WAKTU SALAT FAJAR

90
Perkiraan waktu baca: 3 menit

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: كُنَّ نِسَاءُ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْفَجْرِ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوتِهِنَّ حِيْنَ يَقْضِينَ الصَّلَاةَ، لَا يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الْغَلَسِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Artinya:

Dari ‘Ā’isyah raḍiyallāhu ‘anhā, “Para perempuan Mukminah ikut salat Fajar bersama Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam dengan membalutkan pakaian-pakaian mereka (menutupi tubuh), kemudian kembali ke rumah-rumah mereka setelah selesai salat, tidak seorang pun mengenal mereka karena kondisi yang gelap.” Muttafaqun ‘alaihi.[1]

Daftar Isi:

Kosa kata hadis:

  1. Mutalaffi’āt (مُتَلَفِّعَاتٌ) sinonimnya adalah mutalaffifāt (مُتَلَفِّفَاتٌ) yang artinya dalam keadaan membalut sekujur tubuh atau menutupinya dengan pakaian.
  2. مُرُوطِ adalah bentuk jamak dari مِرْطٌ yang artinya pakaian yang terbuat dari serat sutra atau bahan bulu. Mirṭun dapat juga bermakna satu lembar pakaian atau ridā’ yang luas dan lebar.[2]
  3. al-Galas (الْغَلَسِ) artinya sisa-sisa malam yang gelap. Makna ucapan ‘Ā’isyah tersebut bahwa keadaan yang gelap menyebabkan tidak diketahui apakah orang yang hadir salat atau kembali pulang, laki-laki atau perempuan.[3]

Makna hadis:

‘Ā’isyah raḍiyallāhu ‘anhā menceritakan bahwa kaum perempuan pada zaman Nabi Muhammad ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam ikut menghadiri salat Fajar bersama beliau di masjid. Mereka menutupi kepala mereka dan menggunakan pakaian lain di atas pakaian yang memang sudah dikenakan untuk menutupi aurat dan kepala mereka. Hal ini selaras dengan perintah Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam kepada kaum perempuan jika mereka ikut hadir dalam ibadah salat Idulfitri dan Iduladha.

Faedah dan istinbat dari hadis:

    1. Hadis tersebut menjadi dalil bagi mazhab Mālik, al-Syāfi’ī, Aḥmad, dan jumhur ulama istihbāb untuk menyegerakan pelaksanaan salat Subuh, apa lagi jika bacaan salatnya panjang seperti bacaan Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, yaitu sekitar lima puluh sampai seratus ayat. Sebaliknya Abū Ḥanīfah menyatakan bahwa menunggu sedikit terang (isfār) adalah lebih afdal, dengan dalil hadis berikutnya dari kitab al-Muharrar fī al-Ḥadīṡ.
    2. Hadis tersebut juga menjadi landasan fatwa bolehnya kaum perempuan ikut hadir salat jemaah di masjid dan tidak ada indikasi dalam hadis bahwa kaum perempuan yang hadir adalah kaum lanjut usia, dengan syarat aman dari fitnah kepada kaum perempuan atau fitnah yang mungkin disebabkan kehadiran mereka.[4]
    3. Jika kaum perempuan boleh hadir salat berjemaah di masjid pada malam hari maka pada siang hari juga tentu boleh, karena malam hari pada hakikatnya waktu yang secara umum kekhawatirannya lebih besar daripada siang hari.
    4. Sebagian ulama menjadikan hadis tersebut sebagai dalil tentang dibolehkannya kaum perempuan salat dengan menutup hidung dan mulut mereka. Dengan alasan perkataan ‘Ā’isyah “Membalutkan pakaian-pakaian mereka (menutupi tubuh)” adalah sifat mereka ketika sedang salat.
Baca juga:  HADIS BERSUNGGUH-SUNGGUH PADA SAAT BERSIWAK

Sedangkan al-Qāḍī ‘Iyāḍ menilai sifat tersebut adalah kondisi mereka ketika keluar dari masjid dalam perjalanan pulang ke rumah-rumah mereka.[5]

    1. Hadis tersebut secara harfiah juga memberikan istinbat hukum bolehnya seorang perempuan salat dengan satu lembar pakaian saja yang menutupi (membungkus) tubuhnya.

Ulama berbeda pandangan terhadap jumlah (lembar) pakaian yang mesti digunakan kaum perempuan ketika salat.

      • Abū Ḥanīfah dan al-Syāfi’ī menyatakan cukup satu lembar baju (dir’un) dan penutup kepala.
      • Aṭā’ mengatakan tiga lembar baju (dir’un), izar(pakaian yang dipakai dan diikat pada pertengahan tubuh atau bagian pinggang)[6] dan penutup kepala.
      • Ibnu al-Munzir mengatakan bahwa wajib bagi seorang perempuan ketika salat menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan kedua telapak tangan, baik dengan satu lembar pakaian atau lebih.

Apa saja dari tubuh perempuan yang termasuk aurat?

      • Abū Bakar bin Abdurraḥmān dan salah satu fatwa Aḥmad mengatakan bahwa seluruh tubuh perempuan adalah aurat hingga kuku-kukunya.
      • Mālik dan al-Syāfi’ī mengatakan bahwa kedua tumit perempuan termasuk aurat. Jika dia salat dalam keadaan tumit yang terbuka atau rambut yang kelihatan maka dia harus mengulangi salatnya.
      • Abū Ḥanīfah dan al-Ṡaurī menyatakan bahwa tumit seorang perempuan tidak termasuk aurat, sehingga jika hal tersebut tampak ketika salat maka salatnya tidak batal.[7]

 


Footnote:

[1] H.R. al-Bukhārī (612) dan Muslim (645).

[2] Badruddīn al-‘Ainī. Umdatul Qāri Syaraḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Jilid 4, hlm. 89.

[3] Al-Nawawī. Al-Minhāj. Jilid 5, hlm. 144.

[4] Al-Nawawī. Al-Minhāj. Jilid 5, hlm. 144.

[5] Ibnu Hajar al-Asqalānī. Fatḥul Bāri Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Jilid 2, hlm. 56.

[6] Ibnu Rajab al-Hambalī. Fatḥul Bāri Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Jilid 2, hlm. 414.

Baca juga:  KEWAJIBAN MANDI JANABAH JIKA DUA KHITAN TELAH BERSENTUHAN

[7] Badruddīn al-‘Ainī. Umdatul Qāri Syaraḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Jilid 4, hlm. 89.

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments