BAB TENTANG MEMBERSIHKAN NAJIS DAN BENDA NAJIS: BOLEHKAH MENGUBAH KHAMAR MENJADI CUKA?

160
Bolehkan mengubah khamar menjadi cuka
Perkiraan waktu baca: 2 menit

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخَمْرِ تُتَّخُذُ خَلًّا؟ فَقَالَ: ((لَا)). رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

Artinya:

Dari Anas bin Mālik bahwa Nabi ﷺ pernah ditanya tentang bolehkah khamar yang diproses menjadi cuka? Beliau menjawab, “Tidak.” Hadis riwayat Muslim.[1]

Kosa kata hadis:

    1. الْخَمْرِ secara etimologi bermakna tutup dan menutupi. Khamar disebut dengan istilah tersebut karena dia menutupi akal sehat orang yang mengonsumsinya.

Khamar secara istilah adalah segala sesuatu yang memabukkan, apapun bahan dasar pembuatannya. Pendapat ini adalah yang paling tepat dan sesuai.

Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa khamar adalah sesuatu yang bahan dasarnya adalah anggur saja atau anggur dan kurma, dinilai tidak tepat[2] karena tidak sesuai dengan definisi asalnya dan sabda Nabi ﷺ bahwa,

كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ

Artinya:

“Setiap yang memabukkan adalah khamar, dan setiap yang memabukkan adalah haram.”[3]

Faedah dan istinbat dari hadis:

    1. Hadis ini adalah dalil yang menjadi landasan bagi al-Syāfi’ī dan jumhur ulama yang mengatakan bahwa khamar adalah najis dan tidak dapat disucikan meskipun telah melalui proses penetralan seperti mencelupkan roti bawang atau proses yang selainnya.[4]
    2. Hadis ini menjelaskan secara eksplisit bahwa mengubah khamar menjadi cuka adalah tidak dibenarkan karena dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa ketika ayat pengharaman khamar turun, Abū Ṭalḥah radhiyallā’anhu meminta fatwa Nabi ﷺ tentang khamar milik anak yatim yang mereka dapatkan dari warisan, apakah harus dimusnahkan juga atau boleh diproses menjadi cuka.[5]

Jika seandainya hal tersebut adalah boleh, tentu Nabi ﷺ tidak akan memerintahkan menumpahkan dan membuangnya karena hal tersebut termasuk menyia-nyiakan harta. Pendapat pertama ini diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaṭṭāb radhiyallā’anhu, al-Syāfi’ī, dan Aḥmad bin Hambal.

Baca juga:  PUASA BULAN SYAWAL DAN KEUTAMAANNYA

Pendapat kedua adalah dari Sufyān dan Ibnu al-Mubārak, memandang bahwa hal tersebut makruh hukumnya.

Sedangkan pendapat ketiga adalah dari Mālik bin Anas, menyatakan bahwa jika proses perubahannya terjadi dengan sendirinya maka jā’iz hukumnya dan boleh dikonsumsi. Ulama membedakan hukum sesuatu yang terproses dengan sendirinya dan sesuatu yang berubah karena ada subjek yang melakukannya.

Pendapat keempat adalah dari Aṭā’ bin Abī Rabāḥ dan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azīz serta Abū Ḥanīfah yang mengiaskan permasalahan ini dengan bangkai binatang yang disamak kemudian menjadi halal digunakan, proses telah menjadikannya mubah untuk digunakan. Namun kias yang demikian dinilai tidak tepat, karena kias dilakukan ketika tidak ada nas Al-Qur’an atau hadis, sedangkan dalam masalah ini, ada nasnya. [6]

 


Footnote:

[1] H.R. Muslim (1983).

[2] Ibnu Hajar. Fatḥu al-Bārī Syarḥu Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Jilid 10, hlm. 48.

[3] H.R. Muslim (2003), dari riwayat ‘Abdullāh bin ‘Umar t.

[4] Al-Nawawī. Al-Minhāj. Jilid 3, hlm. 152.

[5] H.R. Abū Dāwud (3675) dan Tirmiżī (1293).

[6] Al-Khatṭṭābī. Ma’ālim al-Sunan. Jilid 4, hlm. 264.

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments