Daftar Isi:
REDAKSI HADIS:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ الله عَنْه، قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْخَمْرِ عَشَرَةً : عَاصِرَهَا، وَمُعْتَصِرَهَا، وَشَارِبَهَا، وَحَامِلَهَا، وَالْمَحْمُولَةُ إِلَيْهِ، وَسَاقِيَهَا، وَبَائِعَهَا، وَآكِلَ ثَمَنِهَا، وَالْمُشْتَرِي لَهَا، وَالْمُشْتَرَاةُ لَهُ
“Dari Anas bin Mālik raḍiyallāhu ‘anhu, beliau berkata, ‘Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam melaknat dalam masalah khamar pada 10 hal: orang yang memerasnya, orang yang meminta diperaskan, orang yang meminumnya, orang yang membawanya, orang yang dibawakan, orang yang menuangkannya, orang yang menjualnya, orang yang memakan hasilnya, orang yang membelikan, dan orang yang dibelikan.’”
TAKHRIJ HADIS:
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Tirmizī (1295) dan Imam Ibnu Mājah (3381) dari jalur Abu ‘Āshim an-Nabīl al-Bashrī, dari Syabīb bin Bisyr al-Basrī, dari sahabat yang mulia Anas bin Mālik.
Sanad hadis di atas ada sedikit kelemahan disebabkan predikat dari Syabīb bin Bisyr al-Basrī. Keadaan beliau diperselisihkan oleh para pakar al-jarh wa al-ta’dīl. Kajian akhir dari Ibnu Hajar terkait beliau adalah shadūq yukhti’, maknanya secara harfiah adalah jujur namun terkadang jatuh ke dalam kesalahan. Nampaknya secuil kelemahan ini telah diisyaratkan oleh Imam al-Tirmizī. Beliau menilai hadis ini sebagai hadis yang asing dari hadis Anas. Namun keasingan ini hilang disebabkan banyaknya syawāhid (hadis penguat dari sahabat yang lain) seperti hadis dari Abdullāh bin Umar, Abdullāh bin Abbās, dan Abdullāh bin Mas’ud.[1] Alhasil hadis di atas dinilai sebagai hadis shahīh ligairihī sebagaimana diisyaratkan oleh Syekh Syu’aib al-Arnauṭ di beberapa tempat di Musnad Ahmad.[2]
Hadis ini, kendati merupakan ucapan sahabat Anas bin Mālik raḍiyallāhu ‘anhu, dihukum marfuk (hadis nabi) sebab Anas menyandarkan laknat bagi khamar kepada Rasulullah secara langsung.
Di antara keunikan yang menghiasi sanad hadis di atas adalah bahwa semua rawinya dari satu kota, yaitu Baṣrah. Bahkan Anas bin Mālik kendati berasal dari Kota Madinah juga tinggal di kota Baṣrah.
Di antara keunikan rawi hadis tentang keharaman khamar ini, hadis ini riwayatkan oleh ‘Abādilah yaitu para sahabat Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam yang sangat masyhur yang namanya dimulai dengan Abdullāh. Mereka adalah Abdullāh bin Umar, Abdullāh bin Abbās, dan Abdullāh bin Mas’ud radiyallāhu ‘anhum.
PROFIL SAHABAT:
Nama beliau adalah Anas bin Mālik bin al-Naḍr bin Ḍamḍam Abu Hamzah al-Anshari al-Khazraji. Beliau adalah pelayan Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam selama 10 tahun, profilnya telah dipaparkan di serial hadis pilihan yang lalu.[3]
PENJELASAN HADIS:
Dalam sebuah riwayat Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam menahbiskan khamar sebagai ummu al-khabaiṡ[4] (biang kejahatan dan kekejian). Tentunya ucapan tersebut bukan sekadar ucapan yang keluar dari lisan semata tanpa fakta, namun tentunya penahbisan tersebut berlandaskan fakta dan realita. Hadis ini juga menegaskan kekejian khamar sampai Rasulullah melaknat semua oknum yang memiliki hubungan dengannya meskipun hubungan tersebut sangat sepele. Semuanya terlaknat lewat lisan Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam yang mulia. Laknat ini menjadi begitu mengerikan dan berat jika melihat sifat dasar Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam yang sangat lembut, pemalu, serta tidak pernah mengeluarkan kata-kata keji, kotor, dan lain sebagainya. Tentunya laknat yang keluar dari lisan beliau memiliki landasan dan sumber yang sangat kuat bahwa laknat tersebut bersumber dari Allah azza wajalla, dan hal ini terbukti dengan riwayat yang datang dari Abdullāh bin Abbās bahwa Rasulullah bersabda,
أَتَانِي جِبْرِيلُ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَعَنَ الْخَمْرَ…
“Jibril mendatangiku dan mengatakan, ‘Wahai Muhammad sesungguhnya Allah azza wajalla melaknat khamar….’”[5]
- Ucapan Anas bin Mālik,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam melaknat…”
Yang dimaksud dengan melaknat dalam etimologi Bahasa Arab adalah mengusir dan menjauhkan dari rahmat Allah azza wajalla [6]. Berpijak dari makna ini dapat tercium konsekuensi berat dari kalimat ini, hal ini disebabkan dua hal:
Pertama: kalimat di atas bermakna dijauhkannya seseorang dari rahmat Allah. Maka kalimat ini tidak diucapkan kecuali kepada dua obyek, yaitu orang kafir atau orang yang jauh dari derajat orang bertakwa dan saleh.[7]
Kedua: kalimat la’ana Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam konteksnya adalah doa. Jadi makna Rasulullah mendoakan seseorang agar jauh dari rahmat Allah.[8]
Jadi letak kengeriannya adalah doa tersebut bersumber dari lisan mulia Rasulullah. Hal ini menunjukkan kekejian dan keburukan dari perbuatan yang dilaknat tersebut.
Kalimat ini (laknat) mengindikasikan bahwa perbuatan yang dilaknat masuk dalam klasifikasi dosa besar sebagaimana definisi Ibnu Abbās terhadap dosa besar.[9]
- Ucapan Anas bin Mālik,
فِي الْخَمْرِ
“Dalam masalah khamar”
Secara etimologi Bahasa Arab, makna khamar adalah menutup dan menghalangi. Makanya jilbab wanita, penutup kepala dan wajahnya dalam Bahasa Arab biasanya disebut dengan khimār.[10] Maknanya secara istilah syariat adalah semua zat yang dapat memabukkan jika dikonsumsi dalam jumlah yang sedikit maupun banyak, baik itu terbuat dari kurma, anggur, maupun gandum.[11] Definisi ini nampaknya mengkhususkan jenis minuman yang memabukkan saja, dan terbuat dari bahan-bahan yang alami seperti buah-buahan. Namun sejatinya, hakikat khamar bukan hanya zat yang diminum saja sebab Rasulullah sendiri telah menjelaskan makna dari khamar tersebut dengan bersabda,
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
“Setiap yang memabukkan adalah khamar, dan setiap yang memabukkan adalah haram.”[12]
Hadis ini menjelaskan tentang hakikat khamar, yaitu zat yang dapat memabukkan, dan hadis ini umum, mencakup zat yang diminum, yang dihisap, yang disuntikkan, dan lain sebagainya. Hal ini juga mencakup zat yang dibuat dari bahan-bahan alami maupun dari bahan kimia.
Ibnu Hajar al-‘Asqalānī mengatakan,
واستُدل بمطلق قوله: (كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ) على تحريم ما يسكر ولو لم يكن شرابا ، فيدخل في ذلك الحشيشة وغيرها
“Dapat disimpulkan dari sabda Nabi ‘setiap yang memabukkan hukumnya haram’ atas haramnya semua yang memabukkan meskipun bukan dari jenis minuman. Maka tercakup dalam larangan ini larangan mengonsumsi ganja dan lain sebagainya.”[13]
Alhasil, yang di maksud dengan khamar adalah zat yang dapat memabukkan atau dapat menghilangkan akal sehingga menghalanginya untuk berpikir secara sehat, baik dikonsumsi dengan cara diminum, dihisap, disuntikkan, dalam bentuk tablet, dan lain sebagainya.
Jadi khamar memiliki dua efek:
Pertama: efek memabukkan, yaitu memberikan efek perasaan gembira dan nikmat yang tidak terkontrol bagi pengkonsumsinya seakan memberikan efek melayang (fly) yang dapat menimbulkan kerusakan perangai dan moralitas serta membuka pintu syahwat selebar-lebarnya.
Kedua: menutup akal sehat sehingga ucapan dan perbuatannya tidak terkontrol.
Efek pertama mewariskan kenikmatan dan kesenangan semu yang bermuara pada kemalasan dan kelesuan untuk beraktifitas. Adapun efek kedua menimbulkan perbuatan dan ucapan yang ngawur yang menimbulkan permusuhan dan perkelahian.[14]
Dari pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kalimat khamar tidak berhubungan dengan merek tertentu atau nama minuman dan zat tertentu namun berkaitan dengan efek yang ditimbulkan yaitu mabuk atau menghilangkan akal, meskipun diberi label dengan nama-nama yang syar’i dan diberi stempel halal oleh lembaga tertentu.
