Pertanyaan:
Bismillah.
Afwan ustaz, bagaimana penjelasan hadis tentang larangan memilih pemimpin dari kalangan wanita?
(Agus Sapto Widodo – Mamuju)
Jawaban:
Mungkin hadis yang dimaksud adalah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Nabi yang mulia, Abu Bakrah radhiallahu anhu, dengan lafalnya sebagai berikut:
لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ، قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى، قَالَ: لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً
Artinya:
Ketika sampai berita kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa orang Persia mengangkat putri Kisra sebagai raja mereka, beliau bersabda, “Tidak akan beruntung suatu kaum yang mengangkat wanita sebagai pemimpin mereka.” (H.R. Bukhari, no. 4425)
Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan hadis ini di antaranya:
- Berdasarkan hadis ini, para ulama sepakat berpendapat tidak diperbolehkannya wanita menjadi pemimpin tertinggi di sebuah negara atau wilayah.
Imam Ibnul Araby rahimahullah mengatakan, “Hadis ini merupakan dalil yang jelas menunjukkan tidak diperbolehkannya wanita menjadi pemimpin, tidak ada perselisihan dalam hal ini (di kalangan ulama).”(1)
Imam al-Syaukani rahimahullah berkata, “Hadis ini menunjukkan tidak pantasnya wanita menjadi pemimpin, dan tidak boleh bagi kaumnya untuk menyerahkan kepemimpinan kepadanya, karena menjauhi perkara yang bisa menghilangkan keberuntungan hukumnya wajib.”(2)
- Mayoritas ulama juga menjadikan hadis ini sebagai dalil tidak diperbolehkannya wanita menjabat sebagai hakim.
Berkata Ibnu Attin rahimahullah, “Hadis ini dijadikan dalil oleh ulama yang berpendapat tidak diperbolehkannya wanita menjadi hakim, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama.”(3)
Imam al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “Dan para ulama sepakat berpendapat bahwa wanita tidak pantas menjadi pemimpin dan hakim, karena seorang pemimpin harus keluar untuk menegakkan jihad dan mengatur urusan kaum muslimin, begitu pula dengan hakim dia harus tampil untuk menyelesaikan perkara persidangan. Sedangkan wanita adalah aurat sehingga tidak boleh menampakkan diri (di hadapan orang banyak) dan juga tabiatnya yang lemah akan mengakibatkan kurang maksimal dalam menyelesaikan tugasnya.”(4)
- Secara umum, kepemimpinan seorang wanita tidak keluar dari tiga keadaan, yaitu:
a. Seorang wanita menjadi pemimpin bagi kaum laki-laki dan perempuan, seperti menjabat sebagai presiden, gubernur, bupati, pimpinan perguruan tinggi, dst. Untuk hal ini hukumnya haram berdasarkan keumuman hadis di atas dan hadis-hadis yang mengatur adab-adab hubungan wanita dengan laki-laki seperti larangan khalwat (berdua-duaan) dan ikhtilat (becampur baur) dengan lawan jenis, larangan tabarruj (bersolek) bagi wanita di depan umum dan lain sebagainya di mana hal itu semua akan sangat sulit dihindari jika wanita menjadi pemimpin.
b. Seorang wanita menjadi pemimpin bagi sekelompok kaum laki-laki. Kondisi ini sama hukumnya dengan keadaan pertama dan dengan alasan yang sama.
c. Seorang wanita menjadi pemimpin bagi wanita lainnya. Hal ini diperbolehkan dan keadaan ini tidak termasuk dalam larangan hadis di atas karena yang dilarang dalam hadis di atas adalah seorang wanita menjadi pemimpin bagi suatu “kaum”. Sedangkan makna “kaum”, secara bahasa dan syariat adalah “komunitas laki-laki secara khusus atau komunitas campuran antara laki-laki dan perempuan”. Al-Jauhari rahimahullah berkata, “Kaum adalah sekelompok laki-laki. Allah ta’ala berfirman,
لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ
‘Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lainnya’.
Kemudian Allah berfirman,
وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ
‘Janganlah pula perempuan-perempuan mengolok-olokkan perempuan lain’. (Q.S. al-Hujurat ayat 11)
Dan terkadang wanita juga bisa masuk dalam kategori kaum jika digabungkan dengan laki-laki.”(5)
- Perlu diperhatikan bahwasanya syariat Islam membatasi kepemimpinan wanita bukanlah untuk merendahkan dan mendiskreditkan mereka, melainkan ini hal justru menunjukkan kebijaksanaan syariat dan perwujudan dari keadilan terhadap kaum laki-laki dan wanita, di mana masing masing diposisikan sesuai dengan fitrahnya.
Allah ta’ala berfirman,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (Q.S. al-Nisa ayat 34)
Al-Qusyari rahimahullah mengatakan, “Laki-laki diberikan kekuatan yang lebih (dari wanita) sehingga beban tanggung jawab juga diberikan lebih kepada mereka, maka beban dan tanggung jawab sesuai dengan kekuatan (yang diberikan).”(6)
Wallahu a’lam bisshawab.
Footnote:
(1) Ahkamul Quran (3/482).
(2) Nailul Authar ( 8/304).
(3) Lihat: Fathul Bari (13/56).
(4) Syarhu al-Sunnah (10/77).
(5) Al-Shihah (5/2016). Silahkan lihat pula: Masyariqul Anwar ala Shihahi al-Atsar karya al-Qodhi Iyadh (2/195).
(6) Lathaif al-Isyarat (1/ 330).
Afwan ust, bagaimana kalau misalnya dua kandidat calon kepala wilayah sama2 perempuan, apa tindakan yang bijak?? Syukron.
Afwan Akhi, jika ada pertanyaan, bisa dimasukkan ke sini http://markazsunnah.com/konsultasi-hadis/