KAIFIAT AZAN

26
KAIFIAT AZAN
Perkiraan waktu baca: 3 menit

وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ رَبِّهِ قَالَ: لَمَّا أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالنَّاقُوسِ يُعْمَلُ لِيُضْرَبَ بِهِ لِلنَّاسِ لِجَمْعِ الصَّلَاةِ طَافَ بِي وَأَنَا نَائِمٌ رَجُلٌ يَحْمِلُ نَاقُوسًا فِي يَدِهِ، فَقُلْتُ: يَا عَبْدَ اللَّهِ أَتَبِيعُ النَّاقُوسَ؟ قَالَ: وَمَا تَصْنَعُ بِهِ؟ فَقُلْتُ: نَدْعُو بِهِ إِلَى الصَّلَاةِ، قَالَ: أَفَلَا أَدُلُّكَ عَلَى مَا هُوَ خَيْرٌ مِنْ ذَلِكَ؟ فَقُلْتُ لَهُ: بَلَى، قَالَ: فَقَالَ: تَقُولُ: اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ، حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، قَالَ: ثُمَّ اسْتَأْخَرَ عَنِّي غَيْرَ بَعِيدٍ، ثُمَّ، قَالَ: وَتَقُولُ: إِذَا أَقَمْتَ الصَّلَاةَ، اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ، قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ، قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ، اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، فَلَمَّا أَصْبَحْتُ، أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخْبَرْتُهُ، بِمَا رَأَيْتُ فَقَالَ: ((إِنَّهَا لَرُؤْيَا حَقٌّ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، فَقُمْ مَعَ بِلَالٍ فَأَلْقِ عَلَيْهِ مَا رَأَيْتَ، فَلْيُؤَذِّنْ بِهِ، فَإِنَّهُ أَنْدَى صَوْتًا مِنْكَ)). فَقُمْتُ مَعَ بِلَالٍ، فَجَعَلْتُ أُلْقِيهِ عَلَيْهِ، وَيُؤَذِّنُ بِهِ، قَالَ: فَسَمِعَ ذَلِكَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، وَهُوَ فِي بَيْتِهِ فَخَرَجَ يَجُرُّ رِدَاءَهُ، وَيَقُولُ: وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَقَدْ رَأَيْتُ مِثْلَ مَا رَأَى، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((فَلِلَّهِ الْحَمْدُ)). رَوَاهُ أَحْمد، وَأَبُو دَاوُد وَهَذَا لَفْظُهُ، وَابْنُ مَاجَه، وَابْنُ خُزَيْمَةَ، وَابْنُ حِبَّانَ، (وَرَوَى التِّرْمِذِيُّ بَعْضَهُ وَصَحَّحَهُ) وَزَادَ أَحْمَدُ: فَكَانَ بِلَالٌ مَوْلَى أَبِي بَكْرٍ يُؤَذِّنُ بِذَلِكَ، وَيَدْعُو رَسُولَ اللهِ إِلَى الصَّلَاةِ، قَالَ: فَجَاءَهُ فَدَعَاهُ ذَاتَ غَدَاةٍ إِلَى الْفَجْرِ، فَقِيلَ لَهُ: إِنَّ رَسُولَ اللهِ نَائِمٌ، قَالَ: فَصَرَخَ بِلَالٌ بِأَعْلَى صَوْتِهِ الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ، قَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ: فَأُدْخِلَتْ هَذِهِ الْكَلِمَةُ فِي التَّأْذِينِ إِلَى صَلَاةِ الْفَجْرِ. قَالَ البُخَارِيُّ: لَا يُعْرَفُ لِعَبْدِ اللهِ بْن زَيْدٍ إِلَّا حَدِيثُ الْأَذَانِ

Baca juga:  HADIS MEMBELAKANGI KIBLAT PADA SAAT BUANG HAJAT

Artinya:

Dari ‘Abdullāh bin Zaid bin ‘Abdi Rabbih, dia berkata, “Sewaktu Rasulullah ﷺ hendak memerintahkan supaya memakai lonceng yang dipukul untuk mengumpulkan orang-orang yang mengerjakan salat, ada seorang laki-laki berkeliling bertemu denganku, sedang saya dalam keadaan tidur. Ia membawa lonceng di tangannya, maka saya berkata, ‘Wahai hamba Allah, apakah kamu mau menjual lonceng ini?’ Dia bertanya, ‘Apa yang akan kamu lakukan dengannya?’ Saya menjawab, ‘Saya akan pakai untuk memanggil orang-orang mengerjakan salat.’ Orang itu berkata, ‘Maukah saya tunjukkan kepadamu yang lebih baik dari itu?’ Saya katakan kepadanya, ‘Tentu.’ Orang itu berkata, ‘Engkau ucapkan, ‘ALLĀHU AKBAR ALLĀHU AKBAR, ALLĀHU AKBAR ALLAHU AKBAR, ASYHADU AN LĀ ILĀHA ILLA ALLĀH, ASYHADU AN LĀ ILĀHA ILLA ALLĀH, ASYHADU ANNA MUḤAMMADAR RASŪLULLĀH, ASYHADU ANNA MUḤAMMADAR RASŪLULLĀH, HAYYA ‘ALAS ṢALĀH, HAYYA ‘ALAS ṢALĀH, HAYYA ‘ALAL FALĀḤ HAYYA ‘ALAL FALĀḤ, ALLĀHU AKBAR ALLĀHU AKBAR, LĀ ILĀHA ILLA ALLĀH.’ ‘Abdullāh bin Zaid bin ‘Abdi Rabbih berkata, ‘Lalu dia mundur (menjauhi saya) dalam jarak yang tidak jauh.’ Dia berkata, ‘Lalu kamu baca, jika kamu hendak iqamat untuk salat, ‘ALLĀHU AKBAR ALLĀHU AKBAR, ASYHADU AN LĀ ILĀHA ILLA ALLĀH, ASYHADU ANNA MUḤAMMADAR RASŪLULLĀH, HAYYA ‘ALAS ṢALĀH, HAYYA ‘ALAL FALĀḤ, QAD QĀMATIS ṢALĀH, QAD QĀMATIS ṢALĀH ALLĀHU AKBAR ALLĀHU AKBAR, LĀ ILĀHA ILLA ALLĀH.’ Dia (‘Abdullāh bin Zaid bin ‘Abdi Rabbih) berkata, ‘Tatkala pagi hari, saya menemui Rasulullah ﷺ, lalu saya mengabarkan kepada beliau dengan apa yang saya alami.’ Lalu Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Itu adalah mimpi yang hak (benar), dengan izin Allah, maka datangilah Bilal dan ajarkan dia apa yang kamu lihat tersebut, lalu kumandangkan azan dengannya, karena dia memiliki suara yang lebih nyaring darimu.’ Aku pun menemui Bilal dan mengajarkan lafaz tersebut untuk azan yang dikumandangkannya. Dia (‘Abdullāh bin Zaid bin ‘Abdi Rabbih) berkata, ‘Ternyata ‘Umar bin al-Khaṭṭāb mendengar perkara tersebut dari rumahnya, maka dia keluar (dengan tergesa-gesa) sambil menyeret kainnya dan berkata, ‘Demi Zat yang mengutus Anda dengan hak wahai Rasulullah, sungguh aku telah melihat (dalam mimpi) hal yang serupa dengannya.’ Rasulullah bersabda, ‘FALILLĀHIL ḤAMD (segala puji bagi Allah)’.”

Baca juga:  HADIS-HADIS TENTANG KEKHUSUSAN HARI JUMAT

Ahmad (meriwayatkan) dengan tambahan lafaz, “Bilal yang merupakan maula Abū Bakar mengumandangkan azan dengan (lafaz) tersebut. Dia (‘Abdullāh bin Zaid bin ‘Abdi Rabbihi raḍiyallahu’anhu) berkata, ‘Suatu ketika dia (Bilal) hendak memanggil Rasulullah ﷺ untuk melaksanakan salat Fajar, namun disampaikan kepada dia bahwa Rasulullah ﷺ masih tidur. Lalu (Bilal raḍiyallahu’anhu) dia berteriak dengan suaranya yang paling nyaring, ‘ĀṢ-ṢALĀTU KHAIRUN MINANNAUM (salat lebih baik dari tidur)’.” Sa’īd bin Musayyab berkata, “Kemudian kalimat itu dimasukkan dalam kalimat azan pada salat Fajar.”

