عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: أَخَذَ رَسُولُ اللهِ ﷺ بِمنْكبيَّ فَقَالَ: كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يَقُوْلُ: إِذَا أَمْسَيْتَ فَلا تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلا تَنْتَظِرِ المَسَاءَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لمَوْتِكَ.(رواه البخاري)
Dari Ibnu ‘Umar raḍiyallāhu ‘anhu, dia berkata, “Suatu hari Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam memegang kedua pundakku seraya bersabda, ‘Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau tengah dalam perjalanan’. Ibnu ‘‘Umar raḍiyallāhu ‘anhu pun mengingatkan, “Jika engkau berada di sore hari janganlah engkau menunggu datangnya esok hari. Jika engkau berada di pagi hari, janganlah engkau menunggu datangnya sore hari. Gunakanlah masa sehatmu untuk menghadapi masa sakitmu dan (gunakanlah) hidupmu untuk menghadapi kematianmu.” (H.R. Bukhārī)
Orang asing yang dimaksud dalam hadis di atas ialah orang yang sedang singgah di negeri lain. Siapa saja yang berada di tempat asing selain negerinya sendiri disebut sebagai orang asing.
Hadis ini termasuk hadis yang penuh hikmah. Setiap muslim tidak layak melewatkannya begitu saja, terkhusus bagi para penuntut ilmu agama. Di dalam hadis ini, Rasulullah menyampaikan sebuah ilmu yang begitu penting untuk diketahui. Hadis ini berisi dua nasihat; nasihat Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu ‘Umar raḍiyallāhu ‘anhu dan nasihat Ibnu ‘Umar raḍiyallāhu ‘anhu kepada segenap kaum muslimin.
Nasihat Nabi kepada Ibnu ‘Umar raḍiyallāhu ‘anhu
Nabi menasihatkan untuk memperpendek angan-angan selama hidup di dunia ini. Sudah sepantasnya bagi setiap muslim untuk tidak merasa betah di dunia ini dan menganggap diri hanyalah layaknya seseorang yang bepergian atau orang asing di dalamnya. Seorang muslim hendaknya menjadikan cita-cita tertingginya adalah memakmurkan negeri akhiratnya karena di sanalah ia akan kekal.
Allah berkali-kali mengingatkan di dalam Al-Quran agar tidak terlalu terpana dengan kehidupan dunia ini. Allah berfirman,
يٰقَوْمِ اِنَّمَا هٰذِهِ الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا مَتَاعٌ ۖوَّاِنَّ الْاٰخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ
“Wahai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” (Q.S. Gāfir: 39)
Allah berfirman,
اِنَّمَا مَثَلُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا كَمَاۤءٍ اَنْزَلْنٰهُ مِنَ السَّمَاۤءِ فَاخْتَلَطَ بِهٖ نَبَاتُ الْاَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ وَالْاَنْعَامُ ۗحَتّٰٓى اِذَآ اَخَذَتِ الْاَرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ اَهْلُهَآ اَنَّهُمْ قٰدِرُوْنَ عَلَيْهَآ اَتٰىهَآ اَمْرُنَا لَيْلًا اَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنٰهَا حَصِيْدًا كَاَنْ لَّمْ تَغْنَ بِالْاَمْسِۗ كَذٰلِكَ نُفَصِّلُ الْاٰيٰتِ لِقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan dunia adalah ibarat air yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah karenanya macam-macam tanaman bumi yang (dapat) dimakan oleh manusia dan hewan ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, terhias, dan pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya (memetik hasilnya), datanglah kepadanya azab Kami pada waktu malam atau siang. Lalu, Kami jadikan (tanaman)-nya seperti tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan secara terperinci ayat-ayat itu kepada kaum yang berpikir.” (Q.S. Yunus: 24)
Nabi pun pernah berkata,
مَا لِي وَلِلدُّنْيَا، إِنَّمَا مَثَلِي وَمَثَلُ الدُّنْيَا كَمَثَلِ رَاكِبٍ قَالَ فِي ظِلِّ شَجَرَةٍ فِي يَوْمٍ صَائِفٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Apa urusanku dengan dunia, sesungguhnya perumpamaanku dengan dunia seperti perumpamaan musafir yang rehat sejenak di bawah naungan pohon pada hari yang begitu panas lalu meninggalkannya.”[1]
Al-Ilbirī berkata dalam syairnya,
لِتَعبُرَها فَجِدَّ لِما خُلِقتا |
وَلَم تُخلَق لِتَعمُرها وَلَكِن |
“Engkau diciptakan bukan untuk tinggal memakmurkan dunia ini, namun hanya sekedar melewatinya, maka bersungguh-sungguhlah melewatinya.”
Di dalam hadis ini, Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam menasihati Ibnu ‘Umar agar keadaannya menjadi salah satu dari dua keadaan berikut:
- Menjadi seperti orang asing. Orang asing hatinya berada di kampung halamannya, tidak terikat dengan tempat dimana ia berada sekarang. Orang asing, apabila mendiami suatu negeri, ia tidak berpikir untuk membangun rumah yang terbaik di tanah orang. Seorang dalam ranah rantau hanya berpikir bagaimana bisa menyelesaikan hajatnya lalu kembali ke kampung halamannya. Ia makan seadanya, tempat tinggal pun seadanya, bahkan keterkaitan dengan orang-orang yang ada di tempat tersebut juga biasanya tidak terlalu erat. Demikianlah keberadaan manusia di dunia ini. Ia akan kembali ke kampung akhirat suatu saat kelak, bisa jadi besok atau
- Menjadi seperti seorang yang bepergian, hanya sekedar singgah lalu berlalu melintas. Orang yang keadaannya seperti ini, tidak pernah terbetik hatinya untuk tinggal lama-lama di tempat dimana ia singgah selama dalam perjalanan. Ia tahu bahwa ia hanya singgah, ia masih memiliki perjalanan yang harus di Tak terbetik olehnya untuk membangun rumah di tempat dimana ia singgah, pikirannya hanya terpaku pada tempat tujuannya. Demikianlah keadaan orang beriman, dunia ini hanya sekedar persinggahan dalam fase-fase perjalanan manusia yang begitu panjang, masih ada alam lain setelah dunia ini yang harus dilalui.
Nasihat Ibnu ‘Umar raḍiyallāhu ‘anhu kepada Kaum Muslimin
Ibnu ‘Umar juga menasihatkan kepada segenap kaum muslimin dengan sebuah nasihat yang begitu berharga. Beliau berkata,
إِذَا أَمْسَيْتَ فَلا تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلا تَنْتَظِرِ المَسَاءَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لمَوْتِكَ
“Jika engkau berada di sore hari janganlah engkau menunggu datangnya esok hari. Jika engkau berada di pagi hari, janganlah engkau menunggu datangnya sore hari. Pergunakanlah masa sehatmu untuk menghadapi masa sakitmu, dan (pergunakanlah) hidupmu untuk menghadapi kematianmu.”
Setiap kita tidak pernah tahu, jika ia berada di pagi hari, apakah ia akan melihat matahari terbenam? Jika ia berada di malam hari, ia tidak tahu, masihkah adakah fajar untuknya esok? Jika siang ini ia masih menikmati rukuk dan sujudnya, apakah ia masih bisa melakukannya di malam harinya?
Betapa banyak orang sehat yang tiba-tiba sakit lalu meninggal dunia? Betapa banyak orang yang baru saja bersama kita kemarin sore, hari ini dikuburkan?
Oleh karena itu, hendaknya setiap muslim menyegerakan amal dan tidak menunda kebaikan yang mampu dilakukan pada detik ini. Hendaknya ia tidak terbuai dengan kesehatan, masa muda, kekayaan, dan lain sebagainya. Lihatlah nasihat Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu ‘Umar, bukankah ketika itu Ibnu ‘Umar masih sangat muda?
Mudah-mudahan nasihat Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam dan Ibnu ‘Umar dapat memangkas angan-angan ini. Al-Ḥasan al-Baṣrī berkata,
مَا أَطَالَ عَبْدٌ الأَمَلَ إِلَّا أَسَاءَ الْعَمَلَ
“Seorang hamba yang panjang angannya pasti buruk amalnya.”[2]
Fuḍail bin ‘Iyāḍ mengatakan,
إِنَّ مِنَ الشِّقَاءِ طُوْلَ الأَمَلِ وَمِنَ النَّعِيْمِ قِصَرَ الأَمَلِ
“Panjang angan-angan adalah suatu bentuk kesengsaraan, sedangkan pendek angan adalah suatu bentuk kebahagiaan.”
Footnote:
[1] H.R. Aḥmad (3991).
[2] Qiṣār al-‘Amal, hal. 105.