajab dengan mengeluarkan zakat harta yang tidak dilakukan di bulan selainnya, akan tetapi yang benar adalah dengan mengeluarkan zakat harta di bulan apa saja jika sudah mencapai haul pada saat kadar nisabnya telah terpenuhi.
Faedah Keenam Belas: Al-‘Atirah (al-Rajabiyyah), sembelihan yang disembelih oleh orang jahiliah di Bulan Rajab. Mereka menjadikan itu sebagai sunah (kebiasan –pen.) seperti sembelihan hewan kurban di hari raya.(4)
Para ulama telah bersilang pendapat akan hukum dari ‘atirah ini, dan pendapat yang sahih adalah bahwa konsekuensi hukum paling ringan dari perbuatan ini adalah al–karahah (hukumnya makruh), karena Islam telah membatalkan perbuatan ini dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam,
لَا َفَرَعَ وَلَا عَتِيْرَةَ
Artinya, “Tidak ada (dalam syariat Islam –pen.) fara’ dan tidak ada ‘atirah.”
Imam al-Zuhri rahimahullahu ta’ala berkata, “Al-Fara’ adalah anak unta yang pertama lahir yang dijadikan sembelihan mereka untuk berhala mereka, dan ‘atirah di Bulan Rajab.” (5)
Kemakruhan itu menjadi lebih tegas jika hewan disembelih di awal Rajab, karena sesungguhnya jiwa itu condong kepada perkara-perkara seperti ini, sehingga bisa saja kemudian Bulan Rajab itu menjadi seperti bulan kurban pada Bulan Zulhijah, dan semakin banyak manusia yang mengikutinya, kemudian ia akhirnya menjadi pemandangan lazim dan syiar dari syiar-syiar ibadah, dan tidak diragukan lagi bahwa perkara ini sangatlah berbahaya.(6)
Faedah Ketujuh belas: Siapa saja yang hendak menyembelih atas nama Allah, maka hendaknya ia menyembelih di bulan apa saja yang ia kehendaki tanpa mengkhususkannya di Bulan Rajab, karena dalam sebuah hadis, diriwayatkan bahwa seorang laki-laki di Mina memanggil dengan suara lantang, ia berkata, ”Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami pernah mengerjakan ‘atirah (menyembelih) di zaman jahiliah pada Bulan Rajab, maka apa yang engkau perintahkan kepada kami? Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersada, “Menyembelihlah di bulan apa saja, dan berbuat kebajikanlah kepada Allah, dan berilah manusia makan!”(7)
Faedah Kedelapan Belas: Siapa saja yang menyembelih hewan di Bulan Rajab atau menyembelih anak unta karena dorongan hajat atau dengan niat bersedekah, atau dengan maksud bersedekah untuk dirinya dan keluarganya maka hal ini tidaklah dibenci, akan tetapi dengan syarat ia tidak menamai perbuatannya dengan ‘atirah.
Faedah Kesembilan Belas: Rajab Ibarat permulaan yang mengantarkan kepada Ramadan, maka selayaknya kita membuat persiapan dan perancangan yang matang untuk menyambut Ramadan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakar al-Balkhi rahimahullahu ta’ala, ”Bulan Rajab adalah bulan menanam, sedangkan Bulan Syakban adalah bulan untuk menyiram tanaman tersebut, dan Bulan Ramadan adalah bulan memanen apa yang telah ditanam.”
Beliau juga berkata, ”Permisalan Bulan Rajab itu bak angin, Bulan Syakban seperti awan, sedangkan Ramadan adalah hujannya.(8) Maka siapa saja yang tidak menanam di Bulan Rajab, dan tidak menyiram tanaman di Bulan Syakban, maka bagaimana mungkin dia bisa memanen di bulan Ramadan?”
Faedah Kedua Puluh: Hadis yang menyebutkan doa, “Ya Allah berkahilah kami di Bulan Rajab dan Syakban, serta pertemukanlah kami dengan Bulan Ramadan” adalah hadis lemah dan tidak sahih. Telah dilemahkan oleh al-Nawawi, Ibn Rajab, Albani, dan selain dari mereka.(9)
Semoga Allah senantiasa memberikan taufik-Nya kepada kita untuk mengikuti sunah-sunah nabi-Nya, dan kepada perbuatan yang Dia cintai dan ridai, serta menjauhkan kita dari perkara bidah dan perbuatan menambah-nambah dalam agama.
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin.
Footnote:
(1) Lihat: Al-Majmu’ karya al-Nawawi (3/ 458), Syarah Sahih Muslim karya al-Nawawi juga (8/ 20), Majmu’ al-Fatawa (23/ 134), dan al-Manar al-Munif, karya Ibn al-Qayyim (hal. 96).
(2) Lihat: Lathaif al-Ma’arif karya Ibn Rajab (hal. 121).
(3) Lihat: Al-Ba’its ‘ala Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits karya Abu Syamah (hal. 74), Fathu al-Bari (7/ 203), dan Lathaif al-Ma’arif (hal. 121).
(4) Lihat: Al-Mughni, karya Ibn Qudamah (9/ 464).
(5) H.R Bukhari, no. 5474 dan Muslim, no. 1976.
(6) Al-Syarhu al-Mumti’ (7/ 325).
(7) H.R Abu Daud, no. 4229, al-Nasa’i, no. 2830, dan Ibnu Majah, no. 3167, serta disahihkan oleh Albani.
(8) Lathaif al-Ma’arif, hal 121
(9) Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam kitabnya al-Zawaid ala al-Musnad (no. 2346), dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman (no. 3534). Lihat: Al-Adzkar karya Imam Nawawi, (hal 189), Lathaif al-Ma’arif (hal 121), dan Dhaif al-Jami’ (no. 4395).