50 PEMBAHASAN DAN FAEDAH SEPUTAR IKTIKAF

317
PEMBAHASAN DAN FAEDAH SEPUTAR IKTIKAF
Perkiraan waktu baca: 14 menit

50 Pembahasan dan Faedah seputar Iktikaf

Segala puji bagi Allah, selawat dan salam semoga selalu tercurah bagi Rasulullah,

Amabakdu,Inilah kumpulan faedah dan rangkuman seputar i’tikaf, kami memohon kepada Allah agar menjadikan tulisan ini bermanfaat, dan memberi pahala kepada semua orang yang berpartisipasi dan membantu dalam persiapan  serta penerbitannya.

1.I’tikaaf menurut bahasa: Senantiasa melakukan/menetapi suatu hal.  I’tikaf menurut syariat:  menetap di masjid dan tinggal di dalamnya, dengan maksud untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Dikatakan kepada mereka yang menetap di masjid dan mendirikan ibadah di dalamnya: ‘ākif( orang yang I’tikaf ) atau mu’takif ( orang yang beri’tikaf).

2.Hakikat dan tujuan i’tikaf: pengabdian hati kepada Allah Ta’ala, menyendiri dengan-Nya, memutuskan hubungan dengan apa pun selain Pencipta, menghentikan kesibukan dengan mahluk, dan hanya sibuk dengan Allah Subahanahuwa Ta’ala semata, ketika mengingat-Nya, cinta pada-Nya, munajat, dan  menuju pada-Nya mendominasi hati, sehingga kesenangan sang hamba adalah hanya dengan Allah semata. Ia tidak berpikir melainkan hanya untuk mendapatkan Ridha’nya, serta  hal-hal yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah Subahanahuwa Ta’ala.

Orang yang beri’tikaf telah mengunci diri dalam rangka ketaatan kepada Allah dan mengingat-Nya. Ia memutus segala hal yang dapat mengalihkan perhatiannya dari-Nya.  Ia menjadikan konsentrasi lahir dan batinya kepada Rabbnya dan hal-hal yang mendekatkan dia kepada-Nya hingga tidak yang tersisa di dalam hati melainkan Allah dan segala yang membuatnya diridhai oleh-Nya.

Pengetahuan tentang Allah, rasa cinta kepada-Nya, kedekatan dengan-Nya yang semakin menguat akan menjadikan seseorang terputus sepenuhnya untuk Allah Ta’ala dalam keadaan apapun.[1]

  1. I’tikaaf disyariatkan berdasarkan Al- Quran dan As-Sunnah serta kesepakatan para ulama :

Allah Subahanahuwa Ta’ala berfirman: ( Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud”). [Al-Baqarah: 125]

Dan Allah berfirman: ( janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid). [Al-Baqarah: 187]

Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyaalhu ‘anha meriwayatkan bahwa Nabi (saw) selalu beri’tikaf sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau, lalu para istri beliau beri’tikaf setelahnya.[2] Nabi Sallallahu alaihi wasallam juga pernah meninggalkan I’tikaf di sepuluh terakhir pada bulan Ramadhan maka beliau pun beri’tikaf di sepuluh hari pada bulan syawal sebagai gantinya.[3] Para ulama menyepakati adanya syariat dan anjuran beri’tikaf.

