عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ جُنْدُبِ بنِ جُنَادَةَ وَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُعَاذِ بِنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُولِ اللهِ ﷺ قَالَ: اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ. رواه الترمذي، وقال: حديث حسن. وفي بعض النسخ: حسنٌ صحيح
Abu Dzar Jundub bin Junādah dan Abu ‘Abdirrahman Mu’ādz bin Jabal radhiyallahu anhuma meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Bertakwalah kepada Allah di manapun engkau berada. Iringilah keburukan itu dengan kebaikan niscaya kebaikan itu akan menghapus keburukan tersebut. Bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi dan beliau berkata, “Hadis ini hasan.” Pada sebagian naskah disebutkan, “Hasan sahih.”)
Hadis ini disahihkan pula oleh Imam al-Hākim namun terdapat ilat dalam hadis ini yang menyebabkan hadis ini dihukumi hadis munqathi’. Meski demikian, terdapat banyak nas-nas lain yang mendukung makna yang terkandung di dalam hadis.
Jika kita perhatikan, sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam hadis di atas mencakup tiga hal sebagai berikut.
Daftar Isi:
Pertama: Bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Nabi mengingatkan agar hendaknya setiap muslim bertakwa kepada Allah. Takwa adalah menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Bukan hanya itu, Nabi mengingatkan agar ketakwaan itu hendaknya senantiasa menyertai seorang hamba di manapun dia berada, saat dia bersendirian ataupun di keramaian. Jika kita menelaah al-Qur’an dan hadis-hadis rasul, kita akan temui banyak sekali pembahasan terkait ketakwaan dan manfaatnya. Ketakwaan adalah sifat yang dicintai Allah dan letaknya di dalam hati. Allah berfirman:
ذٰلِكَ وَمَنْ يُّعَظِّمْ شَعَاۤىِٕرَ اللّٰهِ فَاِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوْبِ
Artinya, “Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya hal itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj/22: 32)
Dalam sebuah hadis Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengatakan, “Takwa itu di sini.” Sembari menunjuk dadanya.[1]
Kedua: Mengerjakan Kebaikan Guna Menghapus Keburukan
Bumi mana yang tak kena hujan? Dalam proses memupuk takwa dalam diri, tak jarang seorang hamba terjatuh dalam silap, entah ibadah yang tidak maksimal, niat yang tercemari oleh ria, dan bisa saja seorang hamba terjerembab dalam kemaksiatan. Oleh karena itu, Rasul shallallahu alaihi wasallam melanjutkan sabdanya sebagai petunjuk bagi seorang hamba untuk tidak putus asa mencari jalan menuju Rabb-nya, “Iringilah keburukan itu dengan kebaikan niscaya kebaikan itu akan menghapus keburukan tersebut.”
Allah berfirman di dalam al-Qur’an,
اِنَّ الْحَسَنٰتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّاٰتِۗ ذٰلِكَ ذِكْرٰى لِلذّٰكِرِيْنَ
Artinya, “Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah).” (QS. Hud/11: 114)
Dalam surah Ali Imrān Allah menjelaskan bahwa di antara sifat-sifat orang yang bertakwa adalah mereka langsung mengingat Allah dan berzikir menyebut-Nya untuk bangkit dari keterpurukan maksiat dan dosa.
وَالَّذِيْنَ اِذَا فَعَلُوْا فَاحِشَةً اَوْ ظَلَمُوْٓا اَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللّٰهَ فَاسْتَغْفَرُوْا لِذُنُوْبِهِمْۗ وَمَنْ يَّغْفِرُ الذُّنُوْبَ اِلَّا اللّٰهُ ۗ وَلَمْ يُصِرُّوْا عَلٰى مَا فَعَلُوْا وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ
Artinya, “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya. Siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali ‘Imran/3:135)
Namun apabila seseorang mampu meninggalkan keburukan dan menjauhi kemasiatan semaksimal mungkin maka itu lebih baik. Tidaklah sama kain yang mulus dengan kain yang penuh tambalan. Ibnu ‘Abbās pernah ditanyai tentang dua orang: yang pertama bersungguh-sungguh mengerjakan amal saleh namun terjatuh pula dalam kemaksiatan dan dosa sedang yang kedua amal salehnya biasa-biasa saja namun jarang sekali bermaksiat. Ibnu ‘Abbās menjawab, “Selamat (dari dosa) lebih aku sukai.”[2]
Al-Hasan al-Bashri berkata, “Tiada ibadah yang paling afdal dibandingkan meninggalkan apa yang Allah larang.”[3]
Syufaī al-Ashbahī berkata, “Meninggalkan dosa lebih mudah daripada meminta taubat.”[4]
Sebisa mungkin seorang hamba berusaha meninggalkan semua dosa. Namun apabila suatu saat dia terjatuh maka hendaknya segera bertaubat dan mengganti dosa tersebut dengan kebaikan.
اِلَّا مَنْ تَابَ وَاٰمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَاُولٰۤىِٕكَ يُبَدِّلُ اللّٰهُ سَيِّاٰتِهِمْ حَسَنٰتٍۗ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا
Artinya, “Kecuali orang-orang yang bertaubat dan beriman dan mengerjakan kebajikan, maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Furqan/25:70)
Ketiga: Bergaul dengan Akhlak Yang Mulia
Akhlak yang mulia adalah bagian dari pengejawantahan takwa dalam diri seseorang. Takwa dan akhlak yang mulia dapat mengantarkan seorang hamba ke surga. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah ditanya tentang sesuatu yang paling banyak memasukkan seseorang ke dalam surga, maka beliau pun menjawab, “Takwa kepada Allah dan akhlak yang mulia.”[5] Dalam hadis lain beliau bersabda, “Aku akan menjamin rumah di tepi surga bagi seseorang yang meninggalkan perdebatan meskipun dia benar. Aku juga menjamin rumah di tengah surga bagi seseorang yang meninggalkan kedustaan meskipun bersifat gurauan. Aku juga menjamin rumah di surga yang paling tinggi bagi seseorang yang berakhlak baik.”[6] Bahkan akhlak mulia adalah tanda keutamaan. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya di antara orang yang terbaik dari kalian adalah orang yang paling baik akhlaknya.”[7] Besaran ganjaran yang Allah berikan kepada pemilik akhlak mulia mengisyaratkan bahwa berakhlak mulia adalah sesuatu yang tidak mudah. Imam Ahmad pernah ditanyai tentang maksud dari akhlak mulia, “Yaitu dengan bersabar terhadap apa yang akan kamu dapati dari tingkah polah manusia”, jawab beliau.[8] Untuk mencapai akhlak yang mulia tidak semudah membalik telapak tangan. Perlu usaha, latihan, riyādhah, disertai doa yang dibalut kesungguhan dan kontinuitas. Di antara doa yang pernah dipanjatkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah sebagai berikut,
اهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَخْلَاقِ لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا لَا يَصْرِفُ سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ
Artinya, “Tunjukilah aku kepada akhlak yang baik, tidak ada yang dapat menunjuki kepada akhlak yang terbaik melainkan Engkau. Dan jauhkanlah aku dari akhlak yang tercela, tidak ada yang dapat menjauhkanku dari akhlak yang tercela melainkan Engkau.”[9]
Thāwūs bin Kaysān berkata, “Akhlak yang mulia itu adalah pemberian dari Allah kepada yang Dia kehendaki. Apabila Allah menginginkan kebaikan pada diri seorang hamba maka Allah akan beri dia akhlak yang baik.”[10]
Tiga hal inilah yang diwasiatkan dalam hadis ini. Semoga menjadi penerang bagi para pencari hidayah-Nya. Amin.
Footnote:
[1] Lihat: HR. Muslim (2565).
[2] Lihat: Al-Zuhd karangan Abū Dawūd hal. 337.
[3] Al-Wara’ hal. 8.
[4] Hilyah al-Auiyā` 5/167.
[5] HR. Tirmidzi (2004).
[6] HR. Abu Dawud (4800).
[7] HR. Bukhari (3559).
[8] Syu’ab al-Īmān karangan Imam al-Baihaqī 6/261.
[9] HR. Muslim (760).
[10] Makārim al-Akhlāq karangan Ibn Abī Dunyā hal 26.