- Ucapan Anas bin Mālik,
عَاصِرَهَا
“Orang yang memerasnya”
Yaitu produsennya, baik tujuannya untuk dikonsumsi secara pribadi maupun dikonsumsi oleh orang lain. Pada zaman ini masuk dalam ancaman hadis ini adalah para buruh di perusahaan khamar meskipun mereka tidak ikut mengonsumsinya.
- Ucapan Anas bin Mālik,
وَمُعْتَصِرَهَا
“Orang meminta diperaskan”
Orang yang meminta diperaskan adalah yang minta dibuatkan khamar baik untuk konsumsi pribadi maupun untuk dikonsumsi orang lain.[15] Objek ini mencakup para cukong dan pebisnis yang hanya ingin mengeruk keuntungan dari bisnis ini meskipun mereka tidak mengonsumsi produknya. Mereka hanya mengeluarkan modal untuk memproduksi produk khamar tersebut.
- Ucapan Anas bin Mālik,
وَشَارِبَهاَ
“Orang yang meminumnya”
Yaitu konsumennya. Hadis ini mutlak, tidak disebutkan kadar khamar yang diminum. Maka tercakup dalam hadis ini semua orang yang mengonsumsi khamar meskipun sedikit, bahkan kendati belum dan tidak memberikan efek mabuk bagi pengonsumsinya. Di dalam hadis yang lain, dengan tegas Rasulullah mengharamkan mengonsumsi khamar sedikit ataupun banyak. Beliau bersabda,
مَا أَسْكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ
“Zat yang dapat memabukkan jika dikonsumi banyak, maka mengonsumsinya sedikit (juga) haram.”
Selain laknat dari lisan Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam, kelompok ini terancam dengan keburukan yang lain atau hukuman seperti terancam tidak diterima salatnya selama 40 hari[16] dan terancam hukuman cambuk dengan kadar minimal 40 cambukan.[17]
- Ucapan Anas bin Mālik,
وَحَامِلَهَا
“Orang yang membawanya”
Yaitu orang-orang yang pekerjaannya mengangkut dan mendistribusikannya kepada pedagang dan pengecer. Jadi tercakup dalam hadis ini para sopir yang mengangkut barang ini.
- Ucapan Anas bin Mālik,
وَسَاقِيَهَا
“Orang yang yang menuangkannya.”
Yaitu orang yang menuangkannya ke dalam gelas untuk diminum pengonsumsinya kendati ia tidak turut serta menikmati minuman tersebut. Ini adalah hal jamak yang banyak terjadi di bar ataupun café. Bahkan pada zaman para Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam dahulu, sahabat Anas bin Mālik (rawi hadis ini) pernah berperan menjadi penuang khamar bagi Abu Thalhah, Abu Dujānah, Suhail bin al-Baiḍā, dan sahabat yang lain.[18] Peristiwa tersebut terjadi sebelum pengharaman khamar.
- Ucapan Anas bin Mālik,
وَبَائِعَهَا
“Orang yang menjualnya.”
Zahir hadis ini umum, mencakup distributor resminya sampai pedagang pengecernya yang di pinggir jalan.”
- Ucapan Anas bin Mālik,
وَآكِلَ ثَمَنِهَا
“Orang yang memakan hasil jualannya.”
Dalam hadis yang lain, dengan tegas Rasulullah bersabda,
وَإِنَّ الْخَمْرَ حَرَامٌ وَثَمَنُهَا حَرَامٌ
“Sesesungguhnya khamar haram dan hasil penjualannya juga haram.”[19]
Zahir hadis ini, semua pihak yang memakan hasil penjualan khamar tercakup dalam hadis ini. Jadi tercakup dalam hadis ini pihak ketiga atau bahkan pihak keempat. Maka dikhawatirkan pihak keluarga yakni istri dan anak-anak juga tercakup dalam laknat hadis ini.
- Ucapan Anas bin Mālik,
وَالْمُشْتَرِي لَهَا
“Orang yang membelikan”
Baik untuk dikonsumsi maupun untuk jadikan bisnis.[20]
FIKIH HADIS:
- Khamar adalah sifat bagi makanan, minuman, ataupun zat yang lainnya yang dapat memabukkan atau dapat menghilangkan akal sehingga menghalanginya untuk berpikir dengan sehat, baik zat tersebut berasal dari bahan-bahan alami seperti kurma, anggur, gandum, dan lain sebagainya, maupun berasal dari zat kimia seperti alkohol.
- Laknat adalah doa agar seseorang dijauhkan dari rahmat Allah azza wajalla, dan aktifitas ini merupakan salah satu indikasi bagi dosa besar.
- Akhlak dan moralitas merupakan nilai yang sangat dijunjung tinggi oleh syariat Islam. Nilai ini adalah bagian dari misi diutusnya Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam dan nilai ini pulalah yang membedakan antara manusia dengan binatang. Oleh karena itu syariat Islam mengharamkan semua sarana yang dapat merusak nilai ini, di antaranya adalah khamar.
- Pengharaman khamar merupakan bentuk pemuliaan Allah azza wajalla bagi umat Muhammad ṣallallāhu ‘alaihi wasallam, sebab khamar merupakan induk segala dosa, dan biang dari kerusakan, yang mana khamar dapat menimbulkan permusuhan dan pertumpahan darah, kerusakan moralitas dan akhlak, serta merusak kesehatan dan akal.[21]
- Hadis ini menunjukkan bahwa semua pihak yang memiliki andil dalam aktifitas maksiat terancam untuk terpercik dosa dari maksiat tersebut. Masalah ini inklusif dalam bab bekerjasama dalam kemaksiatan.
- Kadar dosa yang didapat oleh pihak-pihak yang berperan dalam kemaksiatan berbeda-beda, sesuai dengan kadar saham yang diperankan dalam maksiat tersebut.
- Haramnya suatu barang berkonsekuensi pada pengharaman aktifitas jual beli barang tersebut.
- Tidak dijelaskan di dalam hadis tetang kadar dosa orang yang melegalkan penjualan khamar sebab masalah penghalalan dan pengharaman adalah hak Allah azza wajalla dan bukan hak manusia. Oleh karena itu aktifitas menghalalkan perkara yang diharamkan Allah azza wajalla adalah bagian dari kekufuran, kecuali jika aktifitas penghalalan tersebut hanya sebatas legalitas penjualannya saja dengan tetap meyakini keharamannya. Maka hal ini masuk dalam kategori dosa besar, bahkan dosanya berpotensi lebih besar dari yang oknum-oknum yang dilaknat di atas karena membolehkan dan melegalkan kemungkaran terjadi sedangkan dia mampu untuk mencegahnya.
- Hadis ini menunjukkan kemuliaan dan keagungan sunah (hadis), dan menunjukkan besarnya kebutuhan al-Qur’an terhadap penjelasan sunah sebab urusan khamar al-Qur’an hanya menjelas proses dan tahapan pengharamannya. Adapun definisi khamar, kadar dosa orang yang bersentuhan dengannya, hukuman yang ditetapkan di dunia, semuanya dijelaskan secara gamblang oleh sunah Nabi. Sungguh benar ucapan Makhūl,
القرآن أحوج إلى السنة من السنة إلى الكتاب
“Kebutuhan al-Qur’an kepada sunah lebih besar dibandingkan kebutuhan sunah kepada Al-Qur’an.”[22]
Sebab sunah banyak menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang umum dan global.
Footnote:
[1]Sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Tirmizī setelah meriwayatkan hadis nomor (1295).
[2]Contohnya di 5/74.
[3] Lihat: https://markazsunnah.com/keutamaan-tobat/
[4] Sunan An-Nasai, nomor hadis (5666).
[5] Musnad Ahmad, nomor hadis (2897).
[6] Minhatul ‘Allām (4/364).
[7] Al-Kulliyāt, karya Abul Baqā’ al-Kafūmī, hal. 1278.
[8] Minhatul ‘Allām (4/364).
[9] Syu’abu al-Īmān, karya al-Baihaqī (1/460).
[10] Maqāyīsu al-Lugah, karya Ibnu Fāris (2/215).
[11] Al-Furū’ karya Ibnu Muflih (10/96).
[12] Shahīh Muslim, nomor hadis (2003).
[13] Fathu al-Bārī (10/45).
[14] https://islamqa.info/ar/answers/66227/
[15] Tuhfatu al-Ahwazī (4/430).
[16] Hadis Abdullah bin ‘Amr, diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnad-nya, nomor hadis (6644).
[17] Shahīh Muslim, nomor hadis (1706).
[18] Lihat Shahīh Bukhāri, nomor hadis (5600).
[19] Musnad Ahmad, nomor hadis (17995).
[20] Tuhfatu al-Ahwazī (4/430).
[21] Al-Ifṣāh, karya Ibnu Hubairah (1/361).
[22] Jamiu Bayani al-‘Ilmi, karya Ibnu Abdilbarr (2/368).
Masya allah. barakallahu fiikum
masyaallah, syukron. hafidzakumullah