Al-Bukhari pernah berkata, “‘Abdullāh bin Zaid hanya diketahui meriwayatkan hadis azan (tidak ada selain hadis tersebut).” [1]

Daftar Isi:

Kosa kata hadis:

  1. فَإِنَّهُ أَنْدَى صَوْتًا مِنْكَ artinya dia (Bilal) lebih karena dia memiliki suara yang lebih nyaring darimu.
  2. ثُمَّ اسْتَأْخَرَ عَنِّي غَيْرَ بَعِيدٍ artinya lalu dia mundur (menjauhi saya) dalam jarak yang tidak jauh.
  3. إِنَّهَا لَرُؤْيَا حَقٌّ إِنْ شَاءَ اللَّهُ artinya itu adalah mimpi yang hak, dengan izin Allah.

Faedah dan istinbat dari hadis:

  1. Hadis tersebut menjelaskan dengan eksplisit bahwa lafaz azan diucap secara dobel, sedangkan lafaz iqamat hanya satu kali. Demikianlah mazhab kebanyakan ulama dan praktik pengamalan di Haramain (dua tanah suci), Hijaz, negeri Syam, Yaman, hingga negeri-negeri Islam yang jauh.

Hal ini juga selaras dengan pendapat Imam al-Ḥasan al-Baṣrī, Makhul, al-Zuhrī, Mālik, al-Auza’ī, al-Syāfi’ī, Aḥmad bin Hambal dan Isḥāq bin Rahawaih.

  1. Orang yang memiliki suara yang keras dan nyaring lebih pantas menjadi muazin, karena azan adalah pemberitahuan. Siapa yang suaranya lebih bisa menyampaikan panggilan salat maka dia lebih berhak dan lebih pantas menjadi muazin.
  2. Anjuran untuk mengambil posisi yang berbeda ketika mengumandangkan azan dan iqamat.[2]
  3. Hadis tersebut juga memberikan faedah bahwa azan dilakukan dengan cara berdiri, ini adalah mazhab semua ulama kecuali Abū Ṡ Mazhab jumhur ulama berdiri ketika azan adalah sunah, jika muazin duduk meskipun tanpa uzur maka azannya sah.[3]
  4. Pengamalan azan dengan lafaz tersebut bukanlah semata-mata ilham yang didapat dari mimpi saja, akan tetapi setelah mimpi tersebut disetujui dan ditetapkan oleh Nabi Muḥammad ﷺ.
  5. Apa hikmah pengkhususan azan dengan mimpi para sahabat dan bukan melalui cara wahyu?
  6. Nabi Muhammad ﷺ telah diperlihatkan azan ketika malam mikraj di langit yang ketujuh, dan hal tersebut lebih kuat dari sekadar wahyu. Fardu azan disyariatkan belakangan pada periode Madinah, ketika beliau ingin memberitahu kaum Muslim waktu salat, wahyu belum juga turun hingga ‘Abdullāh bin Zaid melihat mimpi tersebut dan sesuai yang pernah dilihat Nabi Muḥammad ﷺ sehingga beliau mengatakan, “Itu adalah mimpi yang hak, dengan izin Allah.” Apa yang beliau lihat di langit kemudian menjadi sunah di permukaan bumi.
Baca juga:  SYARAT-SYARAT SAH PELAKSANAAN SALAT JUMAT - BAGIAN PERTAMA

Hikmah ilāhiyah yang telah menetapkan azan bukan dari lisan Nabi Muḥammad r akan tetapi dari lisan selain beliau sebagi wujud janji Allah U mengangkat nama Nabi Muḥammad r di dalam Al-Qur’an.[4]

 

 


Footnote:

[1] H.R. Aḥmad (16477), Abū Dāwud (499), Tirmiżī (189), Ibnu Mājah (706), Ibnu Khuzaimah (370-371) dan Ibnu Ḥibbān (1679).

[2] Al-Khaṭṭābī. Ma’ālim al-Sunan. Jilid 2, hlm. 39.

[3] Muglaṭai bin Qulaij bin ‘Abdullāh al-Miṣrī al-Ḥanafi. Syaraḥ Sunan Ibnu Mājah. Jilid. 1, hlm. 1095.

[4] Muglaṭai al-Ḥanafī. Syaraḥ Sunan Ibnu Mājah. Jilid. 1, hlm. 1095.

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments