MENGQADA SALAT KARENA UZUR SYAR’I (BAGIAN KEDUA)

95
Mengqada Salat Karena Uzur Syar’i
Perkiraan waktu baca: 3 menit

وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ: أَنَّ عُمَرَ جَاءَهُ يَوْمَ الخَنْدَقِ بَعْدَ مَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ، فَجَعَلَ يَسُبُّ كُفَّارَ قُرَيْشٍ، وَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ مَا كِدْتُ أُصَلِّي الْعَصْرَ حَتَّى كَادَتِ الشَّمْسُ تَغْرُبُ، فَقَالَ النَّبِيُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((وَاللهِ مَا صَلَيْتُهَا)). قَالَ: فَقُمْنَا إِلَى بُطْحَانَ، فَتَوَضَّأَ لِلصَّلَاةِ، وَتَوَضَّأْنَا لَهَا، فَصَلَّى الْعَصْرَ بَعْدَ مَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ، ثُمَّ صَلَّى بَعْدَهَا الْمَغْرِبَ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Artinya:

Dari Jābir bin ‘Abdullāh radhiyallāhu’anhu bahwa ‘Umar bin al-Khaṭṭāb pada peristiwa Khandak datang ketika matahari telah terbenam sambil melaknat orang-orang kafir Quraisy, dia berkata, “Wahai Rasulullah, hampir saja saya tidak melaksanakan salat Asar, padahal matahari hampir saja terbenam.” Nabi ﷺ bersabda, “Demi Allah, saya belum melaksanakan salat tersebut.” Dia berkata, “Maka kami pun mendatangi Buṭḥān, beliau berwudu untuk salat maka kami pun berwudu yang sama, kemudian kami melaksanakan salat Asar setelah matahari terbenam, kemudian beliau salat Magrib setelahnya.” Muttafaqun ‘Alaihi[1]

Daftar Isi:

Kosa kata hadis:

  1. Peristiwa Khandak (يَوْمَ الخَنْدَقِ) adalah peperangan dimana kaum kafir Quraisy bersekutu dengan kabilah-kabilah Najd untuk mengepung kota Madinah.[2]

Khandak adalah lafaz bahasa Persia yang telah diserap ke dalam bahasa Arab, artinya galian atau parit. Peristiwa Khandak terjadi pada tahun kelima atau keempat Hijriah.[3]

  1. شَغَلُونَا عَنِ الصَّلَاةِ artinya “Mereka telah menyibukkan kita dari (melaksanakan) salat”, makna dari ungkapan Nabi ﷺ tersebut adalah bahwa kesibukan beliau menghadapi pasukan Ahzab telah menyebabkan beliau lupa untuk salat dan bukan sesuatu yang disengaja. Menurut sebagian ulama, beliau mendahulukan kesibukan tersebut agar bisa salat dengan kondisi lebih aman.[4]
  2. بُطْحَانَ dapat dibaca dengan ḍammah huruf atau harakat fatḥah. Buṭḥān adalah nama lembah yang ada di kota Madinah Nabawiyah – Semoga Allah ﷻ senantiasa menjaganya-.[5]
Baca juga:  SYARAT TEMPAT DAN IZIN PENGUASA (SYARAT-SYARAT WAJIB PELAKSANAAN SALAT JUMAT – BAGIAN KETIGA)

Makna hadis:

‘Umar bin al-Khaṭṭāb radhiyallāhu’anhu menemui Nabi ﷺ pada peristiwa Khandak pada waktu matahari telah tenggelam di ufuk barat, sambil mencela orang-orang kafir karena mereka (dengan serangan dan pengepungan tersebut) telah menyibukkan beliau hingga belum dapat melaksanakan salat Asar padahal matahari telah tenggelam.

Nabi ﷺ kemudian bersumpah dengan maksud menenangkan ‘Umar radhiyallāhu’anhu bahwa beliau juga belum salat. Kemudian Nabi ﷺ bangkit dan berwudu bersama para sahabatnya untuk menunaikan salat Asar dan setelahnya melaksanakan salat Magrib.[6]

Faedah dan istinbat dari hadis:

  1. Kewajiban mengqada salat yang belum dilaksanakan meskipun telah terlewat waktunya karena uzur syar’i.
  2. Hadis ini adalah hujah bagi jumhur ulama yang berfatwa tentang bolehnya menjamak salat bagi orang yang belum melaksanakan salat hingga keluar waktunya karena uzur yang dapat diterima seperti tertidur atau yang semisalnya.[7]
  3. Bolehnya melaksanakan salat fardu yang belum dilaksanakan pada waktunya atau telah keluar waktunya secara berjemaah.

Pada hadis yang lain, Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya melaksanakan salat Subuh secara berjemaah setelah matahari terbit karena mereka tertidur pulas dalam perjalanan safar tersebut.

  1. Hadis ini juga menunjukkan bahwa ketika seseorang terlewatkan melaksanakan salat kemudian ingat setelah keluar waktunya dan sudah masuk waktu salat yang lain, hendaknya ia memulai dengan salat yang sebelumnya terlebih dahulu, kemudian melaksanakan salat yang lain yang telah hadir waktunya tersebut.

Melaksanakan salat tersebut secara tertib dan berurutan adalah perkara yang disepakati oleh para ulama, kecuali Imam al-Syāfi’ī yang mengatakan bahwa hal tersebut adalah istiḥbāb hukumnya.

Seandainya dia melaksanakan salat yang sedang hadir waktunya kemudian salat yang terlewatkan maka hal tersebut adalah jā’iz (boleh).

Baca juga:  HADIS KE-35 AL-ARBA’IN: HAK-HAK PERSAUDARAAN DALAM ISLAM (BAGIAN PERTAMA)

Sedangkan Mālik dan Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa tertib dan berurutan dalam melaksanakan salat qada adalah wajib hukumnya, artinya jika tidak tertib maka tidak sah.[8]

Bagaimana jika salat yang terlewatkan banyak jumlahnya? Empat waktu salat atau lima yang merupakan salat sehari semalam.

Untuk kasus yang terakhir ini, ulama sepakat untuk melaksanakan salat yang telah hadir waktunya.[9]

  1. Hadis ini menjadi dalil bantahan bagi fatwa Ibrāhīm al-Nakhā’ī raḥimahullāh yang mengatakan bahwa makruh hukumnya bagi seseorang jika ditanya, “Apakah Anda sudah salat?” Kemudian dia menjawab, “Saya belum salat.” Tetapi dia harus menjawab, “Saya (akan) salat.”

Rasulullah ﷺ jelas dan tegas menjawab, “Demi Allah, saya belum melaksanakan salat tersebut.”[10]

  1. Hadis tersebut menunjukkan bolehnya mencela orang musyrik atau mendoakan keburukan atas mereka karena Nabi ﷺ tidak melarang hal tersebut dilakukan oleh ‘Umar radhiyallāhu’anhu. Tidak disebutkan lafaz yang digunakan, namun hendaknya dengan kalimat yang tidak mengandung lafaz yang kotor atau melanggar norma susila.[11]
  2. Bolehnya bersumpah meski tidak diminta jika ada maslahat untuk penegasan dan agar lebih yakin.
  3. Hadis tersebut menunjukkan budi pekerti yang mulia dari Nabi Muhammad ﷺ kepada para sahabatnya. Beliau tidak tergesa-gesa dan bijak serta menjaga persatuan di antara mereka dan semua itu pantas untuk dijadikan sebagai teladan.[12]
  4. Disyariatkan membantu meringankan beban orang lain yang sedang menghadapi musibah meskipun hanya dengan kata-kata.[13]

 

 


Footnote:

[1] H.R. al-Bukhārī (596) dan Muslim (631).

[2] ‘Abdullāh bin Ṣāliḥ al-Bassām. Taisīr ‘Allām Syarḥ ‘Umdatil Aḥkām. Jilid 1, hlm. 102.

