REDAKSI HADIS:
عَنْ مُعَاوِيَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:((مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ))
Dari Mu’awiyah radiyallahu ‘anhu dia berkata, “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, maka Allah menjadikannya paham dalam perkara agama.’”
Daftar Isi:
TAKHRIJ HADIS:
Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari (71) dan Muslim (1037) dari jalur Ibnu Syihab, dari Humaid bin Abdurrahman bin ‘Auf, dari Mu’awiyah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hadis ini diriwayatkan oleh Mu’awiyah ketika beliau sedang berkhotbah.
PROFIL SAHABAT:[1]
Beliau adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan Shakhr bin Harb, Abu Abdurrahman al-Qurasyi al-Umawi, dilahirkan lima tahun sebelum diutusnya nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi Nabi.
Beliau masuk Islam sejak peristiwa Perjanjian Hudaibiyah, namun beliau merahasiakan keislamannya karena ada ancaman dari ibunya sampai datang peristiwa Fathu Mekkah maka beliau kemudian menampakkan keislamannya.
Beliau adalah ipar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebab saudarinya Ummu Habibah bintu Abi Sufyan adalah salah satu Istri Rasulullah. Di antara keistimewaan beliau adalah predikatnya sebagai juru tulis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, baik dalam penulisan wahyu maupun penulisan surat-surat.
Beliau didaulat menjadi Gubernur Syam pada zaman Umar bin Khattab dan dilanjutkan sampai masa pemerintahan Utsman bin Affan, dan kemudian beliau menjadi Khalifah setelah berdamai dengan Hasan bin Ali bin Abi Thalib, kemudian kaum muslimin sepakat membaiatnya, sehingga tahun tersebut disebut ‘aam al-jamaah’ (tahun persatuan). Beliau adalah khalifah pertama pada masa Daulah Umayyah. Beliau merupakan salah ulama pada zamannya. Abdullah bin Abbas radiyallahu ‘anhuma menjuluki beliau dengan predikat fakih. Beliau wafat pada tahun 60 H.
PENJELASAN HADIS:
Sangat banyak nas-nas yang memaparkan tentang keutamaan ilmu agama, keutamaan penuntutnya, keutamaan menuntut dan mendakwahkannya, serta keutamaan para ahli ilmu. Semua itu adalah indikasi yang sangat gamblang tentang keutamaan ilmu agama tersebut, dan di antara nas tersebut adalah hadis yang kita bahas ini.
- Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا
“Siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya…”
Lafaz man (siapa) di dalam redaksi hadis termasuk lafaz umum, maka semua personal manusia inklusif dalam hadis ini, baik laki-laki, perempuan, besar, kecil, tua ataupun muda.
Adapun sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam يُرِدْ اللَّهُ بِهِ (Allah kehendaki baginya) adalah kehendak syar’i atau kehendak yang selaras dengan cinta Allah. Jadi dalam perspektif kehendak syar’i, obyek yang dikehendaki selaras dengan cinta Allah dan sesuai dengan syariat.[2] Maka obyek yang dikehendaki oleh Allah dalam perspektif iradah syar’iyah dapat menjadi ritual ibadah, dan dalam hadis ini adalah proses menuntut ilmu.
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam خَيْرًا (kebaikan), kebaikan yang dijanjikan oleh hadis ini umum, bisa mencakup kebaikan di dunia dan di akhirat, sebab redaksi di atas masuk dalam kaedah lafaz nakirah di dalam redaksi kalimat syarat maka bermakna umum, dan di antara fungsi lafaz nakirah dalam Bahasa Arab adalah untuk mengagungkan,[3] sehingga dapat memberikan makna kebaikan yang sangat banyak atau kebaikan yang agung.[4]
Imam al-Nawawi mengisyaratkan bahwa sisi kebaikan ilmu agama disebabkan karena ilmu tersebut dapat memandu seseorang menuju ketakwaan.[5]
Sedangkan Ibnu Taimiyah mengatakan:
كل من أراد الله به خيرا فلا بد أن يفقهه في الدين، فمن لم يفقهه في الدين لم يرد به خيرا وليس كل من فقهه في الدين قد أراد به خيرا، بل لا بد مع الفقه في الدين من العمل به فالفقه في الدين شرط في حصول الفلاح
“Semua yang Allah kehendaki kebaikan baginya, pasti Allah pahamkan dalam masalah agama, maka orang yang tidak dipahamkan dalam masalah agama, berarti tidak dikehendaki kebaikan bagi, dan tidak semua orang yang dipahamkan dalam masalah agama pasti dikehendaki kebaikan baginya, namun (yang dikehendaki kebaikan) orang yang paham agama dan dibarengi dengan amalan….”[6]
- Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Maka Allah menjadikannya paham dalam perkara agama”
Lafaz yufaqqihhu fid din maksudnya adalah menjadikan orang tersebut sebagai seorang ulama yang memahami agama dan luas ilmunya dalam perkara tersebut. Kata fiqh dalam Bahasa Arab bermakna paham, yang dimaksud dalam hadis ini adalah memahami al-Quran dan sunah, dan hal ini mencakup ilmu dalam perkara akidah, dalam perkara hukum-hukum syar’i, dan mencakup juga ilmu sarana, seperti ilmu terkait Bahasa Arab dan sebagainya.[7]
Kalimat fakih menurut perspektif ulama salaf bukan sekedar orang yang luas ilmu agamanya semata, namun juga mencakup orang yang zuhud dalam kehidupan dunia, berpacu untuk kehidupan akhirat, dan rajin beribadah kepada Rab-nya.[8]
FIKIH HADIS:
- Hadis ini menunjukkan keutamaan para ulama dan para penuntut ilmu bahwa mereka adalah orang yang Allah kehendaki kebaikan bagi mereka.
- Hadis ini menunjukkan bahwa kebaikan dan kebahagiaan dunia dan akhirat, salah satunya dapat diperoleh dengan memperdalam ilmu agama.
- Hadis ini juga menunjukkan keutamaan ilmu agama dibandingkan dengan ilmu yang lainnya.
- Mafhum mukhalafah (kesimpulan terbalik) dari hadis ini bahwa orang yang enggan untuk menuntut ilmu agama dan mengabaikannya, padahal dia memiliki kesempatan dan kemampuan untuk menuntutnya, dan dia juga membutuhkan ilmu tersebut adalah tanda bahwa dia terhalang dari kebaikan yang sangat besar. Ini diisyaratkan dalam hadis Mu’awiyah juga, yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la dengan sanad yang lemah,
وَمَنْ لَمْ يَتَفَقَّهْ فِي الدِّيْنِ لَمْ يُبَالِ اللهُ بِهِ
“Dan bagi siapa yang tidak belajar ilmu agama, maka Allah tidak peduli kepadanya.”[9]
- Lafaz yufaqqihhu (menjadikan dia paham) menunjukkan bahwa yang menganugerahkan pemahaman dalam ilmu agama dan memberikan taufik dalam kesuksesan menuntut ilmu adalah Allah semata, oleh karena itu di sebagian riwayat hadis disematkan tambahan lafaz,
وَإِنَّمَا أَنَا قَاسِمٌ، وَاللَّهُ يُعْطِي
“Sesungguhnya saya (Nabi Muhammad) hanya sekedar menyampaikan (ilmu) sedangkan yang memberi (ilmu) adalah Allah semata.”[10]
Tentu saja, lafaz ini mempertegas kedudukan Allah azza wajalla yang sangat penting dalam memberikan taufik bagi hamba-hambanya ketika menuntut ilmu. Oleh karena itu, di antara sifat yang harus menghiasi seorang penuntut ilmu adalah banyak berdoa kepada Allah untuk diberikan ilmu yang bermanfaat sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
- Hadis ini merupakan berita gembira bagi penuntut ilmu agama yang menyibukkan diri dengan belajar, mengkaji, memahami, dan mengamalkan ilmu agama.
- Hadis ini tidak berkonsekuensi celaan bagi penuntut ilmu umum seperti kedokteran, matematika, fisika dan lain sebagainya, namun perkara tersebut inklusif dalam kaidah wasilah (sarana), bahwa (ilmu) yang menjadi sarana kebaikan maka ia baik, misalnya orang yang belajar kedokteran dengan niat untuk memberikan manfaat dan maslahat kepada kaum muslimin dan manusia, maka orang tersebut dapat memperoleh pahala.[11]
Footnote:
[1] Tahdzibul Kamal (28/176-179), al-Ishabah Fi Tamyiz al-Shahabah (6/151).
[2] Minhatul ‘Allam (10/324).
[3] Idem.
[4] Irsyadu al-Sari (1/170).
[5] Al-Minhaj (7/128).
[6] Al-Shafadiyah (2/266).
[7] Minhatul ‘Allam (10/324-325).
[8] Ucapan al-Hasan al-Basri sebagaimana dikutip oleh Imam Ahmad di dalam kitab al-Zuhd (327).
[9] Dikutip dari Fathul Bari (1/165). Dan Ibnu Hajar mengomentari hadis tersebut dengan mengatakan “maknanya benar.”
[10] Shahih al-Bukhari (71).
[11] https://saadalkhathlan.com/2096.