Ada sebuah hadis yang menjadi salah satu dari hadis-hadis yang menjadi poros keislaman. Bahkan Imam al-Nawawi mengatakan, “Hadis itu adalah hadis yang memiliki kedudukan yang agung. Islam berporos di atas hadis ini.”[1] Jika ajaran Islam diibaratkan sebuah roda maka hadis ini adalah titik porosnya. Hadis itu adalah sebagai berikut.
عَنْ أَبِيْ رُقَيَّةَ تَمِيْم بْنِ أَوْسٍ الدَّارِيِّ رضي الله عنه أَنَّ النبي ﷺ قَالَ: الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، قُلْنَا: لِمَنْ يَا رَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ: للهِ، ولكتابه، ولِرَسُوْلِهِ، وَلأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ، وَعَامَّتِهِمْ. رواه مسلم
Dari Abū Ruqayyah Tamīm bin Aus al-Dārī radhiyallāhu ‘anhu bahwa Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya agama ini adalah nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan orang-orang awam (rakyat) mereka.” (HR. Muslim)[2]
Muhammad al-Thūsī memandang bahwa hadis ini adalah seperempat agama Islam. Al-Nawawi menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah bahwa hadis ini adalah satu dari empat hadis yang mengumpulkan perkara-perkara keislaman. Namun demikian, beliau tidak sepakat dengan hal tersebut. Beliau memandang bahwa perkara keislaman terkumpul dalam hadis ini sebagaimana yang telah disebutkan di atas.[3]
Daftar Isi:
Apa Itu Nasihat?
Jika dilihat dari sudut pandang bahasa Arab, kata النصيحة bermakna memurnikan. Dari sudut pandang terminologi, nasihat adalah sebuah kata yang mencakup makna menginginkan kebaikan bagi objek tertentu.
Dalam bahasa Indonesia, kata ‘nasihat’ yang merupakan serapan dari bahasa Arab memiliki dua makna:
- Ajaran atau pelajaran baik; anjuran (petunjuk, peringatan, teguran) yang baik;
- Ibarat yang terkandung dalam suatu cerita dan sebagainya; moral: cerita itu mengandung — bagi kita sekalian.
Jika diperhatikan, terdapat perbedaan makna kata nasihat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Arab. Akan tetapi, makna pertama memiliki sedikit keterkaitan dengan terminologi nasihat dalam bahasa Arab. Mungkin akan lebih tepat jika kata nasihat dalam hadis tersebut diterjemahkan sebagai perhatian, yakni perhatian dalam bentuk yang positif.
Nasihat untuk Allah
Yang dimaksud nasihat untuk Allah adalah dengan mengesakan-Nya, memastikan diri ikhlas dalam beramal, berlepas diri dari kesyirikan; syirik besar maupun syirik kecil (baca: riya’), mengerjakan perintah dan menjauhi larangan-Nya, mencintai ketaatan dan orang-orang yang taat, membenci maksiat dan orang-orang yang bermaksiat. Intinya adalah mewujudkan dan menerapkan agama Allah dengan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Nasihat untuk Kitab Allah
Ibnu Daqīq al-Īd menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan nasihat kepada kitab Allah ialah dengan mengimani bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan-Nya. Tidak ada perkataan manusia yang serupa dengannya. Tidak ada satu makhluk pun yang mampu membuat yang semisalnya. Nasihat untuk kitab Allah juga dengan mengagungkannya, membacanya dengan sebenar-benarnya, memperbagus bacaan tersebut, dibaca dengan penuh khusyuk, dan tepat menyebutkan huruf-hurufnya. Juga dengan mencegah penyimpangan makna yang keliru, membenarkan apa yang ada di dalamnya, mempelajarinya, menafakurinya, dan mengamalkan isinya.[4]
Nasihat untuk Rasul
Nasihat bagi rasul mengandung beberapa makna, yaitu:
- Takzim kepada beliau shallallāhu ‘alaihi wasallam. Menghormati sahabat, keluarga, dan ahli bait beliau shallallāhu ‘alaihi wasallam. Termasuk pula mencitai semua yang mencintai beliau dan membenci semua yang membenci beliau.
- Mengimani segala ajaran beliau shallallāhu ‘alaihi wasallam, taat dan mengamalkan syariat.
- Mempelajari sunah-sunah beliau. Tuntutan hidup yang beliau contohkan. Juga membela sunah beliau.
- Tidak berlebihan dalam memuji beliau. Jangan sampai rasa cinta yang membuncah kepada beliau menjadikan seorang muslim menisbahkan sifat-sifat yang hanya tepat untuk Allah kepada beliau. Beliau adalah hamba Allah dan utusan-Nya.