  1. Beri’tikaaf di masjid merupakan salah satu tanda keimanan, dan merupakan bagian dari memakmurkan masjid yang Allah Subahanahuwa Ta’ala gambarkan sebagai karakteristik hamba-hamba-Nya yang beriman, Allah berfirman: ” Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian”. [Al-Taubah 18]. Allah Ta’ala dalam ayat ini menetapkan keimanan dan bersaksi atas keimanan mereka bagi orang-orang yang memakmurkan masjid-masjid. Memakmurkan dalam hal ini berarti membangun, memperbaiki, membersikan, dan mensucikan masjid. Adapun jika ditinjau dari sisi makna dan sisi ini yang paling mulia, memakmurkan masjid berarti  beribadah dengan melaksanakan sholat, I’tikaaf,  membaca Al-Qur’an, zikir,  belajar agama serta mengajarkan ilmu yang bermanfaat di dalamnya.
  2. I’tikaf adalah sebuah bentuk takarub kepada Allah Azza wa Jalla dan termasuk dalam makna umum takarub (mendekatkan diri) kepada Allah Ta’ala dengan melakukan ibadah yang bersifat sunnah. Namun, tidak ada pahala khusus untuk i’tikaaf. Hadits-hadits yang menyebutkan keutamaan iktikaf ada yang lemah ataupun palsu. Misalnya hadits: “Barangsiapa melakukan I’tikaaf karena iman dan mengharap pahala, semua dosanya yang lalu akan diampuni ”.[4] Contoh lainnya ialah hadits: “Barang siapa yang melakukan I’tikaaf sepuluh kali di bulan Ramadhan maka seperti dua haji dan dua umrah”.[5]

Abu Dawud bertanya kepada Imam Ahmad Bin Hanbal, semoga Allah merahmatinya : “Apakah Anda tahu tentang (hadis yang menyebutkan) keutamaan i’tikaf”? Dia berkata: “Tidak, kecuali hadis yang lemah”.[6]

  1. Hukum asal dalam i’tikaf adalah sunnah dan bukan wajib. Iktikaf tidak menjadi wajib kecuali dengan membuat nazar. Hal ini merupakan kesepakatan para ulama. Suatu ketika Umar semoga Allah merahmatinya bertanya kepada Rasulullah sallallahu alaihi wasallam : “ dahulu aku perna bernadzar di zaman jahiliyah untuk beri’tikaf di malam hari di Masjidil Haram, maka Nabi Sallallahu alaihi wasallam berkata: “Kalau begitu penuhi nazarmu”.[7]
  2. I’tikaaf tidak terbatas pada waktu tertentu; Ikitikaf sah jika dikerjakan setiap saat, baik di bulan Ramadhan maupun di waktu lainnya, akan tetapi di bulan Ramadhan lebih baik dari yang lain.

I’tikaf yang paling baik serta yang ditekankan  adalah: I’tikaf selama sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan karena itu yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bentuk usaha mendapatkan malam Lailatul Qadar. Jika tidak bisa, hendaknya beriktikaf semampunya, walau hnaya satu malam.

  1. I’tikaf sepuluh hari terakhir adalah salah satu dari sunnah-sunnah yang dianjurkan akan tetapi banyak ditinggalkan padahalan dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, dan istri-istrinya beliau. Namun, sedikit yang mengamalkannya baik di masa lalu maupun di zaman sekarang, hingga Ibnu Shihab Al-Zuhri (w. 125 H), semoga Allah merahmatinya, mengatakan: “Sungguh kaum muslimin mengherankan sekali, mereka meninggalkan i’tikaf padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak meninggalkannya sejak beliau memasuki Madinah hingga Allah mewafatkannya”.[8]

Ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu ‘anha meriwayatkan, bahwa Nabi Sallallahu alaihi wasallam selalu ber’itikaaf selama sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkannya, lalu  isteri-isteri beliau beri’tikaaf setelahnya.[9]

  1. Para ulama berbeda pendapat mengenai waktu minimal i’tikaf: mayoritas berpendapat minimal adalah sesaat. Jadi, disyariatkan beri’tikaf sejam, sehari, semalam, Kurang atau pun lebih. Setiap kali seseorang bertahan di masjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah maka ia disebut sedang melakukan I’tikaf.
  2. Puasa tidak dipersyaratkan sebagai kriteria sahnya i’tikaf seseorang menurut pendapat yang paling kuat.  i’tikaf tanpa puasa adalah sah tetapi lebih baik menjalankan i’tikaf sambil berpuasa. Kebolehannya disebutkan di dalam hadis Umar Radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkisah, “Saya bernazar pada masa Jahiliyah untuk melaksanakan I’tikaf pada malam hari di Masjidil Haram”, maka beliau Sallallahu alaihi wasallam berkata: ” Kalau begitu penuhi sumpahmu”.[10] seandainya puasa adalah syarat sahnya I’tikaf maka I’tikaf Umar di malam hari tidaklah sah karena tidak ada puasa di malam hari.
  3. Syarat sahnya i’tikaf: Islam, berakal, tamyiz, niat, dan berada di dalam Masjid yang digunakan untuk sholat berjamaah (kecuali wanita, di masjid mana pun boleh), dan izin suami/wali untuk istri/wanita, dan suci dari najis besar (junub, haid dan nifas).
  4. Syarat sahnya i’tikaf: yaitu di masjid tempat dilakasanakan di dalamnya sholat berjamaah, jika i’tikaf diselingi dengan shalat berjamaah ( seperti i’tikaf sehari, siang atau malam, atau pun i’tikaf sepuluh hari) maka i’tikaf harus dilaksanakan di masjid tempat sholat berjamaah, Karena sholat berjamaah adalah wajib, dan apabila dilakukan di masjid yang tidak diadakan di dalamnya sholat berjamaah, maka seseorang harus keluar menuju masjid melaksanakan sholat berjamaah. hal tersebut menafikan tujuan dari pada i’tikaf, yaitu keharusan menetap dan tinggal di dalam suatu majsjid.
  5. Tidak disyaratkan beritikaf di masjid yang melaksanakan shalat Jumat, tetapi lebih diutamakan I’tikaf di masjid jami’ di mana shalat Jumat diadakan jika memungkinkan. seseorang yang melaksanakan iktikaf wajib keluar untuk menghadiri salat jumat.  i’tikafnya tidak batal dikarenakan hal tersebut karena masuk dalam kategori darurat.
  6. I’tikaf juga sah di lakukan pada selain tiga masjid (Masjid Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid Al-Aqsa), hal ini merupakan pendapat para ulama di kalangan sahabat, Tabi’in, para imam empat madzhab, dan lain-lain, hal tersebut adalah amalan umat Islam tanpa adanya pengingkaran. Ini berdasar pada keumuman firman Allah Ta’laa: { dan janganlah kamu campuri mereka, ketika kamu beriktikaf dalam masjid} [Al-Baqarah: 187]. ayat ini tidak mengkhususkan masjid tertentu tanpa masjid lain. Perlu diketahui bahwa ada sebagian kecil dari kalangan ulama yang menyelisihi pendapat ini.
  7. Hadits tentang (Tidak ada i’tikaf kecuali di tiga masjid) tidak shahih jika disandarkan kepada Rasulullah. Ucapan itu adalah perkataan dari sahabat yaitu Hudhzaifah ibn al-Yaman (ra). para sahabat senior menyelisihi beliau, beberapa ulama memaknai ucapan itu (dengan asumsi ke shahihan hadistnya) bahwa yang dimaksud dengannya adalah i’tikaaf yang paling sempurna, atau maknanya ialah tidak sah i’tikaf yang dinazarkan dan sengaja dilakukan safar untuk melaksamakammua kecuali di tiga masjid ini.
  8. I’tikaf di tiga masjid (Masjid haram, Masjid Nabawi, dan Masjid Al-Aqsa) lebih baik dari masjid lainnya dikarenakan kemuliaan dan keutamaannya.
Baca juga:  20 FAEDAH TERKAIT BULAN RAJAB (BAGIAN PERTAMA)

Yang terbaik di antaranya adalah : Masjidil Haram (satu kali shalat di dalamnya lebih baik dari pada seratus ribu shalat di tempat lain), Kemudian Masjid Nabawi (shalat di dalamnya lebih baik dari seribu kali sholat di tempat lain, kecuali Masjidil Haram), kemudian Masjid Al-Aqsa.

  1. Orang Yang bernazar untuk beri’tikaf di salah satu dari tiga masjid tersebut; maka nazarnya menjadi wajib dan dia harus menunaikannya, serta dia tidak boleh beri’tikaf di masjid-masjid kedudukannya berada di bawahnya. Jika dia bernazar untuk melakukan I’tikaaf dan menentukan pelaksanaan di masjid yg lebih tinggi kemuliannya (seperti di Masjidil Haram); maka I’tikafnya tidak diperbolehkan dilakukan di masjid yang kedudukannya lebih rendah.

Barang siapa yang bernadzar untuk beri’tikaf dan telah menentukan masjid yang kedudukannya lebih rendah,dibolehkan baginya untuk menjalankan i’tikaf di di masjid yang lebih kedudukannya lebih tinggi. Misalnya orang yang bernazar beri’tikaf di Masjid Al-Aqsa; Diperbolehkan baginya untuk beri’tikaf di dalamnya atau di masjid Nabiwi atau Masjidil Haram, dan barangsiapa yang berndzar melaksanakan iktikaf  di Masjid Nabawi; Diperbolehkan baginya untuk beri’tikaf di dalamnya atau di Masjidil Haram.

  1. Barangsiapa bernazar untuk shalat atau beri’tikaf di selain tiga masjid tersebut; tidak diharuskan shalat atau beri’tikaf di masjid yang telah ia tentukan. Ia dapat melakukan i’tikaaf atau sholat di masjid lain mana pun secara sah.
  2. Orang yang beri’tikaf diperbolehkan memasuki, memanjat, atau menjalankan i’tikaf pada Segala hal yang menjadi bagian dari hukum masjid; Seperti alun-alun, halaman, atap, dan menara dalam masjid kaarena itu adalah bagian dari masjid, sehingga berlaku hukum masjid pada tempat-tempat tersebut.
  3. Dibolehkan bagi orang yang beri’tikaf keluar ke halaman masjid (pekarangannya), atau beri’tikaf di sana, jika terhubung dan dikelilingi oleh masjid karena itu adalah bagian dari masjid, maka hukum masjid pun berlaku.
  4. Kamar-kamar di dalam masjid dengan pintunya terbuka yng mengarah ke masjid juga, masuk ke dalam bagian hukum masjid, sehingga diperbolehkan untuk beri’tikaf di dalamnya atau memasukinya. Karena masuk dari bagian Masjid.

Namun jika dibangun di luar masjid; I’tikafnya tidak sah di dalamnya, meskipun ada pintunya di dalam masjid.

  1. Orang yang beri’tikaf dibolehkan mematok tempat di masjid untuk i’tikaf seperti di kamar, pojok masjid, dan lain sebagainya.
  2. I’tikaf adalah sunnah bagi laki-laki dan perempuan, dan I’tikaf bagi perempuan hendaknya dilakukan di tempat khusus yang jauh dari laki-laki, selama hal itu tidak menumbulkan kekhawatiran akan adanya fitnah (bagi para wanita atau orang lain) atau kesulitan. Jika mengkhawatirkan, hendaknya para wanita tidak diperkenankan melakuakn iktikaf sebagai bentuk pencegahan mudarat yang dikhawatirkan.

Para isteri Nabi Sallallahu alaihi wasallam semoga Allah radhiyallahu ‘anha, biasanya melakukan I’tikaf bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam semasa hidupnya, dan mereka biasa melakukan I’tikaf setelah wafatnya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.

