BERSENTUHAN DENGAN PEREMPUAN YANG SEDANG HAID

84
Bersentuhan Dengan Perempuan Yang Sedang Haid
Perkiraan waktu baca: 2 menit

وَعَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءِ وَاحِدٍ كِلَانَا جُنُبٌ، وَكَانَ يَأْمُرُنِي فَأَتَّزِرُ، فَيُبَاشِرُنِي وَأَنَا حَائِضٌ، وَكَانَ يُخْرِجُ رَأْسَهُ إِلَيَّ، وَهُوَ مُعْتَكِفٌ فَأَغْسِلُهُ وَأَنَا حَائِضٌ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ

Dari ‘Ā’isyah, beliau berkata, “Saya pernah mandi bersama Nabi ﷺ dari bejana air yang sama dan kami dalam keadaan junub. Beliau (Rasulullah ﷺ) juga pernah memerintahkan saya mengenakan kain sarung kemudian beliau mencumbui saya dan saya dalam keadaan haid. Beliau (Rasulullah r) juga pernah sedang beriktikaf kemudian mendongakkan kepalanya kepadaku untuk saya cuci, sementara saya dalam keadaan haid.” (Muttafaqun ’alaihi, lafal dari al-Bukhārī)[1]

Daftar Isi:

Makna hadis:

Hadis ini secara umum mengandung tiga hal penting, yaitu:

Pertama, Nabi ﷺ dan istrinya mandi janabah dari bejana yang sama karena air yang suci tidak terpengaruh dengan cidukan yang dilakukan orang yang junub padanya.

Kedua, Nabi ﷺ memberikan contoh dan teladan bagi umatnya untuk berinteraksi dan bergaul dengan perempuan haid dan kaum Yahudi tidak mau makan dan tidur dengan istrinya yang sedang haid.

Nabi ﷺ meminta ‘Ā’isyah untuk mengenakan kain di antara pusar dan lutut, kemudian beliau tidur dan mencumbuinya namun tidak melakukan hubungan suami istri.

Ketiga, perempuan haid tidak masuk ke masjid agar tidak mengotorinya. Oleh sebab itu, Nabi ﷺ yang mengeluarkan kepalanya ke arah rumah ‘Ā’isyah, untuk dibantu dicuci kepalanya oleh ‘Ā’isyah raḍiyallāhu ‘anhā. Demikian kemudahan syariat Islam dan sekaligus menunjukkan sempitnya pengamalan kaum Yahudi.[2]

Faedah dan istinbat dari hadis:

  1. Hadis ini menunjukkan bolehnya suami mandi janabah bersama istri dari satu bejana sebagaimana telah dijelaskan pada awal Kitab Taharah.
  2. Hadis ini menjadi landasan fatwa ulama tentang bolehnya bercumbu dengan istri yang sedang haid pada tubuh bagian atas kain sarung atau pusar. Sedangkan pada anggota tubuh di bawah pusar, ulama berbeda pandangan tentang hal tersebut. Hadis ini tidak mengandung penegasan larangan atau kebolehan, karena jika hanya sekadar perbuatan Nabi ﷺ maka hal tersebut tidak memberi konsekuensi kelaziman atau wajib sebagaimana dibahas dalam ilmu uṣūl[3]
Baca juga:  MENCUKUR RAMBUT KEPALA

Ulama berbeda pandangan tentang hukum suami yang mencumbui istri yang sedang haid:

a)  Boleh bagi suami apa yang ada di bagian atas sarung (di atas pusar) dan tidak boleh mendekati bagian di bawah pusar. Ini adalah pendapat Mālik, al-Auzā’ī dan Abū Ḥanīfah, Abū Yūsuf dan al-Syāfi’ī.

b)  Boleh bagian atas dan bawah dari lutut, ini adalah pendapat Sa’īd bin Muṣayyib, Sālim, al-Qaṣīm dan Qatādah. Dalil pendapat ini adalah hadis ‘Ā’isyah yang dicantumkan ini, dengan hujah jika seandainya yang tidak boleh hanya tempat keluarnya darah (farji) saja, Rasulullah ﷺ tidak akan memerintahkan istrinya untuk mengenakan sarung, padahal beliau pribadi yang paling mampu mengendalikan diri dan nafsu. Dalam hukum syariat, sesuatu yang dapat mengantarkan kepada sesuatu yang diharamkan maka ia juga terlarang, seperti meminang perempuan pada masa idahnya, orang yang sedang muhrim dilarang menikah dan memakai mewangian karena akan mengantarkan dan menjerumuskan dia kepada syahwat jimak yang tentu akan merusak ibadah hajinya.

c)  Boleh semua bagian kecuali kemaluan (farji), ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbās, Masrūq, al-Nakhā’ī, al-Ṡaurī, Muḥammad bin al-Ḥasan dan Aḥmad.

3.   Hadis ini juga menunjukkan bolehnya seorang suami memanfaatkan dan meminta khidmah istrinya meskipun untuk suatu pekerjaan yang ringan.

4.   Hadis ini menjadi dalil bahwa seseorang yang sedang beriktikaf kemudian mengeluarkan sebagian anggota tubuhnya dari masjid, maka iktikafnya tidak batal selama tidak keluar seluruh badannya.

Demikian pula jika seseorang bersumpah tidak akan keluar rumah, kemudian sebagian anggota tubuhnya dia keluarkan dari rumahnya maka dia belum melanggar sumpahnya tersebut dan tidak wajib membayar kafarat.[4]

  1. Perempuan haid tidak dibenarkan masuk ke dalam masjid.[5]
Baca juga:  HAKIKAT KEBAIKAN DAN DOSA


Footnote:

[1] H.R. al-Bukhārī (300) dan Muslim (293).

[2] ‘Abdullāh bin Ṣāliḥ al-Bassām. Op. Cit. Hlm. 80.

[3] Ibnu Daqīq al-‘Īd. Iḥkāmul Aḥkām Syarḥ ‘Umdatil Aḥkām. Jilid 1, hlm. 159.

[4] Ibnu Daqīq al-‘Īd. Iḥkāmul Aḥkām Syarḥ ‘Umdatil Aḥkām. Jilid 1, hlm. 160.

[5] ‘Abdullāh bin Ṣāliḥ al-Bassām. Op. Cit. Hlm. 80.

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments