KEUTAMAAN AZAN DAN MUAZIN

85
KEUTAMAAN AZAN DAN MUAZZIN
Perkiraan waktu baca: 2 menit

Daftar Isi:

عَن مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ رَضِي اللهُ تَعَالَى عَنْهُ قَالَ: ((سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: الْمُؤَذِّنُونَ أَطْوَلُ النَّاسِ أَعْنَاقًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ)). رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Artinya:

Dari Mu’awiyah bin Abū Sufyān raḍiyallahu’anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Para muazin adalah orang yang paling panjang lehernya pada hari kiamat’.” Hadis riwayat Muslim.[1]

Kosa kata hadis:

  1. أَعْنَاقًا dengan fathah pada huruf hamzah adalah bentuk jamak dari عُنُقٍ, artinya adalah leher. Sedangkan terkait maknanya, ada perbedaan di antara ulama salaf dan khalaf, antara lain:
  2. Para muazin adalah orang yang paling tinggi dan menyaksikan rahmat Allah karena orang yang tinggi dan menyaksikan akan menjulurkan lehernya terhadap objek yang disaksikan.

Penafsirannya juga adalah para muazin adalah golongan manusia yang paling banyak melihat pahala dari Allah azza wajalla.

  1. Al-Naḍar bin Syumail berkata, “Ketika manusia tenggelam dengan peluh mereka pada hari kiamat kelak, para muazin dipanjangkan lehernya agar mereka tidak tenggelam disebabkan musibah tersebut.”
  2. Sebagian lain mengatakan bahwa maknanya adalah para muazin adalah para pemimpin dan pemuka pada hari kiamat. Dalam bahasa Arab terdapat istilah dan menyifatkan pemimpin dengan leher yang panjang.
  3. Ada juga yang menyebutkan maknanya adalah banyak pengikut dan banyak amalannya.
  4. Jika dibaca dengan kasrah huruf hamzahnya (إِعْنَاقًا) maka artinya adalah cepat dan bersegera yaitu paling cepat masuk jannah.[2]

Faedah dan istinbat dari hadis:

  1. Hadis tersebut menunjukkan keutamaan azan dan orang yang bertanggung jawab melaksanakannya, yaitu muazin.

Bahkan sebagian ulama memandang bahwa muazin lebih utama dari imāmah (imam salat) berdasarkan hadis tersebut pula.

Baca juga:  HADIS LARANGAN ISTINJA DENGAN TANGAN KANAN

Ada perbedaaan pendapat di antara ulama, mana yang lebih utama antara mengumandangkan azan dan menjadi imam salat.

  1. Pendapat yang pertama menegaskan bahwa azan lebih afdal dari imāmah. Pendapat ini diriwayatkan dari imam al-Syāfi’ī dalan kitab al-Umm dan pendapat kebanyakan ulama Syāfi’iyah.
  2. Pendapat yang kedua menyatakan bahwa imāmah lebih afdal karena Nabi dulu adalah seorang imam salat dan tidak pernah bertindak sebagai muazin. Sudah menjadi prinsip dan kebiasaan beliau bahwa beliau tidak pernah meninggalkan suatu amalan kecuali ada amalan yang lebih baik atau lebih afdal untuk dikerjakan.
  3. Pendapat ketiga yang menyatakan bahwa imamah dan azan memiliki keutamaan yang sama.
  4. Pendapat keempat memberikan pilihan kepada pribadi seseorang, jika seseorang melihat dirinya dapat menunaikan hak-hak jabatan imāmah dan semua sifat-sifat imam maka imāmah lebih baik baginya. Jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka pilihannya adalah menjadi muazin. Pendapat ini diriwayatkan dari Abū ‘Ālī al-Ṭabārī dan Abū al-Qāsim al-Mas’ūdī.
  5. Apa hukumnya menggabungkan antara azan dan imāmah?

Imam al-Nawawī menyebutkan bahwa sebagian ulama mazhab al-Syāfi’ī menganjurkan hal tersebut. Sebagian lain mengatakan bahwa hal tersebut makruh hukumnya. Namun kebanyakan mereka menegaskan setelah ditahkik bahwa hal tersebut tidak mengapa bahkan dianjurkan. Allāhu a’lam.[3]

  1. Azan dan imāmah adalah aktivitas yang mulia, dimana dalam sebuah hadis Nabi ﷺ mendoakan para muazin dan para imam. Beliau bersabda,

الْإِمَامُ ضَامِنٌ، وَالْمُؤَذِّنُ مُؤْتَمَنٌ، اللهُمَّ، أَرْشِدِ الْأَئِمَّةَ، وَاغْفِرْ لِلْمُؤَذِّنِينَ

Artinya:

Imam adalah penjamin (penjaga ibadah salat) dan muazin adalah orang yang amanah, ya Allah berilah hidayah kepada para imam dan berilah ampunan kepada para muazin.”[4]

Para imam membutuhkan hidayah dan petunjuk dalam menyelesaikan kewajibannya agar tugas tersebut selesai dengan selamat. Sedangkan para muazin adalah pemikul amanah yang membutuhkan magfirah karena terkadang terjadi kelalaian atau tidak maksimal melaksanakan tugasnya.[5]

Baca juga:  BAB TAYAMUM

 

 


Footnote:

[1] H.R. Muslim (387).

[2] Al-Nawawī. Al-Minhāj. Jilid 4, hlm. 92.

[3] Al-Nawawī. Al-Minhāj. Jilid 4, hlm. 93.

[4] H.R. Aḥmad (8970), Abū Dāud (517) dan Tirmiżī (207).

[5] Badruddīn al-‘Ainī. Syarḥ Sunan Abū Dāwud. Jilid 2, hlm. 468.

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments