وَعَنْ عَمَّارَ بْنِ يَاسِرٍ قَالَ: بَعَثَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَاجَةٍ فَأَجْنَبْتُ فَلَمْ أَجِدِ المـَاءَ، فَتَمَرَّغْتُ فِي الصَّعِيْدِ كَمَا تَمرَّغُ الدَّابَّةُ، ثُمَّ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرْتُ ذَلِك لَهُ فَقَالَ: ((إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيْكَ أَنْ تَقُولَ بِيَدِيكَ هَكَذَا))، ثُمَّ ضَرَبَ بِيَدَيْهِ الأَرْضَ ضَرْبَةً وَاحِدَةَ، ثُمَّ مَسَحَ الشِمَالَ عَلَى اليَمِيْنِ، وَظَاهِرَ كَفَّيْهِ وَوَجْهَهُ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَاللَّفْظُ لـمُسْلِمٍ، وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِيِّ: وَضَرَبَ بِكَفَّيْهِ الأَرْضَ وَنَفَخَ فَيْهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ.
Dari ‘Ammār bin Yāsir, dia berkata, “Saya diutus oleh Nabi ﷺ untuk suatu keperluan, dalam (penugasan) tersebut saya mengalami janabah dan saya tidak mendapatkan air, maka saya pun berguling-guling di atas tanah seperti hewan melata yang berguling, kemudian saya menemui Nabi ﷺ dan menyebutkan hal tersebut. Beliau kemudian bersabda, ‘Cukup bagimu melakukan dengan kedua tangan demikian.’ Beliau memukulkan kedua tangannya ke tanah dengan sekali pukulan, kemudian menyapu dengan tangan kiri, tangan kanannya dan punggung kedua telapak tangan dan wajahnya’.” Muttafaqun ‘alaihi dan lafal tersebut adalah riwayat Muslim. Sedangkan pada riwayat al-Bukhārī disebutkan, “Beliau memukulkan kedua telapak tangannya ke tanah, lalu meniup keduanya, kemudian menyapu dengan keduanya wajah dan kedua telapak tangan.” [1]
Daftar Isi:
Kosa kata hadis:
- ‘Ammār bin Yāsirbin Amir bin Mālik al-’Ansī raḍiyallāhu ‘anhu. Ibu beliau adalah Sumayyah raḍiyallāhu ‘anhā, termasuk golongan sahabat Nabi ﷺ yang pertama sekali syahid dalam Islam, beliau dibunuh oleh Abu Jahal. Hal tersebut terjadi karena secara status sosial dan kekuatan, keluarga Yasir lemah di mata orang-orang Quraisy. Hadis beliau dalam al-Ṣaḥīḥain ada lima.[2]
Beliau wafat pada perang Ṣiffīn pada tahun 37 hijriah, saat itu beliau berpihak dan berada dalam pasukan ‘Ālī bin Abī Ṭālib raḍiyallāhu ‘anhu.
- فَتَمَرَّغْتُ فِي الصَّعِيْدِ artinya membolak-balik badan di atas tanah hingga tanah tersebut memenuhi badannya.[3]
- Kata al-qaul (perkataan) dalam lafal hadis (أَنْ تَقُولَ بِيَدِيكَ) bermakna al-fi’il (perbuatan). Penggunaan ungkapan yang demikian banyak dalam bahasa Arab.[4]
Makna hadis:
Nabi ﷺ mengutus ‘Ammār bin Yāsir raḍiyallāhu ‘anhu dalam sebuah safar untuk suatu penugasan, kemudian Ammār mengalami janabah dalam safar tersebut dan pada saat itu dia tidak mendapatkan air untuk mandi.
Ketika itu beliau belum tahu hukum bertayamum karena janabah, yang beliau ketahui hukum tayamum untuk hadas kecil. Dia kemudian berijtihad dan menyangka bahwa sebagaimana menyapu sebagian anggota tubuh dengan tanah untuk hadas kecil, maka tayamum untuk hadas besar haruslah menyapu seluruh badan dengan tanah, mengiaskan dengan air. Akhirnya, dia berguling-guling di tanah lalu mengerjakan salat. Ketika dia kembali kepada Nabi ﷺ, di dalam hatinya ada sesuatu yang mengganjal dari ijtihad atas amalan yang telah dia lakukan, lalu dia menanyakan kepada Nabi ﷺ apakah hal tersebut benar atau tidak.
Nabi ﷺ bersabda bahwa cukup baginya dengan hanya menepukkan kedua tangan dengan sekali tepukan ke tanah, kemudian menyapu tangan kanannya dengan tangan kirinya, kemudian menyapu wajah dengan kedua telapak tangan.
Faedah dan istinbat dari hadis:
- Bertayamum untuk hadas besar sama sifat dan hukumnya dengan tayamum untuk hadas kecil.
- Hadis tersebut menunjukkan dalil wajibnya bertayamum dengan sifat dan tata cara yang telah dijelaskan oleh Nabi ﷺ.[5]
- Perbuatan Nabi ﷺ menghembus sebagian tanah yang melekat di telapak tangan menunjukkan bahwa mustahab hukumnya menggunakan tanah yang sedikit atau tidak tebal. Hal ini sekaligus menunjukkan tidak dianjurkannya melakukan tayamum berulang kali karena hal itu menunjukkan tanah yang digunakan menjadi banyak dan tebal.
- Barang siapa yang mencuci kepala ketika berwudu padahal yang diperintahkan hanya mengusap, hal tersebut sah dan mencukupi syarat. Landasannya adalah ‘Ammār bin Yāsir berguling di tanah dan Nabi ﷺ memutuskan hal tersebut sah, padahal yang diperintahkan hanya mengusap bagian tertentu saja.[6]
- Pada masa Nabi ﷺ masih hidup, ada para sahabat yang berijtihad (dalam masalah ibadah) ketika dalam kondisi darurat atau berada jauh dari Nabi ﷺ, dan hal tersebut dibenarkan oleh beliau.
Ijtihad ‘Ammār bin Yāsir berlandaskan pemahaman beliau terhadap ayat tayamum yang menerangkan bahwa ketika seseorang tidak mendapatkan air wudu untuk salat maka cukup dengan menyapu sebagian anggota tubuh saja.
Kemudian beliau memandang bahwa jika ingin bertaharah dari janabah maka tayamum dengan tangan harus mencakup seluruh badan sebagian mana bertaharah dengan air. [7]
- Fikih hadis tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang menakwilkan dan berijtihad kemudian ijtihadnya tersebut salah maka dia tidak perlu mengulangi amalannya tersebut. Hal ini karena Nabi ﷺ tidak memerintahkan Ammār raḍiyallāhu ‘anhu untuk mengulangi salatnya, meskipun beliau tidak bertaharah dengan yang semestinya namun dianggap telah melakukan tata cara yang lebih sempurna.[8]
- Hadis tersebut menjadi dalil bagi ulama yang menolak kias dalam penetapan hukum yaitu Abū Muḥammad bin Hazm al-Ẓāhirī raḥimahullāh. Sisi pendalilannya, Ammār raḍiyallāhu ‘anhu memperkirakan (kias) bahwa yang tidak disebutkan dalam ayat[9] adalah tayamum untuk orang yang junub; sama seperti hukum untuk mandi janabah yang merupakan badal untuknya. Rasulullah ﷺ membatalkan kias tersebut dan menjelaskan bahwa setiap sesuatu memiliki hukum dan nas tersendiri.
Namun kemudian para ulama yang menjadikan kias sebagai salah satu landasan hukum juga menjadikan hadis yang sama sebagai dalil penetapan kias. Sisi pendalilannya adalah bahwa ketika Nabi ﷺ bersabda, “Cukup bagimu melakukan dengan kedua tangan demikian,” menunjukkan bahwa jika seandainya beliau melakukannya (dengan mengiaskannya dengan hadas kecil seperti pada ayat) maka hal tersebut cukup (sah). Dengan pernyataan lain dikatakan, “Seandainya beliau melakukannya maka beliau telah melakukan dengan prinsip kias dan hal tersebut adalah suatu kebenaran.[10]
- Hadis ini menjadi landasan dalil bahwa satu kali tepukan telapak tangan ke tanah, itu sudah mencukupi. Pendapat ini adalah mazhab Imam Mālik.
Sedangkan mazhab Imam al-Syāfi’ī memandang harus dua kali tepukan di tanah, pertama untuk wajah dan kedua untuk kedua tangan, meskipun hadis dengan lafal tersebut tidak sampai ke derajat sahih.[11]
- Lafal hadis juga menunjukkan bahwa urutan dalam menyapu wajah dan tangan bukan suatu perkara yang wajib.
- Menyapu kedua tangan hingga ke siku adalah fatwa dalam mazhab al-Syāfi’ī dan Abū Ḥanīfah. Sedang mazhab Aḥmad memadang hanya menyapu kedua telapak tangan saja, berlandaskan ẓāhir lafal hadis tesebut.[12]
Footnote:
[1] H.R. Al-Bukhārī (347) dan Muslim (368).
[2] Al-Ẑahabī. Siyār A’lām al-Nubala’. Jilid 1, hlm. 406.
[3] ‘Abdullāh bin Ṣāliḥ al-Bassām. Op. Cit. Hlm. 72.
[4] Ibid.
[5] Ibnu Hajar. Fatḥul Bāri Syarḥu Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Jilid 1, hlm. 444.
[6] Ibid.
[7] Al-Qāḍī ‘Iyāḍ; ‘Iyāḍ bin Mūsā bin Iyāḍ al-Sabti. Op. Cit. Jilid 2, hlm. 222.
[8] Al-Qāḍī ‘Iyāḍ; ‘Iyāḍ bin Mūsā bin Iyāḍ al-Sabti. Op. Cit. Jilid 2, hlm. 222.
[9] Surah al-Mā’idah: 6.
[10] Ibnu Daqīq al-‘Īd. Iḥkāmul Aḥkām Syarḥ ‘Umdatil Aḥkām. Jilid 1, hlm. 147.
[11] Ibid.
[12] Ibnu Daqīq al-‘Īd. Iḥkāmul Aḥkām Syarḥ ‘Umdatil Aḥkām. Jilid 1, hlm. 148.