- Berusaha berakhlak seperti akhlak beliau dalam keseharian.
Nasihat untuk Pemimpin Kaum Muslimin
Dalam terminologi syariat, pemimpin kaum muslimin ada dua; umarā (penguasa) dan ulama.
Beberapa bentuk nasihat untuk golongan yang pertama adalah sebagai berikut.
- Taat kepada penguasa sebagai bagian pengamalan ajaran agama. Ketaatan seorang muslim kepada pemimpin/penguasa adalah ibadah. Seorang muslim tidak taat karena takut, lemah atau tidak berdaya. Namun perlu diingat bahwa ketaatan yang dimaksud tidak dalam rangka kemaksiatan kepada Allah. Suatu ketika Nabi membaiat para sahabat, Abdullah bin al-Shāmit berkata, “Di antara janji yang beliau ambil dari kami adalah agar kami berbaiat kepada beliau untuk senantiasa mendengar dan taat saat baik giat maupun malas dan saat kesulitan maupun kesusahan, lebih mementingkan urusan bersama, serta agar kami tidak mencabut urusan (kekuasaan) dari ahlinya kecuali jika melihat kekufuran yang terang-terangan, yang pada kalian mempunyai alasan yang jelas dari Allah.”[5] Dalam hadis lain, Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa menaatiku, sungguh dia telah menaati Allah, barang siapa bermaksiat kepadaku maka dia telah bermaksiat kepada Allah. Dan barang siapa menaati pemimpinku sungguh dia telah mentaatiku, barangsiapa bermaksiat kepada pemimpinku maka dia telah bermaksiat kepadaku.” Dalam riwayat yang lain, “Barang siapa menaati seorang pemimpin…[6]”
- Mengingatkan dan menasihati pemimpin dengan cara yang bijak dan santun. Pemimpin adalah manusia yang rentan lupa dan salah. Oleh sebab itu, seorang pemimpin hendaknya bisa membuka hati untuk menerima nasihat, terutama dari para ulama.
- Mendoakan pemimpin agar Allah memperbaiki dan membimbing mereka. Jika mereka baik maka kebaikan itu berdampak bagi rakyat.
Golongan yang kedua adalah para ulama. Bentuk nasihat kepada para ulama adalah sebagai berikut.
- Menjadikan ulama sebagai rujukan. Allah berfirman,
وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ اِلَّا رِجَالًا نُّوْحِيْٓ اِلَيْهِمْ فَسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَۙ
“Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad), melainkan orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (Surah al-Nahl ayat 43)
Allah juga menuntun agar para ulama dijadikan rujukan bila terjadi perbedaan pendapat. Simak firman Allah berikut.
وَاِذَا جَاۤءَهُمْ اَمْرٌ مِّنَ الْاَمْنِ اَوِ الْخَوْفِ اَذَاعُوْا بِهٖ ۗ وَلَوْ رَدُّوْهُ اِلَى الرَّسُوْلِ وَاِلٰٓى اُولِى الْاَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْۢبِطُوْنَهٗ مِنْهُمْ…. النساۤء/4: 83
“Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya. (Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri (ulama) di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)….” (Surah al-Nisa’ ayat 83)
- Mengormati dan memuliakan para ulama.
- Meluruskan jika terdapat kesalahan dalam fatwa, ceramah atau perilaku sehari-hari. Tentu saja dengan cara yang penuh adab dan penghormatan.
Nasihat untuk Seluruh Kaum Muslimin
Bentuk nasihat untuk seluruh kaum muslimin banyak sekali. Contohnya:
- Mengarahkan kaum muslimin kepada kebaikan dan maslahat. Memberikan pengajaran kepada kaum muslimin dan lain sebagainya.
- Mencintai kebaikan untuk kaum muslimin. Merasa sedih bila suatu musibah menimpa mereka. Merasa senang saat mereka senang.
- Menutupi aib kaum muslimin.
- Tidak membuat makar kepada mereka. Tidak mencurangi, memanipulasi, mengkhianati amanah mereka, dan lain sebagainya.
Demikianlah bentuk nasihat yang tertuang dalam hadis Nabi di atas. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa seorang muslim juga perlu mengkhususkan nasihat bagi dirinya sendiri. Semoga Allah senantiasa menjaga dan memenangkan Islam dan kaum muslimin. Amin.
Footnote:
[1] Baca: Syarh Shahīh Muslim karya Imam al-Nawawi (2/37).
[2] HR. Muslim no. 55.
[3] Idem
[4] Baca: Syarh al-Arba’īn al-Nawawiyah karya Ibnu Daqīq al-Īd hal. 52.
[5] H.R. Bukhari, 7056.
[6] H.R. Muslim, 3418.