وَعَن ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الَّذِي يَأْتِي امْرَأَتَهُ وَهِي حَائِضٌ قَالَ: ((يتَصَدَّقُ بِدِينَارٍ أَوْ نِصْفِ دِينَارٍ)). رَوَاهُ أَحْمَدُ، وَأَبُو دَاوُدَ، وَابْنُ مَاجَه، وَالنَّسَائِيُّ، وَالتِّرْمِذِيُّ، وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ. وَقَالَ أَبُو دَاوُد: وَهَكَذَا الرِّوَايَةُ الصَّحِيْحَةُ، قَالَ: ((دِينَارٌ أَوْ نِصْفُ دِينَارٍ)). وَرُبَّمَا لَمْ يَرْفَعْهُ شُعْبَةُ. وَقَالَ ابْنْ السَّكَن: هَذَا حَدِيْثٌ مُخْتَلفٌ فِي إِسْنَادِهِ وَلَفْظِهِ، وَلَا يَصِحُّ مَرْفُوعاً. وَخَالَفَهُ ابْنُ الْقطَّان وَصَحَّحَ الحَدِيْثُ، وَقَدْ وَهِمَ مَنْ حَكَى الِاتِّفَاقَ عَلَى ضَعْفِهِ. وَقَالَ ابْنُ مهْدِيٍّ: قِيْلَ لِشُعْبَةَ إِنَّكَ كُنْتَ تَرْفَعُهُ؟ قَالَ: إِنِّي كُنْتُ مَجْنُونًا فَصَحَحْتُ
Dari Ibnu ‘Abbās, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda terkait seseorang yang mendatangi (berhubungan) istrinya yang dalam keadaan haid, “Hendaknya dia bersedekah satu dinar atau setengah dinar.” Hadis riwayat Aḥmad, Abū Dāwud, Ibnu Mājah, al-Nasā’ī, Tirmiżī, al-Ḥākim yang mensahihkannya. Abū Dāwud berkata, “Demikianlah riwayat yang sahih, yaitu beliau berkata, ‘Satu dinar atau setengah dinar’.”[1] Syu’bah mungkin tidak menyatakan hadis tersebut marfuk. Ibnu al-Sakan berkata, “Hadis tersebut diperselisihkan sanad dan matannya, tidak sahih ia sebagai hadis marfuk.” Ibnu al-Qaṭṭān berbeda pandangan dengan mengatakan bahwa hadis tersebut sahih. Tidak benar yang mengatakan bahwa ulama berkonsensus bahwa hadis tersebut lemah. Ibnu al-Mahdi berkata, “Ketika ditanyakan kepada Syu’bah bahwa beliau menyatakan hadis tersebut marfuk, beliau menjawab, ‘Waktu itu saya sedang tidak normal, sehingga saya mensahihkannya’.”
Daftar Isi:
Kosa kata hadis:
Dinar adalah mata uang (alat tukar) pada masa Nabi ﷺ dan Khulafa Islam. Mata uang ini terbuat dari logam emas dengan ukuran berat 4,25 gram emas jika dikonversikan dengan ukuran berat pada masa sekarang.[2]
Faedah dan istinbat dari hadis:
- Hadis ini menunjukkan kewajiban kafarat bagi seseorang yang menggauli (menjimak) istrinya pada masa haid.[3]
- Ulama berbeda pendapat tentang hukum bagi seseorang yang berhubungan (jimak) dengan istrinya pada masa haid, ada dua pendapat, yaitu:
a. Wajib membayar kafarat. Pendapat ini diriwayatkan dari Qatādah, al-Auza’ī, Aḥmad bin Hambal, Isḥāq dan al-Syāfi’ī (fatwa qadīm).
b. Tidak ada kafarat atau sesuatu pun atasnya. Pendapat ini adalah pendapat kebanyakan ulama. Mereka memandang hadis tersebut adalah mursal atau maukuf[4] pada Ibnu ‘Abbās. Hukum asal juga menegaskan bahwa seseorang tidak dibebani syariat hingga ada hujah yang nyata dan jelas.[5]
3. Ibnu ‘Abbās raḍiyallahu’anhu berfatwa bahwa jika pelanggaran terjadi pada awal masa haid maka kafaratnya adalah satu dinar. Sedangkan jika terjadi pada akhir dari masa haid maka kafarat yang dikeluarkan adalah setengah dinar.
Sedangkan Aḥmad bin Hambal berfatwa bahwa seseorang diberi pilihan membayar kafarat antara satu atau setengah dinar.
- Imam al-Syāfi’ī pernah berkata terkait hadis tersebut, “Seandainya hadis tersebut valid tentu saya akan mengambilnya (sebagai hujah).”[6]
Footnote:
[1] H.R. Aḥmad (2032), Abū Dāwud (264), al-Nasā’ī (1/153), Tirmiżī (136) dan al-Ḥākim (1/171).
[2] Prof.Dr.Wahbah al-Zuhailī. Al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu. Jilid 1, hlm. 144.
[3] Al-Syaukānī. Nailul Auṭār. Jilid 1, hlm. 347.
[4] Salah satu istilah untuk hadis yang lemah karena sanadnya tidak tersambung kepada Nabi r.
[5] Al-Khaṭṭābī. Ma’ālim al-Sunan. Jilid 1, hlm. 83.
[6] Muḥammad bin Ismā’īl al-Ṣan’ānī. Op. Cit. Jilid 1, hlm. 155.