[3] Badruddīn al-‘Ainī. Syaraḥ Sunan Abī Dāwud. Jilid 2, hlm. 269.

[4] Ibnu Daqīq al-‘Īd. Iḥkāmul Aḥkām Syarḥ ‘Umdatil Aḥkām. Jilid 1, hlm. 186.

Baca juga:  AZAN BAGI MUSAFIR

[5] Al-Nawawī. Al-Minhāj. Jilid 5, hlm. 132.

[6] ‘Abdullāh bin Ṣāliḥ al-Bassām. Taisīr ‘Allām Syarḥ ‘Umdatil Aḥkām. Jilid 1, hlm. 102.

[7] Ibnu Baṭṭāl; ‘Ālī bin Khalaf bin ‘Abdul Mālik (w.449 H). 1432 H. Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Maktabah al-Rusyd, Riyāḍ, KSA. Jilid 2, hlm. 217.

[8] Al-Nawawī. Al-Minhāj. Jilid 5, hlm. 132.

[9] Ibnu Hajar al-‘Asqalānī; Aḥmad bin ‘Ālī (w.852 H). 1379 H. Fatḥul Bāri Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Dārul Ma’rifah, Bairūt. Jilid 2, hlm. 70.

[10] Ibnu Baṭṭāl. Op. Cit. Jilid 2, hlm. 217.

[11] Ibnu Daqīq al-‘īd. Iḥkāmul Aḥkām Syarḥ ‘Umdatil Aḥkām. Jilid 1, hlm. 186.

[12] Ibnu Hajar al-‘Asqalānī. Fatḥul Bārī Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Jilid 2, hlm. 70.

[13] ‘Abdullāh bin Ṣāliḥ al-Bassām. Taisīr ‘Allām Syarḥ ‘Umdatil Aḥkām. Jilid 1, hlm. 103.

Subscribe
Notify of
guest
1 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Luluk Purwicendani binti Jasmo

بسم الله الرحمن الرحيم
Ada pesan..
Kalau ada wanita yang menawarkan dirinya untuk kalian nikahi maka katakanlah ke dia dengan lembut semisal ucapan ; maaf saya bukan nabi
Karena Allah Berfirman;

﴿يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ إِنَّآ أَحۡلَلۡنَا لَكَ أَزۡوَٰجَكَ ٱلَّٰتِىٓ ءَاتَيۡتَ أُجُورَهُنَّ وَمَا مَلَكَتۡ يَمِينُكَ مِمَّآ أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَيۡكَ وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّٰتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ خَٰلَٰتِكَ ٱلَّٰتِى هَاجَرۡنَ مَعَكَ وَٱمۡرَأَةً مُّؤۡمِنَةً إِن وَهَبَتۡ نَفۡسَهَا لِلنَّبِىِّ إِنۡ أَرَادَ ٱلنَّبِىُّ أَن يَسۡتَنكِحَهَا خَالِصَةً لَّكَ مِن دُونِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ۗ قَدۡ عَلِمۡنَا مَا فَرَضۡنَا عَلَيۡهِمۡ فِىٓ أَزۡوَٰجِهِمۡ وَمَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُمۡ لِكَيۡلَا يَكُونَ عَلَيۡكَ حَرَجٌ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا﴾ (٥٠)

50. O Prophet, indeed We have made lawful to you your wives to whom you have given their due compensation and those your right hand possesses from what Allah has returned to you [of captives] and the daughters of your paternal uncles and the daughters of your paternal aunts and the daughters of your maternal uncles and the daughters of your maternal aunts who emigrated with you and a believing woman if she gives herself to the Prophet [and] if the Prophet wishes to marry her, [this is] only for you, excluding the [other] believers. We certainly know what We have made obligatory upon them concerning their wives and those their right hands possess, [but this is for you] in order that there will be upon you no discomfort. And ever is Allah Forgiving and Merciful.