الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali ‘Imran: 191)
عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْه قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَثَلُ الَّذِي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لاَ يَذْكُرُ رَبَّهُ، مَثَلُ الحَيِّ وَالمَيِّتِ.
Abu Musa Al-Asy’ary radhiyallahu ‘anhu berkata bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Permisalan orang yang menyebut Allah dan yang lalai dari-Nya ialah permisalan orang yang hidup dan orang yang telah mati.”[1]
⁕⁕⁕
Dzikrullah atau menyebut Allah sangat banyak jenis dan macamnya. Akan tetapi jika ingin digeneralisir, maka ia terbagi ke dalam dua jenis sebagaimana diriwayatkan dari Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu. Pertama, bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan menjalankan perintah-Nya dan meninggalkan seluruh larangan-Nya, hal ini sejatinya adalah dzikrullah. Kedua, dzikrullah dengan lisan seorang hamba. Kedua-duanya adalah amalan kebajikan yang diganjar pahala di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.
Orang yang mengingat Allah subhanahu wa ta’ala dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya lebih mulia dibandingkan seorang yang mengingat Allah dengan lisannya namun di saat yang sama dia juga melanggar perintah dan mengerjakan larangan-Nya. Kedudukan yang tertinggi ialah orang yang sanggup menggabungkan keduanya, antara takwa dan dzikrullah dengan lisannya.
Dzikrullah adalah ibadah yang sangat agung di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Karena keagungannya, Allah menciptakan golongan malaikat yang secara khusus ditugaskan untuk mencari-cari orang yang terpaut pada dzikrullah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ لِلَّهِ مَلاَئِكَةً يَطُوفُونَ فِي الطُّرُقِ يَلْتَمِسُونَ أَهْلَ الذِّكْرِ، فَإِذَا وَجَدُوا قَوْمًا يَذْكُرُونَ اللَّهَ تَنَادَوْا: هَلُمُّوا إِلَى حَاجَتِكُمْ، قَالَ: فَيَحُفُّونَهُمْ بِأَجْنِحَتِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا.
Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala memiliki malaikat-malaikat yang berkelana di jalan-jalan mencari ahli zikir. Jika mereka telah mendapatkan sekelompok orang yang berzikir kepada Allah, mereka saling mengajak, “Kemarilah kepada hajat kamu!” Maka para malaikat mengelilingi orang-orang yang berzikir dengan sayap mereka hingga ke langit dunia.”[2]
Keutamaan lainnya bahwa dzikrullah adalah satu di antara beberapa ibadah yang Allah perintahkan untuk diperbanyak. Allah berfirman,
وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan sebutlah nama Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.”[3]
Dzikrullah merupakan pertanda taufik dari Allah subhanahu wa ta’ala. Mengapa? Sebab ia adalah ibadah yang tak membebani seseorang sedikit pun, tidak harta, pikiran, maupun tenaga. Oleh karena itu, hal ini sudah cukup menjadi pembeda yang sangat nampak antara hamba Allah dan hamba dunia. Bahkan lebih jelas lagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan permisalan antara seorang yang mengingat Allah dan orang yang lalai dari-Nya ibarat orang yang hidup di tengah orang yang telah mati.
At-Thibi rahimahullah menjelaskan bahwa permisalan orang yang mengingat Allah subhanahu wa ta’ala ibarat orang yang hidup karena dia telah berhias dengan cahaya kehidupan, beramal dengan ketaatan, yakin akan ilmu dan makrifatullah sehingga hatinya menjadi mantap dan kokoh. Sedangkan permisalan orang yang lalai dari Allah ibarat orang yang telah mati karena batinnya kosong akan Allah maka zahirnya menjadi membangkang kepada-Nya.[4]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah juga menambahkan bahwa maksud permisalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut karena orang yang hidup akan memberikan manfaat kepada siapa yang dicintainya, sebagaimana dia sanggup memberi mudarat kepada siapa yang memusuhinya. Demikian halnya orang yang senantiasa mengingat Allah subhanahu wa ta’ala.[5]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda bahwasanya Allah berfirman dalam hadis qudsi-Nya:
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي، فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ.
Aku sebagaimana persangkaan hamba kepada-Ku, dan Aku akan bersamanya jika dia mengingat-Ku. Apabila dia menyebut-Ku dalam dirinya maka Aku menyebutnya dalam diri-Ku, dan bila dia menyebut-Ku dalam keramaian maka Aku akan menyebutnya dalam keramaian yang lebih mulia.[6]
Inilah makna manusia yang hidup di tengah orang-orang yang telah mati. Dia hidup karena Allah azza wajalla mengingatnya, menyebut namanya, dan bangga kepada hamba-Nya. Dia hidup karena Allah Yang Maha Hidup telah bersamanya. Olehnya, jika engkau hendak mengetahui kedudukanmu di sisi Allah, maka carilah kedudukan Allah subhanahu wa ta’ala di sisimu.
Footnote:
[1] HR. Bukhari nomor 6407.
[2] HR. Bukhari nomor 6408.
[3] QS. Al-Anfal ayat 45.
[4] Syarhul Misykat 5/1722.
[5] Fathul Bari 11/211.
[6] HR. Bukhari nomor 7405 dan Muslim nomor 2675.