Rasulullah ﷺ pergi menuju ke arah Tabuk. Di pagi harinya beliau Salat Subuh bersama para sahabat. Selanjutnya mereka naik tunggangan. Saat matahari terbit, mereka mengantuk karena pengaruh perjalanan semalam. Muadz bin Jabal menemani Rasulullah seraya meniti jejak tunggangan beliau sedangkan tunggangan para sahabat berpencar mencari makanan sembari berjalan. Unta Muadz pun masih meniti jejak tunggangan Rasul sambil sesekali singgah untuk makan. Tiba-tiba unta milik Muadz bin Jabal terjatuh lalu Muadz pun berusaha mengendalikannya dengan tali kekang. Untanya bersuara hingga menyebabkan unta milik Rasulullah lari. Kemudian Rasulullah membuka penutup muka beliau lalu menoleh. Ternyata tidak ada seorang tentara pun yang lebih dekat dengan beliau selain Muadz bin Jabal. Kemudian beliau memanggilnya dan bersabda, “Hai Muadz!”
Muadz bin Jabal berkata, “Aku penuhi seruan Anda wahai Nabi Allah.”
Rasulullah ﷺ bersabda, “Mendekatlah!” Ia pun mendekat hingga kendaraan mereka menempel satu sama lain.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Aku tidak mengira orang-orang begitu jauh.”
Muadz bin Jabal berkata, “Wahai Nabi Allah! Mereka mengantuk hingga kendaraan mereka membawa mereka berpencar, makan, dan berjalan.”
Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda, “Saya juga tadinya mengantuk.”
Saat Muadz bin Jabal mengetahui kegembiraan Rasulullah ﷺ bersamanya dan hanya berduaan dengan beliau, ia berkata, “Wahai Rasulullah ﷺ, izinkan saya bertanya pada baginda tentang suatu pertanyaan yang menyebabkan saya sakit dan sedih.”
Rasulullah ﷺ bersabda, “Apa yang kau maksudkan?” [1]
Demikianlah asal muasal hadis ini. Hadis yang begitu sarat makna dari Rasulullah ﷺ. Hadis ini termasuk dari hadis-hadis yang berisikan ragam kebaikan. Oleh karena itu, Imam al-Nawawi menyertakannya dalam kitab hadis al-Arba’in beliau. Redaksi yang yang beliau pilih adalah redaksi yang diriwayatkan oleh Imam Tirmizi sebagai berikut,
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رضي الله عنه قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِيْ الْجَنَّةَ، وَيُبَاعِدُنِي عَنِ النَّارِ، قَالَ : لَقَدْ سَأَلْتَنِي عَنْ عَظِيمٍ، وَإِنَّهُ لَيَسِيرٌ عَلَى مَن يَسَّرَهُ اللهُ عَلَيهِ: تَعْبُدَ اللهَ وَلاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا، وَتُقِيمُ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ، وَتَصُومُ رَمَضَانَ، وَتَحَجُّ الْبَيْتَ، ثُمَّ قَالَ: أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ الْخَيْرِ؟ الصَّوْمُ جُنَّةٌ، والصَّدّقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ، وَصَلاَةُ الرَّجُلِ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ, قَالَ: ثُمَّ تَلاَ (تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِع )حَتَّى بَلَغَ (يَعْمَلُونَ) ثُمَّ قَالَ : أَلاَ أُخْبِرُكَ بِرَأْسِ الأَمْرِ كُلِّهِ وَعَمُودِهِ وَذِرْوَةِ سَنَامِهِ؟ قُلْتُ: بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ. قَالَ: رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ, وَعَمُوْدُهُ الصَّلاَةُ, وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ. ثُمَّ قَالَ: أَلاَ أُخْبِرُكَ بِمَلاَكِ ذَلِكَ كُلِّهِ؟ قُلْتُ: بَلَى يَا نَبِيَّ اللهِ، فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ وَقَالَ: كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا. فَقُلْتُ : يَا نَبِيَّ اللهِ, وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُوْنَ بِمَا نَتَكَلًّمُ بِهِ؟ فَقَالَ : ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ، وَهَلْ يُكَبُّ النَّاسُ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ؟ رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَقَالَ: حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ
Dari Muadz bin Jabal bahwa beliau berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah! Beritahukanlah kepadaku amalan yang dapat memasukkanku ke dalam surga dan menjauhkanku dari neraka!’ Beliau ﷺ bersabda, ‘Sungguh engkau telah bertanya tentang sesuatu yang agung, namun sungguh hal tersebut sangatlah mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Allah. (Hal tersebut ialah) engkau hanya beribadah pada Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, mendirikan salat, menunaikan zakat, berpuasa pada Bulan Ramadan, dan menunaikan ibadah haji.’ Kemudian beliau melanjutkan, ‘Maukah aku tunjukkan kepadamu pintu-pintu kebaikan? Puasa itu adalah tameng, sedekah itu memadamkan (menghapuskan) kesalahan seperti air memadamkan api, dan salatnya seseorang pada tengah malam. Lalu beliau membaca firman Allah, ‘Lambung-lambung mereka jauh dari tempat tidurnya…’ sampai pada firman-Nya, ‘… yang telah mereka kerjakan.’[2] Kemudian beliau ﷺ kembali bersabda, ‘Maukah engkau aku beritahu pokok urusan agama ini, tiangnya, dan puncak tertingginya?’ Aku mengatakan, ‘Tentu, wahai Rasulullah. Beliau ﷺ melanjutkan, ‘Pokok segala urusan adalah Islam, tiangnya adalah salat, dan puncak tertingginya adalah jihad.’ Kemudian beliau ﷺ berkata, ‘Maukah aku beritahu tentang sesuatu yang bisa menguatkan semua itu?’ Aku menjawab, ‘Tentu, wahai Nabi Allah.’ Maka beliau ﷺ memegang lisannya dan bersabda, ‘Jagalah ini!’ Aku bertanya, ”Wahai Nabi Allah, apakah kita akan disiksa disebabkan apa yang kita ucapkan?’ Beliau ﷺ bersabda, ‘Celakalah engkau wahai Muadz, bukankah manusia itu dilemparkan ke dalam neraka dengan wajah tersungkur tidak lain disebabkan hasil (perkataan) lisan-lisan mereka?’”[3]
Hadis ini memuat begitu banyak makna. Di antara kandungan hadis ini adalah semangat sahabat untuk memanfaatkan umur dan mengisinya dengan amalan yang akan mengantarkan mereka ke surga dan menjauhkan dari neraka. Terlihat jelas melalui kisah di atas bahwa Muadz bin Jabal tidak menyia-nyiakan momen yang ada untuk menuntut ilmu yang bermanfaat dengan bertanya. Al-Zuhri berkata, “Ilmu ibarat sebuah perbendaharaan. Kuncinya ialah bertanya.”[4]
Dalam hadis ini juga tampak bahwa para sahabat tidak serta merta bertanya kepada Nabi ﷺ apabila ada pertanyaan mengganjal. Para sahabat memperhatikan kondisi dan melihat keadaan yang sesuai untuk bertanya. Demikianlah adab seorang murid kepada guru yang hendaknya diindahkan dalam proses menuntut ilmu. Memperhatikan kondisi guru saat bertanya menjadi jalan masuknya ilmu yang berkah. Di sisi lain betapa banyak kaum yang terhalangi dari ilmu karena ketergesaan menimba ilmu tanpa memperhatikan kondisi sang guru. Husyaim berkata, “Dahulu Ismail bin Abi Khalid adalah termasuk orang yang paling indah akhlaknya. Namun karena murid-muridnya terlalu lama mendesaknya (guna meminta hadis dan menerangkannya) hingga akhlaknya pun berubah.”[5] Ibnu Ṣalāḥ berkata bahwa dikhawatirkan bagi orang yang melakukannya akan kehilangan manfaat dari ilmu yang dicarinya.[6]
Hadis ini ini mengisyaratkan bahwa amal saleh akan menjadi sebab untuk masuk ke dalam surga. Allah berfirman,
وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِيْٓ اُوْرِثْتُمُوْهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ
Artinya, “Itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan apa yang selama ini kamu kerjakan.” (QS. Az-Zukhruf:72)
Nabi mengomentari pertanyaan Muadz dengan bersabda, “Sungguh engkau telah bertanya tentang sesuatu yang agung, namun sungguh hal tersebut sangatlah mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Allah.” Hal ini menunjukkan bahwa mencapai surga bukanlah perkara yang remeh, namun juga bukan perkara mustahil. Itu semua bergantung dari besarnya taufik dan pertolongan Allah kepada sang hamba. Oleh karena itu, sudah sepatutnya seorang hamba memelas di hadapan Allah agar diberikan taufik untuk meraih surga tersebut.
Sebanyak apapun amalan seorang hamba bukanlah ‘harga’ yang pantas untuk surga. Bukan berarti ketika seorang hamba mengerjakan amalan ia lantas berhak masuk surga karena amal tersebut. Amalan sesempurna apapun tidak sebanding dengan sebuah nikmat yang Allah berikan pada satu anggota tubuh terkecil pada diri manusia. Belum lagi jika amalan itu bolong, retak-retak, dan tak tertunaikan dengan baik. Apakah pantas amalan itu ‘membeli’ surga? Oleh karena itu, Rasulullah bersabda,
لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ قَالُوا وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ وَلَا أَنَا إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللَّهُ مِنْهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ
Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidak ada seorang pun yang dimasukkan surga oleh amalnya.” Ada yang bertanya, “Tidak juga Anda, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tidak juga aku, kecuali bila Allah melimpahkan karunia dan rahmat padaku.”[7]
Oleh karena itu, amalan adalah sebab yang dapat mengundang rahmat Allah dan surga merupakan bentuk rahmat Allah kepada orang-orang yang Dia kasihi.
Hadis ini juga menunjukkan bahwa menunaikan rukun Islam merupakan sebab terbesar seorang hamba dapat masuk ke dalam surga.
Di dalam hadis ini juga terdapat pelajaran bahwa terdapat amalan-amalan lainnya yang bersifat sunah/mustahab. Inilah yang menjadi sebab perbedaan derajat di surga kelak. Ini pula yang menjadi sebab pemicu kecintaan Allah kepada hamba-Nya. Allah berfirman dalam hadis qudsi,
وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ
“… jika hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunah, maka Aku mencintai dia…”[8]
Terdapat tiga amalan yang disebutkan oleh Nabi ﷺ dalam hadis ini:
- Nabi menyifati puasa sebagai tameng, tameng yang akan melindungi pelakunya dari api neraka, tameng yang akan menghalanginya dari syahwat dan maksiat.[9] Dalam hadis sahih disebutkan,
مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُومُ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا بَاعَدَ اللَّهُ بِذَلِكَ الْيَوْمِ وَجْهَهُ عَنْ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا
“Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah, kecuali Allah akan menjauhkan wajahnya dari api neraka sejauh tujuh puluh tahun.”[10]
- Sedekah dapat memadamkan bara dosa sebagaimana air yang memadamkan bara api. Dosa yang dimaksud ialah dosa yang terkait dengan hak-hak Allah. Berbeda halnya dengan dosa yang terkait dengan hak-hak sesama manusia. Apabila tidak diselesaikan di dunia maka akan diambil dari saldo pahala kebaikan di akhirat kelak.[11] Semakin tersembunyi sedekah yang dilakukan semakin baik. Allah berfirman,
اِنْ تُبْدُوا الصَّدَقٰتِ فَنِعِمَّا هِيَۚ وَاِنْ تُخْفُوْهَا وَتُؤْتُوْهَا الْفُقَرَاۤءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۗ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِّنْ سَيِّاٰتِكُمْ ۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
Artinya, “Jika kamu menampakkan sedekahmu, itu baik. (Akan tetapi) jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, itu lebih baik bagimu. Allah akan menghapus sebagian kesalahanmu. Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah:271)
- Salat malam. Sebagaimana sedekah memadamkan bara dosa, demikian pula halnya salat malam.
Dalam hadis ini Islam diibaratkan sebuah bangunan yang memiliki tiang dan puncak. “Pokok segala urusan adalah Islam, tiangnya adalah salat, dan puncak tertingginya adalah jihad.” Dalam riwayat yang lain disebutkan,
أَمَّا رَأْسُ الْأَمْرِ فَالْإِسْلَامُ ، فَمَنْ أَسْلَمَ سَلِمَ
“Pokok segala urusan adalah Islam, barang siapa yang masuk Islam maka ia selamat.”[12]
Dalam riwayat Tirmizi tersebut,
أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
“Engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah, tiada sekutu baginya. Engkau juga bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”[13]
Lalu beliau menyebut salat sebagai tiang agama. Pilar yang mengukuhkan bangunan keislaman seorang hamba.
