وَعَنْ أَبِي قَتَادَةَ فِي حَدِيْثٍ طَوِيْلٍ فِيهِ النَّوْمُ عَنِ الصَّلَاةِ، وَفِيْهِ: ثُمَّ أَذَّنَ بِلَالٌ بِالصَّلَاةِ، فَصَلَّى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ صَلَّى الْغَدَاةَ، فَصَنَعَ كَمَا كَانَ يَصْنَعُ كُلَّ يَوْمٍ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Artinya:
Dari Abū Qatādah pada riwayat hadis yang cukup panjang dimana ada peristiwa waktu salat yang terlewatkan akibat tertidur (pulas) disebutkan, “Kemudian Bilal mengumandangkan azan untuk salat, lalu Rasulullah ﷺ melaksanakan salat dua rakaat, kemudian beliau salat al-gadātu (Fajar). Beliau melaksanakannya sebagaimana yang sudah bisa beliau lakukan.” Diriwayatkan oleh Muslim.[1]
Faedah dan istinbat dari hadis:
- Hadis tersebut secara tekstual menunjukkan istiḥbāb azan ketika mengqada salat fardu yang terlewatkan waktu pelaksanaannya (fāitah).[2]
Ulama berbeda pendapat tentang azan dan iqamat untuk salat qada yang telah lewat waktu pelaksanaannya.
Imam Malik, al-Auza’ī dan al-Syāfi’ī mengatakan bahwa cukup melakukan iqamat saja. Sedangkan lafaz azan dalam hadis tersebut maknanya adalah ‘pemberitahuan’, atau juga dapat dianggap sebagai pengkhususan hanya pada momen tersebut saja, dengan tujuan untuk memberikan peringatan kepada dan hadir dan membangunkan orang-orang yang tertidur serta mengusir setan; yang tentunya hanya Nabi Muhammad ﷺ yang mengetahui kehadirannya di tempat tersebut. Demikian jalan tengah memahami dalil-dalil yang ada.
Sedangkan mazhab ahlu ra’yu, Aḥmad dan Abū Ṡaur adalah tetap mengumandangkan azan dan iqamat.[3]
- Anjuran tetap melaksanakan salat berjemaah meskipun sudah keluar waktu salat tersebut.
- Istiḥbāb mengqada salat sunah rawatib yang telah keluar waktu pelaksanaannya. Karena zahir hadis tersebut menunjukkan dua rakaat salat yang dikerjakan oleh Rasulullah r sebelum salat Subuh tersebut adalah salat sunah Subuh.[4]
- Sifat pelaksanaan salat qada sama dengan sifat salat yang dilakukan pada waktunya (al–adā`).
- Bolehnya menyebut salat Subuh dengan sebutan salat al-gadātu.[5]
Footnote:
[1] H.R. Muslim (681).
[2] Al-Nawawi. Al-Minhāj. Jilid 6, hlm. 186.
[3] Al-Qāḍī ‘Iyāḍ. Ikmālul Mu’lim bi Fawā’id Muslim. Jilid 2, hlm. 669.
[4] Al-Nawawi. Al-Minhāj. Jilid 6, hlm. 186.
[5] Ibid.