  1. Tidak diperbolehkan bagi seorang wanita untuk beri’tikaf atau bernazar untuk beri’tikaf tanpa izin suaminya, Karena i’tikafnya di masjid terkait dengan hak suami.
  2. Jika suami telah mengizinkan istir beri’tikaf; Ia berhak mencabut izinnya dan mengeluarkannya dari tempat iktikaf apabila i’tikafnya bersifat sunnah, berbeda dengan i’tikaf nazar yang harus diselesaikan karena telah menjadi wajib jika telah dimulai. Sang suami Tidak diperbolehkan untuk mengeluarknnya dari tempat iktikaf setelah mengizinkannya.
  3. Seorang wanita boleh beri’tikaf di masjid mana pun, dan tidak tidak dipersyaratkan beri’tikaf di masjid tempat berjamaah agar iktikafnya sah, karena salat berjamaah tidak wajib bagi wanita.
  4. Tidak sah bagi seorang wanita untuk beri’tikaf di mushala rumahnya, Karena i’tikaf hanya dilakukan di masjid. Mushala wanita di rumahnya bukanlah masjid; Karena tidak didirikan untuk megerjakan shalat di dalamnya. Sehingga tidak berlaku hukum terkait masjid. Di sisi lain, dahulu istri-istri Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam senantiasa beri’tikaf di masjid Nabi. Jika sekiranya beri’tikaf di tempat lain lebih baik, tentu beliau Sallallahu alaihi wasallam akan mengarahkan mereka ke sana.
  5. Barangsiapa yang ingin beri’tikaf selama sepuluh hari terakhir Ramadhan; hendaknya ia memasuki masjid sebelum matahari terbenam sebelum malam ke-21 (menurut pendapat mayoritas ulama), dan meninggalkan masjid setelah matahari terbenam pada hari terakhir Ramadhan. Jika bulan Ramadhan terdiri dari tiga puluh hari, i’tikaf diakhiri dengan azan Maghrib, jika tidak demikian hendaknya ia menunggu sampai ada penetapan bahwa hilal telah terlihat.
  6. Sebagian salaf (orang terdahulu) menganjurkan orang yang beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan untuk menginap pada malam Idul Fitri di tempat I’tikafnya, kemudian pergi ke tempat shalat Idul Fitri dari masjid tempatnya beriktikaf.
  7. Tidak sah mengawali iktikaf kecuali dalam keadaan suci dari segala hal yang mengharuskan mandi wajib (seperti junub, haid, dan nifas), Karena oran g yang berhadas besar tidak boleh berdiam sejenak di masjid. Berdiam di masjid sejenak semakna dengan i’tikaf.
  8. Jika orang yang beri’tikaf mimpi basah, i’tikafnya tidak batal, dan dia tidak boleh tinggal di masjid dalam keadaan junub,hendaknhya ia mandi dan melanjutkan itikafnya. .
  9. Jika tiba masa haid pada wanita yang beri’tikaf, Diharamkan baginya untuk tinggal di mesjid. Hendaknya ia keluar dari mesjid menuju rumahnya, dan i’tikafnya tidak batal. Jika dia telah suci, dia boleh Kembali ke masjid untuk melanjutkan I’tikafnya sebelumnya.
  10. I’tikaaf akan batal dengan: keluar masjid tanpa keperluan, berhubungan suami-isteri, ejakulasi karena bersentuhan atau masturbasi, tidak adanya akal karena gila, mabuk dan lain sebagainya, memutuskan niat i’tikaaf, dan murtad (Semoga Allah melindungi kita).
  11. Dibolehkan meninggalkan masjid karena keperluan yang sangat mendesak, dan hal itu tidak membatalkan i’tikafnya. Misalnya buang air,,menyediakan makanan bagi orang yang tidak memikiki siapapin yang menyediakan makanan untuknya, wudhu, mandi wajib, membeli obat jika tidak ada orang yang membeli untuknya, dan lain sebagainya. Tidak diperkenannya baginya menuju tempat yang jauh bila ada tempat yang lebih dekat untuk memenuhi kebutuhannya.
  12. Tidak diperbolehkan memesan makanan dari restoran via ponsel selama i’tikaf karena termasuk dalam larangan jual beli di dalam masjid. Namun, diperbolehkan keluar masjid untuk memesannya, membayar dan menerima pesanan di luar masjid.
  13. Orang yang beri’tikaf boleh mengeluarkan sebagian tubuhnya dari masjid,seperti kepalanya atau kakinya, dan i’tikafnya tidak batal karenanya, Hal Ini berdasar pada hadist yang diriwayatkan Aisyah radhiyallahu ‘anha. Beliau berkata: (Dulu Rasulullah Sallallahu alaihi wasallam pernah menjulurkan kepalanya kepadaku saat dia berada di masjid, lalu aku pun menyisir Rambutnya).[11]
  14. Barangsiapa bersetubuh dengan istrinya selama beri’tikaf; I’tikafnya batal, dan dia tidak wajib menggantinya atau membayar kaffārah kecuali iktikafnya wajib, maka ia hanya harus menggantinya, Allah Ta’ala berfirman: { dan janganlah kamu campuri mereka, ketika kamu ber’tikaf dalam masjid}.” (Al-Baqarah: 187).
  15. Sentuhan tanpa nafsu tidak membatalkan i’tikaf, Misalnya apabila seorang wanita menyerahkan sesuatu kepada suaminya atau sekedar mengucapkan salam. Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata : (apabila Rasulullah Sallallahu alaihi wasallam beri’tikaf, beliau menjulurkan kepalanya kepadaku saat dia berada di masjid, lalu aku pun menyisir Rambutnya).[12]
  16. Orang yang menggerayangi istrinya melakukan penetrasi, lalu ia mencapai ejakulasi; I’tikafnya batal, dan jika dia tidak ejakulasi, maka tidak batal I’tikafnya.
Baca juga:  55 FAEDAH SEPUTAR ADAB-ADAB HARI RAYA DAN HUKUM-HUKUMNYA

