Syekh Al-Baiquniy rahimahullah membuka matan manzhumah-nya dengan ucapan:
بسم الله الرحمن الرحيم
1- أبدأُ بالحمدِ مُصَلِّياً عَلَى *** مُحَمَّدٍ خَيْرِ نبيٍّ أُرسلا
2- وذِي من أقْسَامِ الحَدِيثِ عِدَّهْ *** وَكُلُّ واحد أتى وحدَّه
Terjemahannya:
Saya mengawali (manzhumah ini) dengan mengucapkan al-hamd (pujian kepada Allah), sembari berselawat kepada Muhammad, sebaik-baik nabi yang diutus.
(Manzhumah) ini berupa (penyebutan) beberapa klasifikasi hadis, dan setiap jenis akan disebutkan beserta definisinya.
Syarah:
Sebelum memulai menyebutkan bait-bait manzhumah ini, Syekh Al-Baiquniy rahimahullah mendahuluinya dengan ucapan basmalah yang merupakan sunah para nabi termasuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam penulisan surat atau buku tertentu, sebagaimana dalam surat Nabi Sulaiman ‘alaihissalam kepada Ratu Bilqis di negeri Saba’ yang disebutkan dalam Al-Quran:
إِنَّهُ مِنْ سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Artinya: “Sesungguhnya ia (surat ini) berasal dari Sulaiman, dan ia tertulis (dipermulaannya): Bismillahirrahmanirrahim.” (QS. An-Naml: 30).
Juga terdapat dalam surat-surat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, di antaranya surat beliau kepada Heraklius, Kaisar Romawi:
بسم الله الرحمن الرحيم، من محمد عبد الله ورسوله إلى هرقل عظيم الروم
Artinya: “Bismillahirrahmanirrahim; dari Muhammad, hamba Allah dan rasul-Nya, kepada Heraklius, Kaisar Romawi…” (HR. Bukhari: 7)
Kemudian penyusun matan ini memulai matan mazhumah-nya dengan ucapan al-hamd (Alhamdulillah) atau pujian kepada Allah ta’ala. Secara istilah, al-hamd bermakna pujian kepada Allah ta’ala dengan menyebutkan sifat kesempurnaan-Nya dalam bentuk pengagungan, rasa cinta, dan pemuliaan. (Lihat: Majmu’ Fatawi Ibni Taimiyah: 11/133).
Permulaan manzhumah dengan basmalah dan ucapan al-hamd ini merupakan salah bentuk peneladanan terhadap kandungan Al-Quran yang diawali dengan basmalah lalu ucapan al-hamd sebagaimana yang terdapat dalam Surah Al-Fatihah.
Beliau lalu menyandingkan pujian kepada Allah dengan bacaan selawat kepada Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam. Selawat artinya doa agar Allah menambahkan kemuliaan dan kesejahteraan pada Nabi, tapi manfaatnya kembali pada orang yang mengucapkannya, sebagaimana dalam hadis,
من صلى علي واحدة صلى الله عليه عشرا
Artinya: “Siapa yang berselawat untukku satu kali, niscaya Allah akan berselawat padanya (memberinya rahmat) sebanyak sepuluh kali.” (HR Muslim, no. 70/408).
Dalam manzhumah ini, penulis hanya menyebutkan lafal selawat atas Nabi, tanpa lafal salam sebagaimana dalam ucapannya “mushalliyan ‘ala khairi nabiyyin….” Tentunya, yang paling utama adalah menyertakan salam dengan selawat sebagaimana dalam perintah Allah ﷻ,
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Artinya: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya berselawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, berselawatlah untuknya dan bersalamlah dengan sebenar-benar salam.“ (QS. Al-Ahzab: 56).
Dalam Syarah Shahih Muslim, Imam An-Nawawiy rahimahullah memakruhkan penyebutan selawat tanpa menyertakan salam ini, ia berkata,
وقد نص العلماء رضى الله عنهم على كراهة الاقتصار على الصلاة عليه صلى الله عليه وسلم من غير تسليم
“Para ulama radhiyallahu ‘anhum telah menjelaskan makruhnya membatasi ucapan selawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa ucapan salam padanya.” (Syarh Shahih Muslim: 1/44).
Namun, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah tidak menyetujui pandangan An-Nawawiy ini dengan menyatakan:
نعم يكره أن يفرد الصلاة ولا يسلم أصلا, أما لو صلى في وقت وسلم في وقت آخر فإنه يكون ممتثلا
“Tentu hukumnya makruh apabila lafal selawat diucapkan secara sendiri tanpa ucapan salam secara total (di seluruh kondisi), adapun bila seseorang berselawat (tanpa bersalam) di suatu waktu (sekali-sekali) dan mengucapkan salam (tanpa berselawat) di waktu yang lain (sekali-sekali); maka ia tetap dianggap mengimplementasikan sunah.” (Al-Fath: 11/167)
Lalu beliau menukil beberapa dalil di antaranya adalah nas sabda Nabi dalam hadis di atas yang tidak menyebutkan salam: “Siapa yang berselawat untukku satu kali, niscaya Allah akan berselawat padanya (memberinya rahmat) sebanyak sepuluh kali.”
Namun, Syekh Hasan Masysyath rahimahullah menyebutkan bahwa meskipun Syekh Al-Baiquniy hanya menyebutkan lafal selawat, tapi lafal salamnya sebenarnya mudhmar (tidak disebutkan secara lahir dalam teks) di bait tersebut, lantaran sudah dapat dipahami bahwa maksud Al-Baiquniy ialah: mushalliyan -wa musalliman- ‘ala khairi nabiyyin: sembari berselawat (dan bersalam) atas sebaik-baik nabi…” (Lihat: At-Taqrirat As-Saniyyah, hal. 9).
Syekh Al-Baiquniy kemudian menyebutkan bahwa manzhumah ini ditulis untuk membahas beberapa jenis hadis yang telah disebutkan oleh para ulama. Jumlah jenis hadis yang disebutkan di dalamnya adalah 32 jenis. Jenis-jenis ini ada yang khusus terkait sanad seperti hadis muttashil, munqathi’, mu’dhal, mursal, al-‘aliy, an-nazil, dan sebagainya; ada yang khusus terkait matan seperti marfu’, mauquf, maqthu’, dan sebagainya; dan yang jenisnya terkait dengan matan dan sanad secara bersamaan, yaitu sahih, hasan, daif, maudhu’, dan lainnya.
Jadi, makna “aqsam al-hadits” (klasifikasi hadis) dalam manzhumah ini bukan hanya berkisar pada tiga jenis hadis yang populer, yaitu sahih, hasan, dan daif, tetapi mencakup seluruh klasifikasi hadis dari berbagai aspek dan termasuk juga jenis-jenis hadis yang merupakan bagian hadis sahih, hasan, dan daif.
Di setiap jenis ini beliau akan menyebutkan definisinya secara ringkas dan sesuai dengan kesesuaiannya dengan matan berupa manzhumah syair. Penyebutan jenis hadis dan definisinya ini beliau akan sebutkan secara teratur dan dengan lafal yang mudah, sehingga mudah untuk dihafal dan dikaji.