Lalu beliau menyebut jihad sebagai puncaknya. Dalam hadis lain, Rasulullah menyebut jihad merupakan amalan yang paling afdal. Abu Dzar pernah berkata,
سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ قَالَ إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَجِهَادٌ فِي سَبِيلِهِ
Aku bertanya kepada Nabi ﷺ, “Amalan apa yang paling afdal?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan jihad di jalan-Nya.”[14]
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ مِائَةَ دَرَجَةٍ أَعَدَّهَا اللَّهُ لِلْمُجَاهِدِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ مَا بَيْنَ الدَّرَجَتَيْنِ كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
“Sesungguhnya di surga itu ada seratus derajat (kedudukan) yang Allah menyediakannya buat para mujahid di jalan Allah di mana jarak antara dua derajat seperti jarak antara langit dan bumi.”[15]
Lalu nabi menutup jawabannya kepada Muadz dengan menyebutkan sebuah amalan penguat yang dapat menjaga pahala aneka amalan yang telah disebutkan sebelumnya. Amalan itu ialah menjaga lisan. Al-Ṭūfi berkata, “Jihad dan amalan ketaatan lainnya adalah keuntungan sedangkan menjaga lisan dari sesuatu yang diharamkan ialah keselamatan. Keselamatan lebih didahulukan dari pada meraih keuntungan menurut sudut pandang orang-orang yang berakal.”[16] Wallahualam.
Footnote:
[1] Lihat HR. Ahmad (21106). Riwayat ini lemah dikarenakan rawi yang bernama Maymūn dan ‘Ūrwah bin An-Nazzāl tidak pernah mendengar langsung dari Muadz bin Jabal.
[2] Allah (swt) berfirman,
تَتَجَافٰى جُنُوْبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَّطَمَعًاۖ وَّمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّآ اُخْفِيَ لَهُمْ مِّنْ قُرَّةِ اَعْيُنٍۚ جَزَاۤءًۢ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
Artinya, “Lambung (tubuh) mereka jauh dari tempat tidur (untuk salat malam) seraya berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut (akan siksa-Nya) dan penuh harap (akan rahmat-Nya) dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka berupa (macam-macam nikmat) yang menyenangkan hati sebagai balasan terhadap apa yang selalu mereka kerjakan. (QS. As-Sajdah: 16-17)
[3] HR. Tirmizi (2616) dan al-Nasai (2223) dan Ibnu Majah (72). Imam Tirmizi berkata, “Hadis ini hasan sahih.” Ibnu Rajab menimpali ucapan tersebut dalam kitab Jāmi’ al-‘Ulūm Wa al-Ḥikam (h. 527) bahwa hadis ini memiliki dua titik kelemahan:
- Hadis ini diriwayatkan oleh ‘Āṣīm bin Abī An-Najūd dari Abu Wā`il dari Muadz bin Jabal. Validitas periwayatan Abu Wā`il dari Muadz diperbincangkan. Ibnu Rajab cenderung menafikan hal tersebut.
- Hadis ini lebih terkenal di kalangan ahli hadis melalui jalur lain yaitu jalur ‘Āṣīm bin Abī al-Najūd dari Syahr bin Ḥausyab dari Muadz bin Jabal. Riwayat inilah yang dipilih oleh Imam al-Dāruquthni. Beliau berkata, “Riwayat ini sepertinya lebih benar.” Lihat: al-‘Ilal (988). Ibnu Rajab mengatakan, “Riwayat Syahr dari Muadz sudah pasti terputus. Syahr pun juga rawi yang diperselisihkan.”
Hadis ini memiliki jalur lain yang lemah. Akan tetapi, terdapat beberapa syawāhid yang mengandung makna serupa dengan kandungan hadis di atas.
[4] Jāmi’ Bayān Al-‘Ilm Wa Fadhlihi karangan Ibnu Abdil Barr (1/374)
[5] Lihat kitab al-Jāmi’ karangan Al-Khatīb Al-Baghdādi (1/217)
[6] Lihat Muqaddimah Ibnu Ṣalāh hal. 224.
[7] HR. Muslim (2816)
[8] HR. Bukhari (6502)
[9] Lihat Tuḥfatul Aḥwadzi (3/385)
[10] HR. Muslim (1153)
[11] Lihat: Tuḥfatul Aḥwadzi (3/385)
[12] HR. Ahmad (22493)
[13] HR. Tirmizi (2616)
[14] HR. Bukhari (2518)
[15] HR. Bukhari (2790)
[16] Al-Ta’yīn Fi Syarh al-Arba’īn (1/223)