 jika dia mengalami mimpi basah atau ejakulasi karena pikiran,  I’tikafnya tidak batal. Dia harus mandi serta menyelesaikan I’tikafnya.

  1. Orang yang beri’tikaf tidak boleh menjenguk orang sakit saat i’tikaf, menyaksikan pemakaman, menghadiri undangan, memenuhi kebutuhan keluarganya, atau pergi bekerja, Karena ini bertentangan dengan hakikat i’tikaf tersebut.

Sebagaimana hadist yang shahih dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha, Bia berkata: “Disunahkan bagi orang yang beri’tikaf agar tidak menjenguk orang sakit, tidak mengantarkan jenazah, tidak menyentuh Wanita dan bermesraan dengannya, dan tidak keluar untuk keperluan kecuali sesuatu yang begitu mendesak.[13]

  1. Mayoritas ulama membolehkan orang yang beri’tikaf menetapkan syarat pada iktikanya dengan ketentuan syarat yang ditetapkan adalah hal yang mubah, dan tidak bertentangan dengan tujuan i’tikaf (seperti bersenggama, keluar untuk berjalan-jalan atau berdagang, dan sejenisnya).

Diperbolehkan menetapkan syarat meninggalkan i’tikaf jika muncul sesuatu yang bersifat insidental, pergi makan di rumah, menjenguk kerabat yang sakit,  menghadiri pemakaman orang tua atau kerabat, dan seterusnya.

Manfaat dari syarat ituialah I’tikafnya tidak batal dengan melakukan hal-hal yang dipersyaratkan tersebut, dan masih dihukumi sebagai orang yang melakukan I’tikaf. Jika i’tikaf yang dilakukan adalah iktikaf wajib disebabkan oleh nazar, di samping hal yang telah disebutkan sebelumnya, persyaratan tersebut mengugurkan kewajiban mengganti iktikaf spanjang  durasi ia meninggalkan masjid.

Namun, tidak mempersyaratkan apapun lebih baik agar keluar dari perselisihan (pendapat ulama) dalam permasalahan tersebut. Hal itu juga lebih sesuai dengan tujuan i’tikaf, kemudian jika muncul hal yang bersifat insidentalbegitu mendesak, dia keluar dan kemudian melanjutkan i’tikafnya.

  1. I’tikaf tidak batal dengan dosa, seperti ghibah, gosip, dusta, dan lain-lain, akan tetapi dia diharamakan saat melakukan I’tikaf atau pun tidak. Itu juga bertentangan dengan tujuan i’tikaf dan mengurangi pahalanya,pelakunya pun berdosa.
  2. Orang yang membatalkan i’tikaf yang disunnahkan setelah memulainya; dianjurkan baginya untuk mengganti, tetapi itu tidak wajib. Terbukti bahwa Nabi Sallallahu alaihi wasallam, ketika beliau pernah meninggalkan I’tikaf sepuluh hari; beliau pun I’tikaf selama sepuluh hari di bulan Syawal[14] sebagai gantinya.
  3. Orang yang membatalkan I’tikaf wajib yang disebabkan oleh nazar setelah memulainya; Dia harus menggantinya.
  4. Barangsiapa yang telah bernazar melakukan iktikaf lalu meninggal sebelum memenuhi nazarnya; Dianjurkan bagi walinya untuk mengganti i’tikaf atas namanya; sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Saad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu bahwa dia meminta fatwa dari Rasulullah Sallallahu alaihi wasallam,. Beliau berkata: “Ibuku telah meninggal dan dia memiliki nazar.” Maka Rasulullah Sallallahu alaihi wasallam bersabda: “tunaikanlah nazarnya atas nama beliau “.[15]
  1. Berikut ini adalah hal-hal yang disunnahkan bagi orang yang beri’tikaf :
Baca juga:  23 FAEDAH TERKAIT HARI TASYRIK

– menyibukkan diri dengan ibadah, dan amalan yang khusus untuk orang yang beri’tikaf adalah seperti shalat, membaca Al-Qur’an, dzikir, berdo’a, istigfar, selawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ketaatan lainnya.

-Hindari perdebatan dan perselisihan, serta perkataan dan tindakan yang tidak berfaedah, dan tidak terlalu banyak bicara.

-memutuskan diri dari kesibukan dunia dan hal-hal yang melalaikan, meminimalisir  perkara-perkara mubah, dan berisikap zuhud di dunia ini, menjadikan kebahagiaannya hanya dengan Allah Ta’ala saja.

-Merawat amalan hati seperti keikhlasan, rasa cinta, harapan, tawakal, ketundukan, kesyukuran, dan lain-lain), serta mengoreksi lahir dan batin. Hendaknya berserah diri kepada Allah, ikhlas kepada-Nya, kembali kepada-Nya, tunduk hina di hadapan-Nya disertai dengan sesempurnanya cinta dan ketundukan. Hendaknya  memuji dan berterima kasih kepada Allah, meminta ampun atas kejelekan perbuatan yang telah berlalu, berserah diri pada-Nya, meminta perlindungan dan pertolongan dari-Nya, tidak mengibakan diri melainkan hanya kepada-Nya. Dia takut Rabbnya dan berharap kepada-Nya. rasa takut dan pengharapan kepada-Nya seperti dua sayap burung (yang seimbang). Menjadikan rasa takut mendominasi di saat ia sehat, menjadikan harapan mendominasi di saat ajal menjelang. : “sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabbnya” [al-Zumar: 9], dia mengharapkan rahmat  dan surga-Nya. Harapannya disertai dengan amal saleh yang membuat Rabbnya meridainya,  dia mencari pahala dan ganjaran di balik amal saleh tersebut.

  1. Kondisi orang yang beri’tikaf di dalam tempat I’tikaf hendaknya tidak sama dengan di luar masjid,. Hendaknya I’tikafnya menjadi: waktu bersama dengan Tuhannya, sebagai perbaikan hatinya, menyulam urusannya yang cerai berai, kesempatan untuk mengintrospeksi diri, penjagaan terhadap waktunya, penguat hubungannya dengan Rabbnya, penjagaan terhadap puasanya, tempat mendidik keikhlasan dan meminimalisir perkara-perkara mubah, dan tempat untuk melatih sikap zuhud terhadap dunia.
  2. Orang yang beri’tikaf dibolehkan menyisir rambut, mencukur kepala, memotong kuku, mandi, Membersihkan badan, memakai wewangian, memakai pakaian terbaik, dan makan dan minum di masjid, dengan senantiasa menjada dan memastikan kebersihan masjid dari kotoran.
  3. Diperbolehkan bagi seorang wanita untuk mengunjungi suaminya di tempat I’tikafnya, dan dia boleh berduaan dengannya, mengantarnya ke rumah jika ada kebutuhan. Keluarga dan teman-temannya juga boleh mengunjunginya bila diperlukan.
  4. Di antara kesalahan-kesalahan yang dilakukan sebagian orang beri’tikaf adalah:

– Banyak tidur di siang hari, menghabiskan malam di malam hari tanpa ketaatan, dan berat untuk bangun.

– Tidak meninggalkan percakapan yang berlebihan, banyak bercanda dan bercakap hingga larut malam, mencampur keseriusan dengan humor, terjerumus ke dalam ghibah dan hal yang diharamkan, serta tidak memperhatikan kehormatan waktu dan tempat di mana ia berada.

– Penggunaan ponsel scara berlebihan, menghabiskan waktu dengan media sosial, dan menjalankan bisnis dan perdagangan di dalam tempat I’tikaf.

– Terlalu seriang menerima kunjungan dari keluarga dan teman-teman di dalam tempat I’tikaf, serta membuat rtempat I’tikaf sebagai tempat bercengkerama dan tempat bertemu dengan pengunjung, ini bertentangan dengan I’tikafnya Nabi Sallallahu alaihi wasallam.

– Berlebihan dalam makan dan minum, serta mengganggu Para jamaah yang sholat dengan bau makanan tersebut.

– Tidak mengindahkan kebersihan dan aturan masjid.

-Menyibukkan diri dengan  membaca buku padahal lebih utama adalah menyibukkan diri dengan ketaatan dan ibadah.

– Bersikeras melakukan  i’tikaf meskipun meninggalkan kewajiban Seperti mencari mengurus keluarga, merawat orang tua, mencari rezki, dan lain-lainnya.

Kita memohon kepada Allah Ta’ala agar  membimbing kita kepada hal-hal yang Dia cintai dan ridai, serta menerima amal-amal kebaikan kita, Amin.

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam ini.

 

 


Footnote:

[1]. Lihat Zad Al-Ma’ad oleh Ibn Al-Qayyim (2/82), dan Lataif Al-Ma’arif oleh Ibn Rajab (hal. 190-191).

[2] . Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (2026) dan Muslim (1172)

[3] . Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (2033) dan Muslim (1172)

[4] . Diriwayatkan oleh Al-Dailami, dan Al-Albani menggolongkannya lemah dalam Dha’if Al-Jami’ (5452).

[5] . Diriwayatkan oleh Al-Bayhaqi dalam Shu’ab Al-Iman (3680) dan beliau melemahkannya, dan Al-Albani berkata: “ hadist tersebut hadist yang dibuat-buat ” Lihat: Al-Silsilah Ad-Dhaifah (518).

[6] . Masa’ il Abi Dawud (h. 137).

[7] .  Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (2032) dan Muslim (1656).

[8] .  Fath Al-Bari karangan Ibnu Hajar (4/285).

[9] .  Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (2026) dan Muslim (1172).

[10] . Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (2032) dan Muslim (1656).

[11] . Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (2029) dan Muslim (297).

[12] . Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (2029) dan Muslim (297).

[13] . Diriwayatkan oleh Abu Dawud (2473).

[14] . Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (2033) dan Muslim (1172).

[15]. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (2761) dan Muslim (1638).

Subscribe
Notify of
guest
1 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Sulthan Muh Zein

Baarakallahu fiikum